Pemugaran yang menyalahi kaidah arkeologi ini telah mengubah fisik candi, antara lain dengan nembangun gapura-gapura megah di depan, pendopo-pendopo kayu untuk pertapaan, penisbatan patung-patung, dan mezbah di puncak punden.
Saya merasakan kejanggalan, karena Candi Ceto ini ternyata tidak sesuai dengan aslinya. Karena itu "karakter" candi ini terasa "lemah", tidak seperti lazimnya candi kuno. Pemugaran yang melenceng dari struktur aslinya telah melemahkan "jiwa" Candi Ceto. Â
Maka hal kedua yang mendesak ditingkatkan di sana adalah pemulihan Candi Ceto ke struktur aslinya, sesuai kaidah-kaidah arkeologis. Baiklah candi ini dicipta-ulang ke struktur kunonya, candi dengan punden berundak empat belas, dengan undakan yang semakin menyempit ke puncak, menggambarkan semakin sempit dan sulitnya jalan menuju nirwana.
Tentu saran kedua ini ditujukan kepada pemerintah pusat. Saya punya harapan tahun 2019, siapapun presiden RI, Candi Ceto ditetapkan sebagai salah satu prioritas destinasi wisata nasional.Â
Reka-cipta ulang sesuai aslinya, niscaya akan membuat Candi Ceto menjadi primadona wisata religi/spritual, budaya, sejarah, agro, dan alam sekaligus. Tidak ada duanya di Indonesia.
Demikian laporan saya, Felix Tani, petani mardijker, sudah dari Karanganyar, sudah dari Candi Ceto, walau tanpa bukti tongkat kayu liwung bertuah.***
***
Candi Ceto, 31 Desember 2018 dan Jakarta, 6 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H