Karena kondisi jalan itu, kalau tidak sangat terpaksa, jarang orang daerah Toba Holbung (Balige-Laguboti-Silimbat) atau orang daerah Uluan (Porsea-Lumbanlobu-Jangga-Lumbanjulu) yang mau berkunjung ke Parsoburan.
Kalau dulu ada pesan yang perlu disampaikan ke Parsoburan, misalnya gogkkon dohot joujou (undangan), maka orang lebih suka memanfaatkan fungsi komunikasi onan (pasar) atau gereja.Â
Misalnya ada keluarga di Porsea yang akan mengundang kerabatnya di Parsoburan, maka dia akan menunggu petani Habinsaran turun ke pasar mingguan, tiap hari Rabu, di Porsea. Nanti dia titip pesan untuk disampaikan kepada kerabatnya di Habinsaran saja. Begitulah cara komunikasinya.
Jalan akses memang menjadi masalah utama bagi Habinsaran. Satu-satunya jalan akses yang layak susur adalah jalur Silimbat-Parsoburan. Jalan akses lain dari arah Laguboti kerap longsor, berisiko untuk dilintasi.Â
Pergi ke Habinsaran itu ibarat masuk ke dalam kantong. Sebenarnya ada jalan tembus ke Kabupaten Asahan atau Kabupaten Labuhanbatu Utara di timur. Tapi kondisi jalan yang buruk menyebabkan orang lebih suka naik dulu ke Pematang Siantar di utara sebelum kemudian memutar ke timur/selatan menuju daerah Asahan.
Karena sulit dijangkau, maka daerah Habinsaran ini dikenal sebagai daerah tertinggal di Tapanuli Utara dulu, atau di Tobasa sekarang. Daerah ini kurang dipromosikan dan kurang disentuh. Padahal potensinya besar.
Terutama potensi perkebunan. Habinsaran dikenal sebagai penghasil kopi, kemenyan, dan rempah andaliman. Disamping tergolong lumbung beras juga. Tapi potensi perkebunan itulah yang paling menjanjikan untuk dikembangkan di sana.
Kampung Marga Raja Pardosi
Sudah pasti mayoritas warga Habinsaran itu etnik Batak Toba. Tapi yang menarik, sebagian besar adalah orang Batak bermarga Pardosi.
Pardosi adalah marga raja, pembuka huta (kampung) pertama, di Habinsaran khususnya Parsoburan. Istilah orang Batak, Pardosi adalah sisuan bulu (penanam bambu). Dahulu kala, sebuah kampung Batak selalu dikelilingi oleh tanaman bambu sebagai "benteng hijau". Mencegah binatang buas masuk kampung.
Marga Pardosi itu sebenarnya marga Siagian. Tapi menurut hikayat, Raja Mardongan yang menjadi leluhur Pardosi, berselisih dengan saudaranya di kampung asal sekitar Balige. Karena sakit hati, Raja Mardongan pergi merantau ke timur, ke Habinsaran, lalu membuka "kerajaan" atau kampung baru di situ.