Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Inilah Jugia, Ulos Batak Terindah yang Langka

11 Oktober 2018   09:37 Diperbarui: 11 Oktober 2018   20:42 3823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan ulos Jugia, terdiri dari lima bagian yang diikat menjadi satu lembar ulos (Sumber: tribaltextiles.info, koleksi Vera Tobing)

 

Jika dihadapkan pada sejumlah lembaran ulos Batak dengan ragam motif, seseorang, bisa jadi orang Batak sendiri, mungkin langsung menunjuk ulos Sadum sebagai ulos dengan nilai tertinggi.  Tak lain karena motif dan warna-warninya yang tampak sangat indah, cerah dan riang. 

Sadum memang terkenal sebagai ulos paling berwarna, cantik, tapi jelas bukan ulos dengan nilai tertinggi.  Nilai ulos Batak pertama-tama tidak diukur dari kecantikan warna-warninya, melainkan dari makna yang dinyatakan oleh ulos itu.  Dan makna itu dinyatakan dalam bentuk bahasa simbolik, berupa ragi (motif) pada ulos tersebut.

Kalau bukan Sadum, lantas ulos apa yang paling tinggi nilainya dalam kultur orang Batak (Toba)?  Perkenalkan, namanya Jugia.  Ya, ulos Jugia.

Satu Lembar Lima Bagian

Sejatinya, Jugia adalah jenis ulos Batak dengan motif paling indah.  Hanya karena jenis ulos ini sudah langka, sehingga jarang terlihat, maka mata orang lebih tertarik pada ulos Sadum yang sangat populer.

Terbuat dari bahan benang katun dan pewarna kualitas terbaik, satu lembar Jugia terdiri dari lima bagian yang tadinya ditenun secara terpisah, lalu kemudian diikat menjadi satu lembaran.  Dua sisi kanan dan kiri Jugia disebut ambi, simbol bahwa semua yang ada di dunia ini ada batasnya.  

Bagian tengah yang merupakan badan ulos disebut tor, motifnya garis-garis merah-kehitaman berpadu putih berjumlah ganjil yang disebut honda.   

Lalu dua ujung atas dan bawah merupakan kepala (ulu/tampahan) ulos yang dinamai tinorpa. Inilah bagian Jugia yang paling rumit dan indah motifnya.  Motif dua bagian tinorpa itu sekilas tampak serupa.  Tapi jika "dibaca" (dilihat) secara teliti, sebenarnya detil motif dua kepala jugia itu berbeda.  Motif kepala satunya adalah pinarhalak baoa (penggambaran laki-laki) dan satu lainnya pinarhalak boruboru (penggambaran perempuan).

Detil ulos Jugia, bagian motif rumit yang indah itu adalah Tinorpa (Sumber: tribaltextiles.info, koleksi Vera Tobing)
Detil ulos Jugia, bagian motif rumit yang indah itu adalah Tinorpa (Sumber: tribaltextiles.info, koleksi Vera Tobing)
Secara garis besar, motif tinorpa itu terdiri dari tiga bentuk simbolik. Pertama, bentuk anting-anting sebagai simbol hamoraon (kekayaan), karena anting-anting lazimnya terbuat dari emas. Kedua, bentuk sigumang (beruang) sebagai simbol kemakmuran, karena orang Batak mengenal beruang sebagai bekerja secara efisien dan efektif.  Ketiga, bentuk batu ni ansimun (biji mentimun), sebagai simbol kesehatan, karena khasiat mentimun sebagai penyegar tubuh.

Sepintas, tampilan  Jugia terlihat sama dengan ulos Ragidup yang lebih populer, karena merupakan jenis ulos yang selalu dikenakan oleh suhut bolon (tuan rumah utama) dalam pesta-pesta adat Batak. "Salah lihat" semacam itu bisa dimaklumi, karena Jugia sebenarnya peningkatan dari Ragidup.  Karena itu Jugia dinamai juga Pinunsaan, artinya "(Ragidup) yang ditingkatkan kualitas motif dan tenunannya".

Lima Bagian Ditenun Lima Penenun

Penenunan Jugia tak boleh sembarang.  Harus taat pada aturan waktu baik menurut hatiha (penanggalan) Batak.  Lazimnya penenunan dimulai pada artia (hari pertama) dan sudah harus selesai pada tula (hari keduapuluh bertepatan purnama).

Karena ketatnya aturan waktu, dan tuntutan ketepatan dan kecermatan motif yang sungguh padat dan rumit, maka lima bagian  Jugia lazimnya  ditenun secara terpisah oleh lima orang penenun dengan tingkat keahlian tertinggi. Setelah selesai, kelima bagian itu kemudian diihot (diikat) menjadi satu lembar ulos dengan teknik jahitan tangan.

Mengingat rumitnya motif ulos itu, maka penenun Jugia haruslah berkualifikasi Parpitu Lili.  Gelar ini merujuk pada pengggunaan tujuh batang lidi (pitu lili),  jumlah lidi yang digunakan sebagai pembawa benang  (satu lidi satu warna benang) untuk pembentukan motif Jugia. (Istilah parpitu lili kemudian dalam Bahasa Batak digunakan untuk menyebut kualitas orang berkeahlian sangat tinggi).

Detil Tinorpa pada ulos Jugia, perhatikan bentuk anting, beruang, dan biji ketimun (Sumber: tribal textiles.info, koleksi Vera Tobing)
Detil Tinorpa pada ulos Jugia, perhatikan bentuk anting, beruang, dan biji ketimun (Sumber: tribal textiles.info, koleksi Vera Tobing)
Penenun Jugia tidak saja harus ahli menenun motif rumit.  Tapi juga harus menguasai makna motif ulos Jugia itu.  Soalnya motif Jugia harus bersesuaian dengan asal-usul dan status sosial pemakai dan maksud penggunaannya.  Jika motif terlalu berat, dalam arti lebih tinggi dari kepantasan untuk status sosial pemesan, maka Jugia dipercaya bisa mendatangkan mara (kemalangan), bukannya pasu-pasu (berkah).

Karena itu, jika ada orang memesan ulos Jugia maka penenun akan mencari tahu dulu asal-usul dan status sosial pemesan, serta peruntukan ulos tersebut.  Pengetahuan itu kemudian menjadi dasar bagi penenun untuk menentukan motif tinorpa.  Tujuannya agar makna atau pesan simbolik pada motif Jugia serasi dengan asal usul dan status sosial pemesan serta peruntukannya.

Langka Karena Syarat Penggunaan yang Berat

Jugia kini sudah menjadi jenis ulos yang langka.  Bukan saja karena biaya pembuatannya yang sangat mahal, terkait proses penenunannya yang berat, motifnya yang bermakna spesifik dan indah, kualitas yang sangat tinggi, dan syarat kesesuaian karakter sosial pemilik dan jugianya. Tapi karena syarat penggunaannya yang sangat berat.

Dahulu hanya warga dari kalangan elit  sosial Batak yang boleh menggunakannya, tepatnya elit "raja",  baik "raja adat" maupun "raja huta".  Warga biasa, apalagi kalau diketahui sebagai keturunan hatoban (budak) dinilai tak layak mengenakan Jugia.

Tapi yang membuatnya langka sebenarnya adalah aturan bahwa Jugia hanya boleh dikenakan apabila sudah meninggal dunia.  Itupun meninggal dunia dengan kualitas langka, yaitu Saurmatua Bulung (atau disebut juga Saurmauli Bulung.).  Kepada almarhum, Jugia akan diletakkan di atas badannya sebagai ulos saput (pakaian), tapi tidak dibawa serta ke dalam makam.

Saurmatua Bulung adalah kualitas kematian tertinggi statusnya dalam masyarakat Batak.  Karena menunjukkan bahwa semua anak (laki-laki dan perempuan) dari almarhum sudah berumahtangga, dan tiap anak itu sudah memberikan untuknya cucu (marpahompu), dan sudah ada cucunya yang memberi cicit (marnini-marnono), serta ada cicitnya yang memberi canggah (marondok-ondok).   

Kualitas semacam itulah yang disebut nagabe (yang berketurunan besar) dalam masyarakat Batak.  Karena tidak banyak orang Batak yang bisa mencapai kualitas kematian semacam itu, maka dengan sendirinya Jugia juga jarang digunakan.  Jugia dengan demikian adalah simbol pencapaian hagabeon dalam masyarakat adat Batak.

Ketatnya syarat penggunaan itu mendorong orang Batak untuk melonggarkannya.  Melalui pembicaraan adat kematian, maka bisa disepakati bahwa pada kualitas kematian Saurmatua pun ulos Jugia sudah boleh dipakaikan.  Saurmatua berarti semua anak (laki-laki dan perempuan) dari almarhum sudah berumahtangga, dan tiap anak itu sudah memberikan untuknya cucu untuknya.

Karena langka dan mahal, maka Jugia kemudian dikenal sebagai ulos homitan (simpanan khusus) atau na so ra pipot (abadi).  Jugia pada dasarnya adalah benda warisan turun-temurun. Nilainya setara dengan sitoppi,  mahkota emas yang dikenakan isteri raja dalam pesta adat Batak.  Karena itu, dahulu,  lazimnya disimpan pemiliknya secara cermat di dalam tempat khusus yang disebut hombung atau parmonang-monangan (peti tempat barang berharga). 

Itulah sedikit cerita tentang ulos Jugia dari saya, Felix Tani, petani mardijker, punya koleksi beberapa ulos, tapi tak punya Jugia.***

Catatan:  Kepada rekan-rekan Kompasianer yang paham tentang ulos Batak, mohon koreksi jika ada kesalahan pada artikel ini.  Saya sedang belajar tentang ulos Batak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun