Sistem  lalu-lintas ganjil-gena tadinya hanya berlaku sebatas Sudirman-Thamrin, Gatot Subrota, dan Rasuna Said. Sekarang meluas  ke timur  (MT Haryono, DI Panjaitan), selatan (Kartini, Pondok Indah), barat (S. Parman) dan utara (Benyamin Suaeb). Â
Aslinya kebijakan ganjil-genap  dimaksudka Pemda Jakarta sebelumnya sebagai transisi menuju sistem jalan berbayar. Sambil menunggu MRT dan LRT operasional.
Nah, perluasan sistem ganjil-genap itu diklaim Pemda Jakarta mengurangi kemacetan secara signifikan. Ya, tentu saja begitu di ruas-ruas jalan ganjil-genap.
Tapi coba lihat kondisi jalan-jalan alternatif. Â Kemacetan bertambah parah. Jadi kalau dihitung secara agregat Jakarta, tingkat kemacetan sebenarnya tidak berubah.
Ini hanya memindahkan kemacetan dari jalan-jalan utama ke jalan-jalan alternatif. Artinya, kelancaran di jalan-jalan utama itu bersifat semu. Sekali sistem ganjil-genap dihapus, jalanan pasti macet lagi.
Hanya kalau sistem transportasi publik modern terintegrasi yang pernah dijanjikan Pak Anies Baswedan bisa direalisir, barulah ada harapan kemacetan akan berkurang.
Kasus 3: Naturalisasi Sungai
Untuk menata daerah aliran sungai, Pak Anies Baswedan menjanjikan naturalisasi sungai. Ini istilah lain untuk normalisasi sungai era Pak Ahok. Semacam mie instanvyang sama dengan bungkus yang beda.
Dengan naturalisasi sungai, yang dibayangkan tentunya adalah pemulihan ekosistem sungai menjadi alami seperti semula. Sebagai hasilnya, Â sungai-sungai Jakarta akan berair jernih dan bersih serta tak berbau.
Tapi itu hanya bayangan. Faktanya tidak ada naturalisasi sungai di Jakarta sejauh ini. Â
Yang ada justru  "kamuflase" di Kali Item. Sungai dikerudungi waring, sekaligus diberi perlakuan teknologi nano buble dan teknologi mikroba, untuk menghilangkan ruapan bau. Â