Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Candi Ceto Tanpa Tongkat Liwung Bertuah

6 Januari 2019   22:36 Diperbarui: 7 Januari 2019   22:16 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga lelaki berdoa di depan mezbah di puncak Candi Ceto (Dokpri)

Bahkan sejumlah upacara adat, atau tradisi kejawen, yang bersifat lintas-agama, juga dilaksanakan di situ. Antara lain Mondosiyo (peringatan kemenangan atas kezaliman raksasa Prabubaka, pemakan manusia) dan Bersih Desa (syukuran atas karunia Yang Maha Kuasa kepada desa, pertanian, dan warganya).  

Karena itu, candi yang dibangun sekitar akhir abad ke-15 ini,  pada masa senjakala kekuasaan Raja Brawijaya V untuk ritual tolak bala dan ruwatan (bagi keselamatan Majapahit),  kini bisa dikatakan sebagai "panggung perayaan kebinekaan bangsa". 

Dia adalah "candi untuk semua".
Candi Ceto terbuka untuk semua orang, tanpa pandang identitas sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama. Hanya ada satu syarat busana untuk memasuki candi, yaitu mengenakan kain poleng di pinggang yang otomatis dibagikan setelah bayar tiket masuk Rp 7,000 per kepala. 

Kain poleng dikenakan sebagai pengingat bahwa pengunjung memasuki wilayah "suci", sehingga pikiran dan hati juga harus  "bersih" di lokasi itu.

Puncak Candi Ceto di bawah rindang pepohonan (Dokpri)
Puncak Candi Ceto di bawah rindang pepohonan (Dokpri)
Sekurangnya ada tiga kelompok besar pengunjung Candi Ceto, menurut keperluannya. Pertama, tentu saja umat Hindu desa setempat dan dari tempat lain di Karanganyan dan daerah lain untuk menjalankan upacara atau ibadat keagamaan.

Kedua, kelompok-kelompok spritual tertentu yang melakukan ritual   pemujaan atau samadi di komplek candi untuk tujuan-tujuan mendapatkan wangsit, daya linuwih, dan lain-lain yang sifatnya irrasional. Salah seorang tokoh yang disebut kerap samadi di sana adalah Sudjono Humardani, dulu Aspri Presiden Soeharto.

Ketiga, wisatawan umum yang datang ke Candi Ceto untuk aneka tujuan. Mulai dari mereka yang sekadar ingin menikmati udara segar dan pemandangan alam menakjubkan di atas sana. Memandang ke arah barat, tampak hamparan berombak perkebunan the Kemuning, menjadi latar depan eksotis untuk kota Karanganyar dan Surakarta nun jauh di sana. Jika beruntung, Candi Ceto adalah titik pandang matahari terbenam yang tak terlupakan.

Atau sekadar selfie di tiap sudut candi yang eksotis untuk kepentingan eksistensi di medsos. Saya perhatikan, salah satu latar selfie yang terlaris adalah arca lingga-yoni ukuran raksasa.  

Arca ini kerap disalah-persepsikan sebagai simbol erotisme. Padahal itu adalah simbol kesuburuan dan kelahiran baru, sinergi Dewa Siwa dan Dewi Parvati, yang menjamin keberlanjutan hidup manusia dalam kesatuan dengan alamnya. Menghadap lingga-yoni di pelataran candi adalah arca kura-kura, simbol penciptaan alam.

Atau berupaya menikmati sekaligus mencoba memahami Candi Ceto. Saya dan keluarga ada di kategori ini, kendati berujung kebingungan, karena "salah sendiri tak minta bantuan pemandu". Di gerbang depan memang tidak ada tawaran jasa pemandu. Saya juga tidak berusaha mencari tahu.

Perlu Peningkatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun