Gejala itu persis sama dengan kereta api Jabotabek yang sarat penumpang di masa lalu.
Kapal Danau Toba bermuatan lebih, atau dulu kereta api Jabodetabek juga, bukanlah kebiasaan. Itu menunjuk pada sebuah gejala anomi, suatu fakta sosial sebagai hasil konsensus, karena ketiadaan fungsi hukum positif ataupun hukum adat (customary laws).
Dalam kasus pelayaran kapal di Danau Toba, jelas peraturan pelayaran terkait  ASDP tidak ditegakkan. Sehingga nakhoda dan penumpang membentuk konsensus sendiri.
Suatu tindakan, peristiwa, atau gejala sosial, tidak serta merta menjadi benar karena sudah "biasa". Kapal bermuatan lebih di Danau Toba adalah hal biasa, tapi jelas itu debuah kesalahan, sebuah penyimpangan sosial (social deviation) yang berisiko tinggi, rawan karam.
Jadi, menurut hemat saya hanya ada dua cara efektif untuk menghentikan gejala muatan berlebih pada kapal di Danau Toba.
Pertama, menegakkan hukum ekonomi yaitu perimbangan (equilibrum) antara permintaan dan penawaran.
Sekarang ini sedang terjadi gejala permintaan berlebih (excess demand). Â Jumlah penumpang/muatan melebihi daya angkut kapal.
Maka solusinya pemerintah harus segera memfasilitasi investasi penambahan jumlah kapal angkutan di Danau Toba. Sehingga tercapai kesetimbangan antara jumlah penumpang/muatan dan daya angkut kapal. Â
Tentu diperlukan terlebih dahulu perhirungan neraca supply-demand pelayaran di perairan Danau Toba. Sehingga dapat ditetapkan secara akurat berapa kebutuhan tambahab kapal dan di jalur pelayaran mana saja dibutuhkan.
Kedua, menegakkan hukum positif yaitu peraturan terkait praktek ASDP di perairan Danau Toba. Perarurannya sudah ada terkait syarat nakhoda, aturan muatan, perlengkapan keselamatan, rute pelayaran, dan lain sebagainya. Tinggal penegakannya yang yang harus tegas dan konsisten.
Selain penegakan hukum ekonomi dan hukum positif, saya pikir ada baiknya masyarakat hukum adat Batak di lingkar Danau Toba merumuskan suatu hukum adat terkait pelayaran di Danau Toba.