Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapal Bermuatan Lebih di Danau Toba Bukan Kebiasaan

8 Juli 2018   14:55 Diperbarui: 8 Juli 2018   15:14 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika rekan Frelio Bergman (FB) bilang kapal bermuatan lebih di Danau Toba sebagai  kebiasaan, saya langsng mikir, mungkin ada yang perlu diklarifikasi di sini.  

Apalagi rekan FB kemudian menyimpulkan pembentukan kebiasaan baik, terkait prosedur berlayar, sebagai solusi penertiban pelayaran di Fanau Toba (lihat Frelio Bergman, "Danau Toba dan Teori Kebiasaan", kompasiana.com, 5/7/18).

Setidaknya dua hal perlu diklarifilasi, menurut hemat saya. Pertama, istilah "kebiasaan" dan "biasa"  adalah dua hal yang berbeda.

Kebiasaan (folkways) menunjuk pada suatu tingkatan norma sosial yang mengatur tindakan sosial, lazimnya pada aras individu, tapi mungkin juga pada tingkat komunitas dalam bentuk tradisi.  

Misalnya tindakan anak mencium tangan orang tua sebagai tanda hormat. Ini kebiasaan di Priangan misalnya, tapi tidak di Samosir.

Biasa (common) menunjuk pada gejala sosial yang umum terjadi dan teramati.  

Misalnya, kapal danau sarat penumpang di Danau Toba adalah fakta yang biasa. Tapi itu bukan karena kebiasaan, melainkan karena konsensus sosial.

Itu ada hubungannya dengan ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penumpang dan pertumbuhan daya abgkut kapal danau di Danau Toba.

Di satu sisi jumlah penumpang (dan muatan barang) meningkat terus, seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi wisata. Tapi di lain pertumbuhan daya angkut kapal cenderung rendah, karena pertambahan jumlah kapal yang terbatas.

Akibatnya, tidak ada pilihan lain kecuali nakhoda dan penumpang tiba pada sebuah konsensus sosial, yaitu muatan berlebih, agar kebutuhan semua pihak terpenuhi.

Apakah terpikir soal risiko kapal tenggelam? Tentu saja tidak. Yang dipikir adalah kebutuhan untuk tiba di tujuan.

Gejala itu persis sama dengan kereta api Jabotabek yang sarat penumpang di masa lalu.

Kapal Danau Toba bermuatan lebih, atau dulu kereta api Jabodetabek juga, bukanlah kebiasaan. Itu menunjuk pada sebuah gejala anomi, suatu fakta sosial sebagai hasil konsensus, karena ketiadaan fungsi hukum positif ataupun hukum adat (customary laws).

Dalam kasus pelayaran kapal di Danau Toba, jelas peraturan pelayaran terkait  ASDP tidak ditegakkan. Sehingga nakhoda dan penumpang membentuk konsensus sendiri.

Suatu tindakan, peristiwa, atau gejala sosial, tidak serta merta menjadi benar karena sudah "biasa". Kapal bermuatan lebih di Danau Toba adalah hal biasa, tapi jelas itu debuah kesalahan, sebuah penyimpangan sosial (social deviation) yang berisiko tinggi, rawan karam.

Jadi, menurut hemat saya hanya ada dua cara efektif untuk menghentikan gejala muatan berlebih pada kapal di Danau Toba.

Pertama, menegakkan hukum ekonomi yaitu perimbangan (equilibrum) antara permintaan dan penawaran.

Sekarang ini sedang terjadi gejala permintaan berlebih (excess demand).  Jumlah penumpang/muatan melebihi daya angkut kapal.

Maka solusinya pemerintah harus segera memfasilitasi investasi penambahan jumlah kapal angkutan di Danau Toba. Sehingga tercapai kesetimbangan antara jumlah penumpang/muatan dan daya angkut kapal.  

Tentu diperlukan terlebih dahulu perhirungan neraca supply-demand pelayaran di perairan Danau Toba. Sehingga dapat ditetapkan secara akurat berapa kebutuhan tambahab kapal dan di jalur pelayaran mana saja dibutuhkan.

Kedua, menegakkan hukum positif yaitu peraturan terkait praktek ASDP di perairan Danau Toba. Perarurannya sudah ada terkait syarat nakhoda, aturan muatan, perlengkapan keselamatan, rute pelayaran, dan lain sebagainya. Tinggal penegakannya yang yang harus tegas dan konsisten.

Selain penegakan hukum ekonomi dan hukum positif, saya pikir ada baiknya masyarakat hukum adat Batak di lingkar Danau Toba merumuskan suatu hukum adat terkait pelayaran di Danau Toba.

Mengherankan bahwa "Bangso Batak" yang besar itu tidak punya satu hukum adat yang ditegakkan untuk mengatur pelayaran yang aman dan nyaman di Danau Toba.

Baiklah jika ketua-ketua adat puak Batak (Toba, Pakpak, Karo, Simalungun) di lingkar Danau Toba duduk bersama, mulai menggali kembali hukum adat mereka, dan merumuskan serta menegakkan satu hukum adat pelayaran di Danau Toba.

Mungki hukum adat pelayaran itu akan menjadi sumbangan penting masyarakat Batak lingkar Danau Toba bagi pembangunan kawasan ekonomi dan wisata Danau Toba yang aman dan nyaman.

Begitulah sekadar pandangan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, yang merindukan perwujudan "Tao Toba Na Uli".***

*)Tao Toba Na Uli = Danau Toba nan Permai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun