Kemarin saya membagikan artikel "Gejala Pembangunan Semu di Jakarta" (kompasiana.com, 16/8/18). Â Artikel sederhana itu mendapat respon positif berupa komentar konstruktif dari teman-teman Kompasianer. Â
Untuk memfasilitasi suatu pemahaman utuh, saya merasa perlu untuk menulis-ulang artikel itu, melengkapi hal-hal yang kurang, dan membagikannya kembali di sini.
Saya sudah sebutkan, istilah "pembangunan semu" (pseudo-development) Â itu merujuk pada fakta tidak adanya kemajuan jika dilihat secara keseluruhan, tapi ada fakta kemajuan jika dilihat secara parsial. Â
Namun kemajuan parsial itu hanya bersifat kamuflase, menyembunyikan fakta madalah yang tak teratasi. Â Itu alasannya dinamai "pembangunan semu".
Contohnya program bantuan langsung tunai (BLT) untuk keluarga miskin. Program ini meningkatkan daya beli keluarga miskin. Tetapi tidak meningkatkan pendapatan nasional. Karena sifatnya bukan  menciptakan pendapatan baru.
Maka peningkatan daya beli keluarga miskin itu  semu. Dalam arti tidak mencerminkan peningkatan pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan produktif keluarga miskin sendiri. Â
Program BLT hanya mengatasi dampak ekonomis kemiskinan yaitu daya beli lemah. Tidak mengatasi penyebab kemiskinan. Sehingga sejatinya keluarga miskin tetap saja miskin.
Untuk konteks masyarakat petani tahun 1970-an, Prof. Sajogyo merumuskannya gejala pembangunan semu itu dengan istilah "modernisasi tanpa pembangunan". Â Faktanya waktu itu yetjadi modernisasi teknologi pertanian, tapi pendapatan buruh tani dan petani gurem stagnan, bahkan mengecil.
Pembangunan semu dengan demikian menunjuk pada gejala tidak adanya  pertumbuhan. Kendati teramati ada gerakan, tapi itu seperti orang lari di tempat. Ujungnya adalah  stagnasi.
***
Itu tadi teorinya. Empiriknya hendak saya tunjukkan di Jakarta. Di kota ini, memasuki semester kedua tahun 2018 ini, teridentifikasi adanya gejala pembangunan semu.