Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekowisata Katingan, Komoditisasi Ekosistem Asli Dayak Borneo?

22 September 2018   04:22 Diperbarui: 22 September 2018   16:48 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: www.wowborneo.com

Ekowisata itu membeli "masa lalu yang musnah" dan "masa depan yang muskil". Begitu dari sudut pandang turis. "Orang luar" yang datang ke sebuah ekosistem. Untuk menikmati "apa yang ada" di sana.

Asumsinya, turis ekowisata itu adalah kaum menengah perkotaan. Utamanya dari negara-negara industri modern.  Yang menganut paham dualisme, bahwa "manusia adalah tuan atas alam". Sehingga disharmoni manusia-alam adalah keniscayaan.

Mereka kini  hidup dalam sebuah ekosistem artificial bernama kota. Yang dibuat lewat pemusnahan ekosistem natural bernama desa atau pra-desa.

Kehidupan kota yang "panas" menumbuhkan kebutuhan sekaligus mimpi pada kaum urban untuk masuk ke dalam kehidupan desa/pra-desa yang "adem". Sebuah kehidupan penganut paham monisme, bahwa "manusia adalah pasangan alam". Sehingga harmoni manusia-alam adalah kepastian.

Ekowisata lalu tampil sebagai jawaban. Menjadi wahana bagi kaum menengah urban yang "malang" itu. Untuk sejenak masuk pada ekosistem desa/pra-desa, yakni  "masa lalu yang musnah" (oleh pembanguban kota) sekaligus "masa depan yang muskil" (mimpi pembalikan evolusi kota menjadi desa).

Itu teorinya. Sekarang masuk ke empiris sebelum nanti melihat implikasinya.  Dengan merujuk kisah  rekan S. Aji "Menjadi Turis dalam Sehari" di Katingan, pedalaman Kalteng sana  (kompasiana.com, 12/9/2018).

***

Pengalaman Aji  menjadi turis sehari itu, atas kemurahan pebisnis ekowisata asal Australia,  sejatinya adalah pengalaman  "orang luar" dalam ruang ekologis tempatnya sedang menjadi "orang luar yang menyatu dengan orang dalam:"  

Maksudnya begini. Sebagai pegiat sosial, Aji itu "orang luar" (non- Dayak) yang melibatkan diri dalam kehidupan komunitas Dayak pedalaman (orang dalam). Misinya mengefektifkan energi sosial budaya kreatif lokal untuk perkembangan mandiri.

Jika kemudian Aji menjadi "gagap budaya" dalam bermain peran sebagai turis luar, maka itulah konsekunsi beda paradigma ekoturisme dan ekologi budaya.

Paradigma ekowisata adalah "melihat apa yang ada di sebuah ekosistem".  Intinya menikmati (konsumsi) keaslian alam lestari. Dan ada biaya untuk itu. Yang dibayarkan kepada pebisnis ekowosata dan warga lokal yang terlibat.

Itu persis definisi ekowisata menurut The International Ecotourism Society (1990):  berikut: "...  kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat."

Paradigma ekologi budaya adalah "memahami apa yang terjadi di sebuah ekosistem." Mencakup pemahaman tentang struktur sosial, pola interaksi sosial, pola budaya, dan pola ko-eksistensi dan ko-evolusi antara komunitas dan lingkungan alamnya.

Aji yang menerapkan paradigma ekologi budaya dalam aktivitas sosialnya menjadi gamang saat diminta menjadi "orang luar" yang menikmati "diri sendir" (orang dalam) sevagai obyek ekowisata.

Aji menjadi "turis sehari" dengan tetap berpegang pada paradigma ekologi budaya. Padahal mestinya paradigma ekowisata. Maka menjadilah  dia seorang "turis janggal", yang gagal menikmati perjalanannya.

Yang ada malah konflik bathin. Tercermin dari pertanyaan  Aji dari atas kapal pesiar sungai yang mewah: "Seberapa mendalam kau memahami apa yang hidup di perkampungan itu? Seberapa utuh mengerti bagaimana model pembagian kerja dan kuasa yang hidup dalam rumah tangga dalam hubungannya dengan pemanfataan hasil sungai dan hutan?"

Lalu pertanyaan akhir yang menohok diri selaku "turis sehari": "Dari sumber produksi tradisional yang seperti ini, pengharapan futuristik apa yang mereka imajinasikan." Maksudnya, masa depan macam apa yang dibayangkan komunitas-komunitas Dayak sepanjang DAS Katingan itu?  

Dengan pertanyaan-pertanyaan Aji itu, saya akan masuk pada implikasi dari implementasi teori ekoturisme tadi bagi komunitas Dayak di Katingan.

***

Jika ekoturisme adalah konsumsi "masa lalu yang musnah" dan "masa depan yang muskil" bagi kelas menegah berperadaban urban modern, maka "masa kini" komunitas Dayak  Katingan telah didisain sebagai obyek ekowisata yang bersifat tetap. Atau dalam istilah yang menipu:  "lestari".  

Maksudnya, ekosistem kekinian Dayak Katingan itu mesti tepat merepresentasikan "masa lalu yang musnah" dan "masa depan yang muskil" sebagaimana dipersepsikan pebisnis ekowisata dan tetamu turisnya. Sebab jika tidak demikian, untuk apa sang turis bayar mahal.

Implikasinya  bagi komunitas Dayak Katingan sungguh "mengerikan". Sejarah hidup mereka dihentikan paksa pada status "masa kini" yang dibingkai konsep gincu  "ekosistem lestari".  

Mengerikan karena itu bukan pilihan mereka. Tapi dipilihkan untuk mereka oleh pebisnis ekowisata. Demi hasrat kapitalistik untuk mengemas "masa lalu yang musnah" dan "masa depan yang muskil"  menjadi komoditas ekowisata "ekosistem lestari".  

Lihat bedanya denga komunitas Baduy Dalam di Banten Jawa. Mereka  mempertahankan "ekosistem lestari"-nya atas pilihan sendiri yang bersifat otonom. Jika kemudian itu menjadi obyek wisata, maka itu bukan karena mereka berinisiatif menjualnya. Itu tak pernah menjadi tujuan bagi mereka.

Lain dengan ekowisata Katingan. Kendati mungkin itu pembangunan ekowisata berbasis komunitas. Tapi  di situ mereka digiring untuk "membekukan ekosistem"nya pada status tetap, "lestari".  

Dengan begitu, imajinasi mereka tentang "masa depan yang lebih baik"  telah dipatahkanan. Diyakinkan bahwa sejarah mereka adalah "masa kini" yang "lestari" itu.

Padahal, sejatinya ekosistem mereka telah didisain "orang luar", kapitalis turisme, menjadi sebuah "komoditas". Untuk didagangkan kepada kelas menengah urban yang "malang", karena merindukan "masa lalu yang musnah" dan "masa depan yang muskil".

Pikiran saya di sini memang muram, curiga, dan negatif. Tapi bukan maksud saya untuk mematahkan semangat rekan Aji dan teman-temannya untuk mendorong pengembanfan ekowisata di Katingan sana.  

Saya hanya mengungkap sebuah pandangan skeptis tentang ekowisata, untuk merangsang siapa saja untuk bertanya, "Ekowisata macam apa yang hendak dikembangkan?" Apapun jawabannya, eksistensi warga  lokal haruslah menjadi utama.

Jangan sampai ekowisata itu menjadi semacam "perdagangan keperawanan" (ekosistem asli) yang, kalau perlu, dipoles dengan hymenorrhaphy sekalian.

Begitulah pandangan saya, Felix Tani, petani mardijker, pantang didikte kapitalis.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun