Mengerikan karena itu bukan pilihan mereka. Tapi dipilihkan untuk mereka oleh pebisnis ekowisata. Demi hasrat kapitalistik untuk mengemas "masa lalu yang musnah" dan "masa depan yang muskil" Â menjadi komoditas ekowisata "ekosistem lestari". Â
Lihat bedanya denga komunitas Baduy Dalam di Banten Jawa. Mereka  mempertahankan "ekosistem lestari"-nya atas pilihan sendiri yang bersifat otonom. Jika kemudian itu menjadi obyek wisata, maka itu bukan karena mereka berinisiatif menjualnya. Itu tak pernah menjadi tujuan bagi mereka.
Lain dengan ekowisata Katingan. Kendati mungkin itu pembangunan ekowisata berbasis komunitas. Tapi  di situ mereka digiring untuk "membekukan ekosistem"nya pada status tetap, "lestari". Â
Dengan begitu, imajinasi mereka tentang "masa depan yang lebih baik" Â telah dipatahkanan. Diyakinkan bahwa sejarah mereka adalah "masa kini" yang "lestari" itu.
Padahal, sejatinya ekosistem mereka telah didisain "orang luar", kapitalis turisme, menjadi sebuah "komoditas". Untuk didagangkan kepada kelas menengah urban yang "malang", karena merindukan "masa lalu yang musnah" dan "masa depan yang muskil".
Pikiran saya di sini memang muram, curiga, dan negatif. Tapi bukan maksud saya untuk mematahkan semangat rekan Aji dan teman-temannya untuk mendorong pengembanfan ekowisata di Katingan sana. Â
Saya hanya mengungkap sebuah pandangan skeptis tentang ekowisata, untuk merangsang siapa saja untuk bertanya, "Ekowisata macam apa yang hendak dikembangkan?" Apapun jawabannya, eksistensi warga  lokal haruslah menjadi utama.
Jangan sampai ekowisata itu menjadi semacam "perdagangan keperawanan" (ekosistem asli) yang, kalau perlu, dipoles dengan hymenorrhaphy sekalian.
Begitulah pandangan saya, Felix Tani, petani mardijker, pantang didikte kapitalis.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI