Ada "Negeri Matahari Terbit" di Tanah Batak? Ya, ada, "negeri" yang terkenal dengan nama Habinsaran. Tepatnya, sekarang ini, namanya Kecamatan Habinsaran. Bagian ujung paling timur wilayah Kabupaten Toba-Samosir (Tobasa). Ibukota kecamatannya Parsoburan.
Mengapa dinamai Habinsaran? Karena perspektif geografis orang Batak tempo dulu menetapkan daerah tepi timur Tanah Batak sebagai habinsaran, tempat matahari terbit (binsar = terbit matahari).
Sedangkan tepi barat ditetapkan sebagai hasundutan, tempat matahari terbenam (sundut = terbenam matahari). (Karena itu ada juga Kabupaten Humbang-Hasundutan, dengan ibukota Doloksanggul, pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara di wilayah tepi barat tahun 2003).
Tadinya Kecamatan Habinsaran tadinya sangat luas. Tapi kemudian ada pemekaran yang menghasilkan dua kecamatan baru, Nassau (2006) di tepi paling timur Tobasa dan Borbor (2002) di tepi paling selatan. Total luas tiga Kecamatan itu 920.85 km2, atau 39 persen dari luas daerah Tobasa. Luas Kecamatan Habinsaran sendiri adalah 408.70 km2Â atau seperlima (20.21%) dari total luas Kabupaten Tobasa.
Menilik luasan tersebut, daerah Habinsaran memang menjadi potensi sumberdaya penting untuk Tobasa. Sayangnya, Habinsaran tergolong daerah terpencil atau terisolir di Kabupaten Tobasa. Karena itu, bukan saja dia kurang dikenal, tapi arus pembangunan juga agak tersendat ke sana.
Saya ingin memperkenalkan "negeri matahari terbit"-nya Tanah Batak ini secara singkat. Sekadar memberi gambaran umum. Mungkin nanti ada yang tertarik menggali lebih dalam potensi ekonomi di sana, dan sudi berinvestasi.
Geografi Habinsaran
Sampai penghujung 1990-an, bagi orang Batak yang berdiam sepanjang koridor jalan raya trans-Sumatra, yang menyusur pantai selatan-timur Danau Toba dari Balige (di selatan) sampai Parapat (di utara), Parsoburan atau Habinsaran itu adalah "negeri antah-berantah".
Dulu orang Habinsaran disebut sebagai parnadolok, orang gunung, karena memang daerah itu berada di punggung Bukit Barisan.
Masalah dengan Parsoburan atau Habinsaran bukan soal jarak. Karena jarak Parosoburan ke Silimbat (simpang ke Parsoburan dari jalan trans-Sumatra) hanya sekitar 39 km. Atau sekitar 48 km kalau dari Balige, ibukota Tobasa.

Karena kondisi jalan itu, kalau tidak sangat terpaksa, jarang orang daerah Toba Holbung (Balige-Laguboti-Silimbat) atau orang daerah Uluan (Porsea-Lumbanlobu-Jangga-Lumbanjulu) yang mau berkunjung ke Parsoburan.
Kalau dulu ada pesan yang perlu disampaikan ke Parsoburan, misalnya gogkkon dohot joujou (undangan), maka orang lebih suka memanfaatkan fungsi komunikasi onan (pasar) atau gereja.Â
Misalnya ada keluarga di Porsea yang akan mengundang kerabatnya di Parsoburan, maka dia akan menunggu petani Habinsaran turun ke pasar mingguan, tiap hari Rabu, di Porsea. Nanti dia titip pesan untuk disampaikan kepada kerabatnya di Habinsaran saja. Begitulah cara komunikasinya.
Jalan akses memang menjadi masalah utama bagi Habinsaran. Satu-satunya jalan akses yang layak susur adalah jalur Silimbat-Parsoburan. Jalan akses lain dari arah Laguboti kerap longsor, berisiko untuk dilintasi.Â
Pergi ke Habinsaran itu ibarat masuk ke dalam kantong. Sebenarnya ada jalan tembus ke Kabupaten Asahan atau Kabupaten Labuhanbatu Utara di timur. Tapi kondisi jalan yang buruk menyebabkan orang lebih suka naik dulu ke Pematang Siantar di utara sebelum kemudian memutar ke timur/selatan menuju daerah Asahan.
Karena sulit dijangkau, maka daerah Habinsaran ini dikenal sebagai daerah tertinggal di Tapanuli Utara dulu, atau di Tobasa sekarang. Daerah ini kurang dipromosikan dan kurang disentuh. Padahal potensinya besar.
Terutama potensi perkebunan. Habinsaran dikenal sebagai penghasil kopi, kemenyan, dan rempah andaliman. Disamping tergolong lumbung beras juga. Tapi potensi perkebunan itulah yang paling menjanjikan untuk dikembangkan di sana.
Kampung Marga Raja Pardosi
Sudah pasti mayoritas warga Habinsaran itu etnik Batak Toba. Tapi yang menarik, sebagian besar adalah orang Batak bermarga Pardosi.
Pardosi adalah marga raja, pembuka huta (kampung) pertama, di Habinsaran khususnya Parsoburan. Istilah orang Batak, Pardosi adalah sisuan bulu (penanam bambu). Dahulu kala, sebuah kampung Batak selalu dikelilingi oleh tanaman bambu sebagai "benteng hijau". Mencegah binatang buas masuk kampung.
Marga Pardosi itu sebenarnya marga Siagian. Tapi menurut hikayat, Raja Mardongan yang menjadi leluhur Pardosi, berselisih dengan saudaranya di kampung asal sekitar Balige. Karena sakit hati, Raja Mardongan pergi merantau ke timur, ke Habinsaran, lalu membuka "kerajaan" atau kampung baru di situ.
Sebagai ekspresi sakit hatinya, Raja Mardongan menanggalkan marga Siagian dan mengenakan marga baru Pardosi. (Sekarang disebut Siagian-Pardosi).
Di Habinsaran, Raja Mardongan menikah dengan Boru Doloksaribu dan beranakkan Raja Urang (Menurut satu versi cerita, sebenarnya Raja Mardongan tidak menikahi Boru Doloksaribu, tapi merawatnya sampai melahirkan setelah diselamatkan dari percobaan bunuh diri dalam keadaan hamil).
Kemudian menikah juga dengan Boru Naiborhu dan beranakkan Raja Hujurbatu, Raja Pamahar, Raja Ledung, dan Raja Manorsa.Â
Lima anak ini kemudian menjadi lima kelompok Pardosi yang menyebar di wilayah Habinsaran, termasuk Nassau dan Borbor. Jika berkunjung ke Parsoburan Tengah, maka di sana bisa disaksikan bangunan Tugu Raja Pardosi.
Potensi Agribisnis Habinsaran
Potensi agribisnis terbesar yang masih kurang sentuhan di Habinsaran adalah perkebunan tiga komoditas utama yaitu kopi, kemenyan (haminjon), dan andaliman. Produksi tiga komoditas itu masih mengandalkan perkebunan rakyat.
Selain itu sebenarnya ada potensi perkebunan teh Sibosur yang dikelola PTPN IV. Tapi kini terlantar akibat konflik pertanahan dengan warga setempat.
Sangat disayangkan karena perkebunan ini sebenarnya warisan kolonial, satu-satunya perkebunan teh di Tanah Batak. Kebun teh Sibosur sangat bagus untuk produksi teh hijau.

Kalau tak dikendalikan dengan bijak, perkebunan sawit yang kapitalistik akan melalap kopi, kemenyan, andaliman, dan padi rakyat.Â
Bukan sebuah kebetulan juga perkebunan sawit mulai tumbuh di Habinsaran bersamaan dengan kegiatan penebangan hutan untuk pasokan bahan baku pabrik pulp di Porsea. Penebangan hutan selalu membuka jalan masuk untuk kebun sawit.
Sebelum kebun sawit meraja dan melalap kebun rakyat (kopi, kemenyan, andaliman) ada baiknya jika Pemerintah Kabupaten Tobasa dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mulai serius memalingkan muka ke Habinsaran.
Dua hal perlu dilaksanakan segera. Pertama, meningkatkan akses jalan raya ke Habinsaran. Tahap pertama mungkin poros Parsoburan-Silimbat/Porsea (Tobasa) ke barat/utara. Tahap kedua poros Parsoburan-Garoga (Tapanuli Utara) ke selatan dan, tahap ketiga, poros Parsoburan-Rantau Parapat (Labuhan Batu) ke timurÂ
Jika infrastruktur jalan dibangun, maka Parsoburan atau Habinsaran (bersama Nassau dan Borbor) terbuka ke tiga arah: barat, selatan, dan timur. Kemudahan akses ini akan menarik pemodal untuk berbisnis ke Habinsaran.
Kedua, meremajakan dan membangun (intensifikasi/ekstensifikasi) perkebunan rakyat, khususnya kopi, kemenyan, dan andaliman.
Tiga komoditas ini sebaiknya diproyeksikan menjadi andalan ekonomi agribisnis kerakyatan Habinsaran. Sehingga jika infrastruktur jalan raya ke tiga arah sudah terbangun, maka rakyat Habinsaranlah yang pertama menikmati dampak positifnya.
Demikian sekadar catatan pengenalan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, ingin menyeruput secangkir kopi pahit di "Negeri Matahari Terbit"-nya Tanah Batak.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI