Mengaku ke Karanganyar, Jawa Tengah tapi tak mampir ke Candi Ceto, 1496 mdpl di lereng barat Gunung Lawu, sama seperti makan gudeg tanpa nangka. Artinya, "Sama aja bohong!"
Di puncak Candi Ceto, di punden ke-13, di bawah mezbah, tepat di belakang tiga orang lelaki yang khusuk berdoa, Mbah Kuncen berbisik, "Ini penanda pernah datang ke Candi Ceto, ke Gunung Lawu," sembari mengangsurkan sebatang tongkat komando.
Batang tongkat komando itu terbuat dari kayu liwung (aren jantan?). Pangkalnya dihiasi dengan tiga cincin yang terbuat dari tiga jenis kayu lain yaitu tawa, kebak, dan prono kuning. Â
Semua bahan tongkat itu, menurut Mbah Kuncen adalah kayu khas Gunung Lawu yang sarat khasiat dan tuah. Kayu liwung membangkitkan keluhuran, kewibawaan, dan keselamatan (Itu sebabnya dijadikan tongkat komando. Cocok untuk para pengejar pangkat dan jabatan). Kayu tawa berkhasiat untuk tolak bala. Kayu kebak untuk melancarkan rejeki. Kayu prono kuning (air rendaman) untuk penyembuhan aneka penyakit dalam.
"Ini tidak dijual. Cukup dengan mahar saja. Tigaratus limapuluh ribu rupiah," bisik Mbah Kuncen membujuk saya.
"Are you sure about it, Dad?" anak gadisku yang bungsu  mengingatkan, khawatir saya tertarik lalu bayar mahar alias beli.
"Kami ke sini hanya untuk mengalami puncak tertinggi Candi Ceto, Mbah. Matur nuwun sudah diijinkan naik ke sini," saya menolak halus.
Dalam pemahaman saya, bukan  ke Candi Ceto namanya kalau tak menjejakkan kaki di puncak tertinggi candi itu, yaitu di kaki mezbah trapesium, tempat berdoa di punden teratas, punden ketigabelas (atau faktual kesembilan?).
Candi untuk Semua
Candi Ceto adalah peninggalan Hindu yang sampai sekarang masih aktif sebagai tempat beribadah umat Hindu setempat, serta yang datang dari daerah lain. Sekitar 80 persen warga Dusun Ceto, Desa Gumeng Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, tempat candi itu berdiri, adalah penganut agama Hindu. Mereka meyakini diri sebagai keturunan pengikut Brawijaya V, Raja Majapahit, yang dipercaya telah moksa dari puncak Gunung Lawu.
Bahkan sejumlah upacara adat, atau tradisi kejawen, yang bersifat lintas-agama, juga dilaksanakan di situ. Antara lain Mondosiyo (peringatan kemenangan atas kezaliman raksasa Prabubaka, pemakan manusia) dan Bersih Desa (syukuran atas karunia Yang Maha Kuasa kepada desa, pertanian, dan warganya). Â
Karena itu, candi yang dibangun sekitar akhir abad ke-15 ini, Â pada masa senjakala kekuasaan Raja Brawijaya V untuk ritual tolak bala dan ruwatan (bagi keselamatan Majapahit), Â kini bisa dikatakan sebagai "panggung perayaan kebinekaan bangsa".Â
Dia adalah "candi untuk semua".
Candi Ceto terbuka untuk semua orang, tanpa pandang identitas sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Hanya ada satu syarat busana untuk memasuki candi, yaitu mengenakan kain poleng di pinggang yang otomatis dibagikan setelah bayar tiket masuk Rp 7,000 per kepala.Â
Kain poleng dikenakan sebagai pengingat bahwa pengunjung memasuki wilayah "suci", sehingga pikiran dan hati juga harus  "bersih" di lokasi itu.
Kedua, kelompok-kelompok spritual tertentu yang melakukan ritual  pemujaan atau samadi di komplek candi untuk tujuan-tujuan mendapatkan wangsit, daya linuwih, dan lain-lain yang sifatnya irrasional. Salah seorang tokoh yang disebut kerap samadi di sana adalah Sudjono Humardani, dulu Aspri Presiden Soeharto.
Ketiga, wisatawan umum yang datang ke Candi Ceto untuk aneka tujuan. Mulai dari mereka yang sekadar ingin menikmati udara segar dan pemandangan alam menakjubkan di atas sana. Memandang ke arah barat, tampak hamparan berombak perkebunan the Kemuning, menjadi latar depan eksotis untuk kota Karanganyar dan Surakarta nun jauh di sana. Jika beruntung, Candi Ceto adalah titik pandang matahari terbenam yang tak terlupakan.
Atau sekadar selfie di tiap sudut candi yang eksotis untuk kepentingan eksistensi di medsos. Saya perhatikan, salah satu latar selfie yang terlaris adalah arca lingga-yoni ukuran raksasa. Â
Arca ini kerap disalah-persepsikan sebagai simbol erotisme. Padahal itu adalah simbol kesuburuan dan kelahiran baru, sinergi Dewa Siwa dan Dewi Parvati, yang menjamin keberlanjutan hidup manusia dalam kesatuan dengan alamnya. Menghadap lingga-yoni di pelataran candi adalah arca kura-kura, simbol penciptaan alam.
Atau berupaya menikmati sekaligus mencoba memahami Candi Ceto. Saya dan keluarga ada di kategori ini, kendati berujung kebingungan, karena "salah sendiri tak minta bantuan pemandu". Di gerbang depan memang tidak ada tawaran jasa pemandu. Saya juga tidak berusaha mencari tahu.
Perlu Peningkatan
Saat mobil tua kami merayap pakai gigi satu pada tanjakan Ceto, tanjakan terakhir dengan elevasi 30-an derajat, adalah saat pertama sepanjang pengalaman berkendara, saya berdoa cemas mohon selamat.Â
Apalagi ketika mesin mobil sempat mati, karena mendadak direm, mengantisipasi mobil lain 10 meter di depan yang mati mesin dan nyaris mundur. Beruntung seorang satpam sigap memasang ganjal batu pada roda belakang mobil depan dan kemudian mobil kami.
Saya menoleh ke belakang, ke bawah, menyaksikan tanjakan curam berkelok-kelok, Â berhias jurang menganga di kiri atau kanan, tanpa pagar baja pengaman. Sejumlah mobil merayap di bawah sana, semoga selamat tiba di atas. Satu mobil masuk parkiran dengan asap mengepul dari rumah mesin, menebar bau karet terbakar, karena kanvas koplingnya "terbakar" (overheating).
Saya membathin, "Kalau saya yang pegang kemudi, pasti mobil tak akan pernah tiba di  Candi Ceto." (Karena sudah keburu keder lalu putar-balik di bawah sana).
Jalan menuju Candi Ceto, dari Kemuning, inilah hal pertama yang perlu ditingkatkan kondisinya. Sekurangnya dimuluskan lagi dan, yang terpenting, untuk keamanan dipasang pagar besi pengaman sepanjang sisi berjurang. Mungkin pada jarak tertentu perlu juga dibuat "ceruk datar" (bay), untuk berhenti sejenak mengumpul nyali. Â
Saran ini jelas ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan Provinsi Jawa Tengah. (Belakangan saya baca berita on-line, di jalur itu sudah beberapa kali terjadi kecelakaan yang makan korban jiwa. Kendaraan gagal nanjak, lalu merosot terjun ke jurang.)
Kondisi jalan itu hal pertama yang saya pikir mendesak ditingkatkan.
Saya bukan ahli candi atau kepurbakalaan. Jawabannya kemudian terbaca di papan denah candi di punden pertama.Â
Ternyata, candi yang "ditemukan" van de Vlies  tahun 1842 ini, sudah dipugar Sudjono Humardani pada akhir 1970-an, konon berdasar petunjuk alam gaib.Â
Pemugaran yang menyalahi kaidah arkeologi ini telah mengubah fisik candi, antara lain dengan nembangun gapura-gapura megah di depan, pendopo-pendopo kayu untuk pertapaan, penisbatan patung-patung, dan mezbah di puncak punden.
Saya merasakan kejanggalan, karena Candi Ceto ini ternyata tidak sesuai dengan aslinya. Karena itu "karakter" candi ini terasa "lemah", tidak seperti lazimnya candi kuno. Pemugaran yang melenceng dari struktur aslinya telah melemahkan "jiwa" Candi Ceto. Â
Maka hal kedua yang mendesak ditingkatkan di sana adalah pemulihan Candi Ceto ke struktur aslinya, sesuai kaidah-kaidah arkeologis. Baiklah candi ini dicipta-ulang ke struktur kunonya, candi dengan punden berundak empat belas, dengan undakan yang semakin menyempit ke puncak, menggambarkan semakin sempit dan sulitnya jalan menuju nirwana.
Tentu saran kedua ini ditujukan kepada pemerintah pusat. Saya punya harapan tahun 2019, siapapun presiden RI, Candi Ceto ditetapkan sebagai salah satu prioritas destinasi wisata nasional.Â
Reka-cipta ulang sesuai aslinya, niscaya akan membuat Candi Ceto menjadi primadona wisata religi/spritual, budaya, sejarah, agro, dan alam sekaligus. Tidak ada duanya di Indonesia.
Demikian laporan saya, Felix Tani, petani mardijker, sudah dari Karanganyar, sudah dari Candi Ceto, walau tanpa bukti tongkat kayu liwung bertuah.***
***
Candi Ceto, 31 Desember 2018 dan Jakarta, 6 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H