Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Studi Kasus Selokan Gang Sapi di Jakarta (Bagian Terakhir)

31 Agustus 2018   21:14 Diperbarui: 31 Agustus 2018   21:52 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi Gang Sapi Jakarta suatu sore, Jumat 24 Agustus 2018 (Dokpri)

Berdasar paparan hasil studi kasus selokan Gang Sapi Jakarta pada tiga bagian terdahulu, kesimpulan apakah yang bisa ditarik?

Agar tak keliru ekspektasi, terlebih dahulu perlu diingat  studi kasus tak pernah dimaksudkan untuk  menghasilkan sebuah teori besar (grand theory).  

Studi kasus senantiasa menghasilkan  "teori kecil", teori induktif, lazimnya diposisikan sebagai   hipotesis. Fungsinya untuk menjelaskan kasus itu. Tapi juga  terbuka dijadikan hipotesa pengarah bagi kasus-kasus lain.

Dengan pembatasan di atas, saya akan masuk pada penyimpulan kasus selokan Gang Sapi. Ada tiga kesimpulan pokok.

Satu: Selokan sebagai Hak Milik Bersama

Berdasar paparan terdahulu dapat disimpulkan bahwa warga   Gang Sapi mempersepsikan selokan sebagai "hak milik bersama" (common property).  

Praktek hak milik bersama itu dapat bergerak pada dua arah yaitu menuju pemeliharaan milik bersama, atau menuju pemanfaatan oleh setiap warga tanpa kontrol sebagai "tempat sampah bersama".  

Arah mana yang dituju tergantung pada ada tidaknya gagasan yang diimplementasikan pemerintah.  

Pada masa pemerintahan Sutiyoso sampai Fauzi Bowo, tidak ada gagasan inovatif penanganan sungai dan selokannya. Maka tidak ada juga yang dikerjakan di selokan Gang Sapi.

Tanpa gagasan dan tanpa kerja, maka nasib selokan Gang Sapi jatuh ke "tragedi kepemilikan bersama" (tragedy of the commons) ala Garrett Hardin (1968). Setiap warga merasa berhak memanfaatkan selokan gang Sapi sebagai tempat buang sampah, tanpa inisiatif merawatnya.  

Maka yang terjadi  kemudian adalah deteriorisasi selokan Gang Sapi. Seharusnya menjadi sarana sanitasi lingkungan sehat. Faktanya menjadi sumber bibit penyakit.

Ketika pemerintahan Jokowi/Ahok/Jarot datang dengan gagasan normalisasi sungai, yang untuk sebagian implementasinya berupa sistem PPSU,  maka praktis selokan Gang Sapi juga terkontrol dan terpelihara.

Sistem PPSU juga mendorong peranserta aktif warga dalam memelihara kebersihan selokan, secara interaktif dengan petugas PPSU.

Ada gagasan dan ada kerja (implementasi). Itu yang mengubah tragedi kepemilikan bersama di selokan Gang Sapi, menjadi kebaikan pemilikan bersama.

Pada tahun pertama pemerintahan Anies Baswedan, ada gagasan naturalisasi sungai, tapi tak ada kerja dalam arti implementasi gagasan itu. Sementara gagasan dan kerja PPSU/normalisasi sungai diterima dan dijalankan setengah hati.

Akibatnya, selokan Gang Sapi menunjukkan gejala kembalui ke situasi tragedi kepemilikan bersama.

Dua: Revolusi dari Atas Menggerakkan Peranserta Warga

Ketika pemerintahan Sutitoso dan Fauzi Bowo datang tanpa gagasan dan tanpa kerja terkait pemeligaraan sungai dan selokan, maka saat itu juga tidak ada  inisiatif warga Gang Sapi memelihara kebersihan selokannya. Sebaliknya, warga justru menjadikan selokan sebagai tempat buang sampah favorit.

Sistem PPSU yang digagas dan dijalankan pemerintahan Jokowi/Ahok/Jarot, yang diintegrasikan pada program normalisasi sungai, berhasil merangsang inisiatif dan kemudian peranserta warga Gang Sapi dalam pemeliharaan kebersihan lingkungan pemukiman khususnya selokan.

Kuncinya adalah kehadiran rutin petugas PPSU untuk menangani masalah-masalah prasarana dan sarana umum, termasuk kerapihan dan kebersihan selokan. Disiplin ketat petugas mendorong warga untuk berdisiplin juga membuang sampah atau limbah rumahtangga. Hal yang tak terjadi pada masa sebelumnya.

Sistem PPSU itu merupakan wujud "revolusi dari atas", yaitu digagas dan digerakkan pemerintahan Jokowi/Ahok/Jarot.  Dengan cara revolusioner seperti itu, peranserta masyarakat dapat dibangkitkan dan dipelihara kelanggengannya.

Tanpa "revolusi dari atas" semacam itu, maka peranserta warga tak berkembang. Inilah yang terjadi dalam setahun pertama pemerintahan Anies Baswedan. Ada gagasan "naturalisasi sungai" yang sebenarnya revolusioner, tapi tidak ada prakteknya di lapangan. Akibatnya, peranserta warga Gang Sapi yang sudah sempat tumbuh, menjadi layu kembali.

Tiga: Kondisi Selokan Indikator Perhatian Pemerintah pada Warga Lapis Bawah

Pemerintah Jakarta bisa saja mengklaim pemihakan program-program pembangunan pada kepentingan warga lapis bawah, seperti warga Gang Sapi.

Tapi kondisi sarana umum paling dasar, dalam hal ini selokan kampung, bisa menunjukkan kejujuran atau sebaliknya kebohongan pada klaim semacam itu.

Fakta bahwa selokan Gang Sapi menjadi tempat sampah dan sumber bibit penyakit semasa pemerintahan Sutiyoso dan Fauzi Bowo, adah bukti nyata bahwa pemerintahan mereka tak perduli pada kesejahteraan warga lapis bawah, sekurangnya di bidang kesehatan.

Sebaliknya di masa pemerintahan Jokowi/Ahok/Jarot, kebersihan selokan Gang Sapi menjadi indikasi perhatian mereka pada kesejahteraan warga lapis bawah.  

Konsisten dengan kebersihan selokan, sebagai pertanda hidup sehat, pemerintahan Jokowi/Ahok/Jarot menggagas dan menjalankan sistem jaminan kesejahteraan sosial ekonomi bagi warga kurang mampu. Sebagaimana terwujud dalam program-program KJP dan KJS.

Dalam setahun pemerintahan Anies Baswedan, tak bisa dibuat simpulan pemihakan pada warga miskin. Memang ada klaim Anies Baswedan tentang  pemihakan pada warga lapis  bawah Jakarta.  

Tapi  fakta bahwa selokan Gang Sapi mulai jadi tempat buang sampah kembali menyebabkan klaim Anies Baswedan itu lemah bukti empirisnya.

Bisa dikatakan di sini, jika merujuk tradisi Popperian (Karl Popper), tumpukan sampah di selokan Gang Sapi merupakan falsifikasi terhadap klaim Gubernur Anies tentang keberpihakannya pada warga lapis bawah.

Demikianlah kesimpulan yang dapat ditarik dari studi kasus selokan Gang Sapi Jakarta yang sangat bersahaja ini. Semoga ada manfaatnya.***

(SELESAI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun