Tapi ada juga yang menafsir puncak batu Bambapuang yang menjulang itu sebagai citra "lingga", pasangan untuk "yoni" Gunung Nona. Saya pikir, ini adalah tafsir budaya modern, untuk memberi nilai erotika estetik pada gunung-gunung itu, untuk dijajakan sebagai obyek wisata. Kalau begitu, kita sarankan saja kepada Bupati Enrekang, untuk menamai sepasang gunung itu sebagai Gunung Lingga-Yoni.
Jadi, sudahlah, saya lebih tertarik menikmati eksotisme panorama Gunung Nona yang memukau. Memandang jauh ke utara, terhampar di depan mata wilayah Kecamatan Anggareja, termasuk Desa Bambapuang di dalamnya, yang dihiasi puluhan atau mungkin ratusan bukit-bukit batu. Pada lembah yang memisahkan Gunung Nona dan Gunung Bambapuang, mengalirlah sungai Mata Allo, meliuk-liuk ke hilir menuju laut.
"Alangkah agungnya Sang Pencipta," bisikku dalam hati. Diukirnya pesona indah  Bambapuang yang eksotis ini dengan meniupkan angin, menurunkan hujan dan mengalirkan air, dan menggelorakan gempa yang membentuk tampakan bentang alam yang memukau.
Sungguh, saya tidak merasa berdiri di tebing Bambapuang. Memandang jauh ke utara, saya seperti terlempar ke sebuah padang di negeri asing yang akrab dalam imajinasiku. Itulah bentang Rio Pecos, lengkap dengan sungai dan tebing-tebingnya, wilayah perburuan  Winnetou, tokoh Indian Apache rekaan Karl May yang dulu saya idolakan.
Di bawah sana, di lembah terbelah sungai, saya seperti melihat seorang lelaki perkasa berkulit merah, bermahkota bulu burung di kepala, dengan tomahawk di pinggang, melesat ke utara di atas kuda coklat gelap yang dipacu kencang. Ya..., itu Winnetou!
Ah..., tidak. Itu khayalku, caraku mereguk pesona eksotisme Gunung Nona. Tidak ada Winnetou melesat di atas kudanya menuju utara. Tidak ada pula bison buruannya di utara sana.
Di utara Bambapuang hanya ada hamparan pertanian bawang merah yang menjadi primadona Anggareja. Juga kebun-kebun kopi "Kalosi" Enrekang yang sudah sohor itu. Enrekang memang bukan hanya  Gunung Nona, tapi juga bawang dan kopi.
"Jalan lagi, Pak. Nanti kemalaman nyampe Toraja," anak bungsu kami mengingatkan, memutus kenikmatan saya mereguk eksotisme Gunung Nona dengan lembahnya yang permai.
Ada rasa enggan meninggalkan Gunung Nona. Tapi saya tahu, saat kembali nanti dari Toraja, kami akan singgah lagi di gunung erotis yang eksotis ini.
Nanti, saya pasti akan berdiri lagi di tebing Bambapuang, mereguk lagi segala keindahan alam Gunung Nona yang tiada habisnya.***