Seiring fisiknya yang makin ringkih, usaha jual-beli bahan bangunan bekas miliknya ditutup. Warung kelontongnya juga menciut skalanya.
Nain mulai kehabisan modal usaha. Uangnya terserap terutama untuk biaya berobat. Tapi kobdisi kesehatannya makin memburuk.
Dia lantas  menjual sebidang lagi tanahnya ke Haji Baim, orang Betawi kaya dari kampung tetangga. Uang hasil penjualan itu habis juga. Untuk biaya berobat dan biaya hidup sehari-hari.
Isteri dan anak-anaknya menganggur. Jadi  tak ada tambahan pemasukan untuk keluarga.
Tahun 2012 Nain meninggal dunia. Isteri dan keempat anaknya ditinggal nyaris tanpa sumber nafkah dan modal usaha. Warung kelontongnya bukan saja menciut, tapi sudah semacam "mati segan hidup tak mau".
Isteri Nain harus menghidupi empat anak nganggur dan seorang cucu yang sudah sekolah di SD. Beruntung waktu itu Gubernur Jakarta, Jokowi dan kemudian Ahok, menggratiskan uang sekolahl. Juga memberlakukan KJP, dan cucu Nain  mendapatkannya. Beban ekonomi keluarga agak diringankan.
Untuk menambah penghasilan keluarga Oji, anak laki tertua, mulai berupaya kerja serabutan di sekitar Kemang. Tapi hasilnya tak seberapa.
Seiring  meningkatnya jumlah migran ke Jakarta, ada kebutuhan kamar kontrakan. Peluang ini dimanfaatkan  keluarga Nain dengan membuat dua kamar bersekat tripleks, satu di depan mepet selokan dan satu lagi di belakang.
Maka  keluarga Nain prakris hanya mendiami tiga ruang kecil bersekat tripleks yang tersisa. Total sekitar 40 meter persegi. Memanjang dari depan ke belakang tanpa jendela di kiri-kanannya. Kondisi dalam rumah pengap dan remang sepanjang waktu.
Tahun 2012 Leha, anak perempuan nomor dua, Â dipinang lelaki dari kelurahan tetangga. Beban tanggungan keluarga Nain berkurang lagi. Anak perempuan itu dibawa pergi pindah rumah oleh suaminya.
Sementara itu Oji  belum punya kerjaan tetap dan belum nikah juga. Odah berjuang membesarkan anaknya. Dia berusaha menghidupkan  warungnya dengan jualan makanan jajanan anak-anak.