Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pesta Nikah Adat Batak Itu Panggung Sosial

5 Agustus 2018   04:25 Diperbarui: 5 Agustus 2018   08:58 2007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menarik membaca rekan Kompasianer Irmina Gultom (IG), "Sulitnya Mengesampingkan Gengsi di Pernikahan Adat Batak" yang  tayang di Head Line Kompasiana (2/8/18).

Saya pikir rekan IG  tidak perlu khawatir ada yang tersinggung karena isi artikelnya. Sebab, pertama, pemanggungan gengsi dalam pesta nikah bukan  monopoli etnis Batak. Tapi juga etnis lain. Terutama untuk mereka yang tinggal di perkotaan, di tempat kapitalisme sudah mengambil alih pesta nikah sebagai lahan bisnis.

Kedua, isi tulisan IG adalah hadil pengamatan. Untuk sebagian besar saya duga pengalamannya sendiri. Artinya dia menjadi partisipan-pengamat. Jadi, kredibilitas isi artikelnya bisalah dipegang.

Jika saya menulis tanggapan singkat ini, bukan untuk membantah isinya. Tapi untuk menjelaskan konteks sosioligis pesta nikah adat Batak (Toba) itu. Dengan begitu, penilaian bisa lebih holistik.

Panggung "Dalihan na Tolu"

Pesta nikah adat Batak adalah panggung sosial. Di situ dipanggungkan relasi sosial antara tiga unsur pembentuk masyarakat Batak, yaitu "hula-hula" (pihak mempelai wanita), "boru" (pihak mempelai pria), dan "dongan tubu" (kerabat segaris darah). Ketiganya dikenal sebagai "Dalihan na Tolu" (Tiga Batu Tungku).

Norma adat yang mengatur hubungan antara tiga unsur itu adalah "Somba marhula-hula; Manat mardongan-tubu; Elek marboru". Artinya, "Hormat pada hula-hula; Baik pada dongan-tubu; Kasih pada boru."

Hubungan itulah sebenarnya yang dipanggungkan pada pesta adat nikah Batak. Nilai "sinamot" (mahar) dan skala pesta adalah ukuran perwujudan "somba marhula-hula" dari pihak "boru" terhadap "hula-hula".  

Semakin besar nilai "sinamot" dan skala pesta, artinya semakin besar penghormatan "boru" pada "hula-hula"nya. Tentu nilai besar atau kecil dalam hal ini relatif.  Tergantung pada status sosial "hula-hula" dan "boru" dalam masyarakat hukum adatnya.

Satu hal yang perlu diingat, nilai "sinamot" dan skala pesta adalah kesepakatan pihak calon "hula-hula" dan calon "boru", lengkap dengan "dongan tubu" dan "boru" dari kedua belah pihak.  

Lazim ada upaya dari calon "hula-hula" untuk "mangelek" (membujuk) calon "boru" agar menaikkan nilai "sinamot" dan skala pesta.  Pihak calon "boru" akan berupaya mohon pengertian, sampai akhirnya kedua pihak tiba pada kesepakatan.  

Pada titik itu, "hula-hula" telah mendapatkan kehormatan dan "boru" mendapatkan restu "kepantasan". Artinya, gengsi kedua belah pihak telah lunas, tak perduli apapun kata orang.

Aslinya Murah

Aslinya, pesta nikah adat Batak dilaksanakan di halaman rumah pihak "boru" (paranak, keluarga laki-laki) dengan melibatkan dukungan panitia yang terdiri dari "hasuhutan" (tuan rumah, steering committee) dan "parhobas" (pelayan, organizing committee).  "Parhobas" terdiri dari pihak "boru" keluarga mempelai pria, serta "dongan sahuta" (tetangga sekampung).

Jadi, pesta nikah adat Batak aslinya tidak perlu keluar biaya untuk gedung dan jasa katering. Sebab diselenggarakan di halaman rumah dengan dukungan tenaga kerabat luas dan teman sekampung.  Wadah makan juga pakai daun pisang, wadah minum dari bambu lemang, semua diambil dari kebun sekampung.

Pihak "boru" atau paranak, tuan rumah pesta, mengeluarkan biaya terutama hanya untuk "sinamot", bahan makanan, dan ternak potong (babi atau kerbau).  Dalam prakteknya, beban biaya itu  akan diringankan juga melalui kewajiban adat "dongan sabutuha" dan "boru" untuk memberikan kontribusi finansil atau natura (misalnya beras).

Pengaruh Etika Protestan?

Pertanyaannya, mengapa kini, terutama di perkotaan, pesta nikah adat Batak tampak sebagai pertunjukan gengsi? Malu dengan pesta bersahaja, bangga dengan pesta besar meriah, walau harus berhutang?

Jawabannya  mungkin pada kecenderungan orang Batak memanggungjan nilai Batak modern yaitu cita-cita "hamoraon, hagabeon, hasangapon" (kekayaan, keturunan,  kemuliaan). Saya punya tesis, nilai ini adalah etos kerja orang Batak yang bersumber dari Etika Protestan.

Etika Protestan, sebagai semangat kapitalisme, menegaskan nilai yang masuk surga adalah yang sukses secara ekonomi di dunia. Saya menduga nilai ini tumbuh dalam masyarakat Batak seiring perkemvangan agama Kristen Protestan di Tanah Batak sejak penghujung 1880-an.  

Zending Gereja Protestan di Tanah Batak tak hanya menyebarkan nilai-nilai Kekristenan. Tapi juga nilai-nilai sosial-ekonomi Eropa Modern, antara lain melalui jalur persekolahan yang dikembangkan Zending.  Tahun 1910-an sistem persekolahan ini lebih dikembangkan lagi oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Ajang paling strategis memanggungkan "hamoraon, hagabeon, hadangapon" adalah pesta nikah adat, yang memberi ruang untuk tampil mewah, megah, dan meriah.  

Tentu mahal biayanya. Dan lebih mahal lagi di perkotaan, di mana pesta nikah  sudah menjadi industri kapitalistik. Acara dijalankan "event organizer", makanan dan minuman disiapkan perusahaan katering, hiburan disajikan manajemen artis, dan tempat disediakan pengusaha property.

Apa yang dicari? Pengakuan publik atas "hamoraon, hagabeon, hasangapon" dari keluarga mempelai pria dan wanita.  Pengakuan seperti itu paling mudah didapatkan di pesta nikah adat yang dihadiri seluruh kerabat inti fan kerabat luas, dari lingkaran terdalam sampai terluar Dalihan na Tolu, serta dihadiri para sahabat dan kolega.

Sayang memang, dominasi pertunjukan "hamoraon, hagabeon, hasangapon" di panggung sosial pesta nikah adat itu telah mengalahkan nilai-nilai inti Dalihan na Tolu orang Batakyaitu "Somba marhula-hula; Manat mardongan-tubu; Elek marboru".

Terbukti, setelah pesta usai, "hamoraon, hagabeon, hadangapon" itulah yang dibicarakan dan diingat para tamu.

Saatnya orang Batak refleksi, menurut saya, Felix Tani, petani mardijker, pernah meneliti masyarakat hukum adat Batak Toba.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun