Saurmatua Bulung adalah kualitas kematian tertinggi statusnya dalam masyarakat Batak.  Karena menunjukkan bahwa semua anak (laki-laki dan perempuan) dari almarhum sudah berumahtangga, dan tiap anak itu sudah memberikan untuknya cucu (marpahompu), dan sudah ada cucunya yang memberi cicit (marnini-marnono), serta ada cicitnya yang memberi canggah (marondok-ondok).  Â
Kualitas semacam itulah yang disebut nagabe (yang berketurunan besar) dalam masyarakat Batak.  Karena tidak banyak orang Batak yang bisa mencapai kualitas kematian semacam itu, maka dengan sendirinya Jugia juga jarang digunakan.  Jugia dengan demikian adalah simbol pencapaian hagabeon dalam masyarakat adat Batak.
Ketatnya syarat penggunaan itu mendorong orang Batak untuk melonggarkannya.  Melalui pembicaraan adat kematian, maka bisa disepakati bahwa pada kualitas kematian Saurmatua pun ulos Jugia sudah boleh dipakaikan.  Saurmatua berarti semua anak (laki-laki dan perempuan) dari almarhum sudah berumahtangga, dan tiap anak itu sudah memberikan untuknya cucu untuknya.
Karena langka dan mahal, maka Jugia kemudian dikenal sebagai ulos homitan (simpanan khusus) atau na so ra pipot (abadi).  Jugia pada dasarnya adalah benda warisan turun-temurun. Nilainya setara dengan sitoppi, mahkota emas yang dikenakan isteri raja dalam pesta adat Batak.  Karena itu, dahulu,  lazimnya disimpan pemiliknya secara cermat di dalam tempat khusus yang disebut hombung atau parmonang-monangan (peti tempat barang berharga).Â
Itulah sedikit cerita tentang ulos Jugia dari saya, Felix Tani, petani mardijker, punya koleksi beberapa ulos, tapi tak punya Jugia.***
Catatan: Â Kepada rekan-rekan Kompasianer yang paham tentang ulos Batak, mohon koreksi jika ada kesalahan pada artikel ini. Â Saya sedang belajar tentang ulos Batak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H