Sebagai ekspresi sakit hatinya, Raja Mardongan menanggalkan marga Siagian dan mengenakan marga baru Pardosi. (Sekarang disebut Siagian-Pardosi).
Di Habinsaran, Raja Mardongan menikah dengan Boru Doloksaribu dan beranakkan Raja Urang (Menurut satu versi cerita, sebenarnya Raja Mardongan tidak menikahi Boru Doloksaribu, tapi merawatnya sampai melahirkan setelah diselamatkan dari percobaan bunuh diri dalam keadaan hamil).
Kemudian menikah juga dengan Boru Naiborhu dan beranakkan Raja Hujurbatu, Raja Pamahar, Raja Ledung, dan Raja Manorsa.Â
Lima anak ini kemudian menjadi lima kelompok Pardosi yang menyebar di wilayah Habinsaran, termasuk Nassau dan Borbor. Jika berkunjung ke Parsoburan Tengah, maka di sana bisa disaksikan bangunan Tugu Raja Pardosi.
Potensi Agribisnis Habinsaran
Potensi agribisnis terbesar yang masih kurang sentuhan di Habinsaran adalah perkebunan tiga komoditas utama yaitu kopi, kemenyan (haminjon), dan andaliman. Produksi tiga komoditas itu masih mengandalkan perkebunan rakyat.
Selain itu sebenarnya ada potensi perkebunan teh Sibosur yang dikelola PTPN IV. Tapi kini terlantar akibat konflik pertanahan dengan warga setempat.
Sangat disayangkan karena perkebunan ini sebenarnya warisan kolonial, satu-satunya perkebunan teh di Tanah Batak. Kebun teh Sibosur sangat bagus untuk produksi teh hijau.
Kalau tak dikendalikan dengan bijak, perkebunan sawit yang kapitalistik akan melalap kopi, kemenyan, andaliman, dan padi rakyat.Â
Bukan sebuah kebetulan juga perkebunan sawit mulai tumbuh di Habinsaran bersamaan dengan kegiatan penebangan hutan untuk pasokan bahan baku pabrik pulp di Porsea. Penebangan hutan selalu membuka jalan masuk untuk kebun sawit.
Sebelum kebun sawit meraja dan melalap kebun rakyat (kopi, kemenyan, andaliman) ada baiknya jika Pemerintah Kabupaten Tobasa dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mulai serius memalingkan muka ke Habinsaran.