Tentu mahal biayanya. Dan lebih mahal lagi di perkotaan, di mana pesta nikah  sudah menjadi industri kapitalistik. Acara dijalankan "event organizer", makanan dan minuman disiapkan perusahaan katering, hiburan disajikan manajemen artis, dan tempat disediakan pengusaha property.
Apa yang dicari? Pengakuan publik atas "hamoraon, hagabeon, hasangapon" dari keluarga mempelai pria dan wanita. Â Pengakuan seperti itu paling mudah didapatkan di pesta nikah adat yang dihadiri seluruh kerabat inti fan kerabat luas, dari lingkaran terdalam sampai terluar Dalihan na Tolu, serta dihadiri para sahabat dan kolega.
Sayang memang, dominasi pertunjukan "hamoraon, hagabeon, hasangapon" di panggung sosial pesta nikah adat itu telah mengalahkan nilai-nilai inti Dalihan na Tolu orang Batakyaitu "Somba marhula-hula; Manat mardongan-tubu; Elek marboru".
Terbukti, setelah pesta usai, "hamoraon, hagabeon, hadangapon" itulah yang dibicarakan dan diingat para tamu.
Saatnya orang Batak refleksi, menurut saya, Felix Tani, petani mardijker, pernah meneliti masyarakat hukum adat Batak Toba.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H