Sedangkan Oman, anak lelaki terkecil tidak melakukan apapun. Kecuali  duduk nongkrong di bangku depan rumahnya sepanjang siang sampai malam. Merokok di situ sambil main henpon, sering dengan mengajak remaja sebayanya.
Pada  tahun 2016 anak lelaki terbesar Nain menikah dengan sorang janda  dari kampung lain. Dia kemudian terbawa  pindah ke kediaman isterinya. Sekarang  dia bekerja sebagai mitra ojek on-line.
Kondisi 2018, Odah  masih tetap sungsang-sumbel  membesarkan anak gadisnya yang kini kelas 3 SMA. Satu-satunya usaha yang dilakukan adalah mempertahankan warung jajanan skala mikronya.
Isteri Nain tak bekerja. Dia tak punya penghasilan lain kecuali dua kamar kontrakan yang tingkat "drop-out"nya tinggi. Sempat kena katarak,  dia beruntung punya  KJS sebagai solusi biaya pengobatan.
Oman, anak laki terkecil, Â masih tetap nganggur. Tidak melakukan apapun, kecuali duduk nongkrong di depan rumahnya, pagi siang sore malam. Main henpon sambil mencemari udara debgan asap rokoknya.
***
Jadi, kemvalu ke pertanyaan awal, Â apakah waktu bergerak lurus atau melingkar di Gang Sapi Jakarta? Dari sudut pandang sosiologi perubahan sosial jawabnya jelas, "Tidak keduanya."
Kisah keluarga Nain, sebagai tipologi keluarga Betawi di perkampungan kota, menunjukkan bahwa waktu  tak bergerak di Gang Sapi. Waktu justru berhenti di sana.
Indikasinya adalah stagnasi sosial yang membekap keluarga Nain. Ketika kondisi sosial-ekonomi di koridor Bangka Raya dan Buncit Raya tumbuh dan berkembang pesat, ekonomi keluarga Nain justru menyusut lalu stagnan pada status survival. Hidup pada kualitas sekadar bisa makan untuk menyambung nafas ke hari esok.
Secara ekonomi, kondisi kelyarga migran yang mengontrak kamar di rumah keluarga Nain justeu lebih baik dan  cenderung bergerak meningkat. Pendatang umumnya memang terlihat lebih gigih berusaha.
Sudah berulang kali terjadi  pergantian Gubernur Jakarta. Setiap gubernur baru selalu menjanjikan peningkatan sosial-ekonomi untuk warga Betawi khususnya. Tak terkecuali gubernur sekarang.