Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keluarga Nain dan Waktu yang Berhenti di Gang Sapi Jakarta

6 September 2018   10:05 Diperbarui: 6 September 2018   10:48 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi Gang Sapi, lokasi mukim Keluarga Nain (Dokpri)

Ada sebuah pertanyaan, "Apakah waktu bergerak dengan pola garis lurus atau lingkaran?"

Jika waktu bergerak lurus, berarti kita tak akan menemukan masa lalu di masa kini atau masa depan.. Panta rhei, perubahan terjadi dari satu ke lain titik waktu.

Benarkah? Coba uji dengan isu kesukuan di Indonesia. Isu ini sudah selesai tahun 1928 dengan ikrar Sumpah Pemuda. Tapi tahun 2018 ini isu kesukuan muncul lagi untuk mendukung seorang cawapres yang konon berdarah Gorontalo.

Karena itu, timbul pikiran tandingan, yang beranggapan waktu bergerak melingkar, tepatnya spiral.

Jika waktu dianggap bergerak, maka wajar bertanya, bisakah waktu berhenti?

Secara sosiologis, hal itu tak mustahil. Jika indikator waktu secara sosiologis adalah perubahan sosial, maka stagnasi adalah titik berhentinya waktu.

Baiklah, itu teorinya. Empiriknya, saya akan sajikan  sebuah kasus kisah keluarga Betawi di Gang Sapi Jakarta. Kisah keluarga Pak Nain.

Tentu keluarga Nain di sini adalah "keluarga tipologis". Kisah sejumlah keluarga Betawi yang dirangkum ke dalam kisah "satu keluarga".

Itu  merujuk pada metode yang digunakan Oscar Lewis saat mengerjakan "Kisah Lima Keluarga" di Kota Meksiko.

Tentu kisahnya tak akan serinci dan sekaya penceritaan Lewis. Saya hanya akan menyampaikan ringkasan cerita saja.

***

Keluarga Nain bermukim di Gang Sapi sejak  1970-an. Tadinya tinggal di koridor barat Jalan Bangka Raya.  Tapi Nain menjual tanahnya kepada pendatang di situ. Lalu membeli sebidang kebun di lokasi Gang Sapi sekarang.

Keluarga Nain adalah satu dari banyak warga Betawi yang mundur dari koridor jalan utama, yaitu Buncit Raya (Mampang) dan Bangka Raya ( Kemang), ke daerah aliran sungai (bantaran) Kali Mampang.

Di Gang Sapi, Nain tinggal bersama isteri keduanya. Isteri pertama dan anak-anaknya bermukim di kampung lain.

Dari isteri keduanya, Naim mendapatkan empat orang anak, dua laki-laki (anak kedua dan keempat), Oji dan Oman, serta dua perempuan, Odah dan Leha.

Awal 1980-an, Nain menjual sebagian tanahnya, seluruhnya sekitar 500 meterxpersegi, kepada dua keluarga pendatang. Sebagian uang hasil penjualan dipakai untuk naik haji.

Untuk menafkahi keluarganya, Nain membuka warung kelontong di bagian depan rumahnya. Selain itu juga dia usaha jual-beli bahan bangunan bekas. Dan setiap menjelang Lebaran, menjual kambing kurban.

Secara ekonomi, keluarga Nain tergolong cukupan di Gang Sapi. Isterinya suka tampil di depan rumah dengan mengenakan kalung dan gelang emas secara menyolok.

Tapi keempat orang anak Nain hanya  bersekolah sampai tingkat SMP.  Nain berpandangan anak tak perlu sekolah tinggi. Yang penting bisa baca-tulis.

Pada tahun 19900, Nain menikahkan anak perempuan tertuanya, Odah, dengan seorang lelaki migran dari Indramayu. Pestanya cukup besar, pakai hiburan video dan dangdutan.

Tapi dua minggu kemudian menantunya menghilang dan tak pernah kembali lagi. Walau sudah disusuli ke Indramayu. Sekitar tujuh bulan setelah pesta nikah, anak perempuannya melahirkan seorang bayi perempuan.

Memasuki penghujung 1990-an, Nain mulai sakit-sakitan. Kata dokter menderita komplikasi penyakit paru-paru. Perlahan tapi pasti, tubuhnya semakin kurus, higgga seolah belulang dibungkus kulit.

Seiring fisiknya yang makin ringkih, usaha jual-beli bahan bangunan bekas miliknya ditutup. Warung kelontongnya juga menciut skalanya.

Nain mulai kehabisan modal usaha. Uangnya terserap terutama untuk biaya berobat. Tapi kobdisi kesehatannya makin memburuk.

Dia lantas  menjual sebidang lagi tanahnya ke Haji Baim, orang Betawi kaya dari kampung tetangga. Uang hasil penjualan itu habis juga. Untuk biaya berobat dan biaya hidup sehari-hari.

Isteri dan anak-anaknya menganggur. Jadi  tak ada tambahan pemasukan untuk keluarga.

Tahun 2012 Nain meninggal dunia. Isteri dan keempat anaknya ditinggal nyaris tanpa sumber nafkah dan modal usaha. Warung kelontongnya bukan saja menciut, tapi sudah semacam "mati segan hidup tak mau".

Isteri Nain harus menghidupi empat anak nganggur dan seorang cucu yang sudah sekolah di SD. Beruntung waktu itu Gubernur Jakarta, Jokowi dan kemudian Ahok, menggratiskan uang sekolahl. Juga memberlakukan KJP, dan cucu Nain  mendapatkannya. Beban ekonomi keluarga agak diringankan.

Untuk menambah penghasilan keluarga Oji, anak laki tertua, mulai berupaya kerja serabutan di sekitar Kemang. Tapi hasilnya tak seberapa.

Seiring  meningkatnya jumlah migran ke Jakarta, ada kebutuhan kamar kontrakan. Peluang ini dimanfaatkan  keluarga Nain dengan membuat dua kamar bersekat tripleks, satu di depan mepet selokan dan satu lagi di belakang.

Maka  keluarga Nain prakris hanya mendiami tiga ruang kecil bersekat tripleks yang tersisa. Total sekitar 40 meter persegi. Memanjang dari depan ke belakang tanpa jendela di kiri-kanannya. Kondisi dalam rumah pengap dan remang sepanjang waktu.

Tahun 2012 Leha, anak perempuan nomor dua,  dipinang lelaki dari kelurahan tetangga. Beban tanggungan keluarga Nain berkurang lagi. Anak perempuan itu dibawa pergi pindah rumah oleh suaminya.

Sementara itu Oji  belum punya kerjaan tetap dan belum nikah juga. Odah berjuang membesarkan anaknya. Dia berusaha menghidupkan  warungnya dengan jualan makanan jajanan anak-anak.

Sedangkan Oman, anak lelaki terkecil tidak melakukan apapun. Kecuali  duduk nongkrong di bangku depan rumahnya sepanjang siang sampai malam. Merokok di situ sambil main henpon, sering dengan mengajak remaja sebayanya.

Pada  tahun 2016 anak lelaki terbesar Nain menikah dengan sorang janda  dari kampung lain. Dia kemudian terbawa  pindah ke kediaman isterinya. Sekarang  dia bekerja sebagai mitra ojek on-line.

Kondisi 2018, Odah  masih tetap sungsang-sumbel  membesarkan anak gadisnya yang kini kelas 3 SMA. Satu-satunya usaha yang dilakukan adalah mempertahankan warung jajanan skala mikronya.

Isteri Nain tak bekerja. Dia tak punya penghasilan lain kecuali dua kamar kontrakan yang tingkat "drop-out"nya tinggi. Sempat kena katarak,  dia beruntung punya  KJS sebagai solusi biaya pengobatan.

Oman, anak laki terkecil,  masih tetap nganggur. Tidak melakukan apapun, kecuali duduk nongkrong di depan rumahnya, pagi siang sore malam. Main henpon sambil mencemari udara debgan asap rokoknya.

***

Jadi, kemvalu ke pertanyaan awal,   apakah waktu bergerak lurus atau melingkar di Gang Sapi Jakarta? Dari sudut pandang sosiologi perubahan sosial jawabnya jelas, "Tidak keduanya."

Kisah keluarga Nain, sebagai tipologi keluarga Betawi di perkampungan kota, menunjukkan bahwa waktu  tak bergerak di Gang Sapi. Waktu justru berhenti di sana.

Indikasinya adalah stagnasi sosial yang membekap keluarga Nain. Ketika kondisi sosial-ekonomi di koridor Bangka Raya dan Buncit Raya tumbuh dan berkembang pesat, ekonomi keluarga Nain justru menyusut lalu stagnan pada status survival. Hidup pada kualitas sekadar bisa makan untuk menyambung nafas ke hari esok.

Secara ekonomi, kondisi kelyarga migran yang mengontrak kamar di rumah keluarga Nain justeu lebih baik dan  cenderung bergerak meningkat. Pendatang umumnya memang terlihat lebih gigih berusaha.

Sudah berulang kali terjadi  pergantian Gubernur Jakarta. Setiap gubernur baru selalu menjanjikan peningkatan sosial-ekonomi untuk warga Betawi khususnya. Tak terkecuali gubernur sekarang.

Tapi bagi keluarga Nain, keadaan tak berubah. Waktu sudah berhenti bagi keluarga itu. Menunggu pemenuhan janji-janji gubernur baginya tak lebih dari  menggantang asap. Hasilnya, perih di mata.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun