"Kamu harus ke sini," pesan WA dari Ipa' Matius, ditempeli foto Gunung Nona, spot wisata Enrekang, Sulawesi Selatan. Ipa' Matius, rekan sesama petani, tinggal di Parepare, terbiasa lewat Gunung Nona jika pulang kampung ke Toraja.
Pesan itu dikirim dari Ipa' Matius kurang lebih setahun sebelum saya bersama isteri dan dua anak kami benar-benar menginjakkan kaki di lokasi Gunung Nona, suatu sore pada 25 Desember 2017 lalu.
Hari itu kami dalam perjalanan menuju Toraja, setelah kemarinnya numpang ikut Perayaan Malam Natal di gereja Katolik Santo Petrus Rasul di Parepare.
"Nah, itu Gunung Nona," seruku menunjuk ke arah sepasang puncak gunung di kejauhan, sebelah kanan jalan, selepas dua jam perjalanan mendaki ke Enrekang via "Kota Beras" Sidrap.
"Bukan, Pak, masih jauh," sahut Daeng Sahar yang berkonsentrasi penuh di belakang setir mobil. "Sok tau...!" sambar isteriku dalam nada geli, lalu tertawa lepas. Kedua anak kami tak kurang ngikiknya.
Yaah..., memang sok tahu. Atau jadi bego karena sedang suka-cita? Sebab dari cerita Ipa' Matius, saya tahu Gunung Nona di Enrekang itu konotasinya bukan "dua bukit" tapi "satu lembah". Maksud saya ..., sudah paham, kan?
Gunung Nona, setempat disebut Buntu Kabobong,  itu menampakkan citra "yoni", organ reproduksi perempuan. Konon, menurut legenda, gunung itu terbentuk  dari bagian bawah tubuh seorang putri raja lokal yang minggat dari rumah menghindari  "kawin paksa" (perjodohan), lalu akhirnya dipenggal jadi dua oleh seorang prajurit yang khianat.
Itu sebuah legenda emansipatoris dengan akhir tragis. Tapi pesannya saya kira justru anti-emansipasi: "Kalau kamu menolak kawin dengan lelaki pilihan Bapak, maka kamu akan menjadi  Buntu Kabobong karena telah durhaka." Barangkali, pada  zamannya, pesan ini cukup efektif menakuti anak gadis, sehingga tunduk menerima lelaki pilihan orangtuanya sebagai suami. "Iya deh, Pa, aku mau...," begitu mungkin jawab si gadis, sambil berharap jodohnya itu Aliando.
"Sudah sampai di Gunung Nona, Pak," pemberitahuan dari Daeng Sahar. Mobil menepi ke kanan, ke parkiran sebuah caf yang dibangun persis di bibir jurang. Â "Harus bayar Rp 2,000 per orang kalau mau fotoan di anjungan pandang caf," kata anak sulung kami yang sudah turun duluan dari mobil. Ya sudah, bayar Rp 10,000 untuk berempat.
Sudah pasti, dari anjungan pandang, obyek pertama yang saya cari adalah citra "yoni" pada Gunung Nona. Tidak langsung nyata di mataku. Butuh niat tulus dan pikiran bersih agar dapat melihatnya, atau setidaknya mengasosiasikan suatu komposisi gundukan pada lereng gunung itu sebagai "yoni".
"Nah, itu dia," seruku dalam hati, sambil memandangi dua gundukan yang membentuk citra wajik dengan satu gundukan lain membelahnya jadi dua. Sejatinya, jika merujuk pada topik anatomi dalam pelajaran Biologi, saya tidak yakin bahwa itu citra "yoni". Tapi sudahlah, itu tafsir budaya lokal atas topografi lereng sebuah gunung, dan layaklah diapresiasi nilai erotisme yang disematkan pada komposisi gundukan-gundukan itu.
Tapi ada juga yang menafsir puncak batu Bambapuang yang menjulang itu sebagai citra "lingga", pasangan untuk "yoni" Gunung Nona. Saya pikir, ini adalah tafsir budaya modern, untuk memberi nilai erotika estetik pada gunung-gunung itu, untuk dijajakan sebagai obyek wisata. Kalau begitu, kita sarankan saja kepada Bupati Enrekang, untuk menamai sepasang gunung itu sebagai Gunung Lingga-Yoni.
Jadi, sudahlah, saya lebih tertarik menikmati eksotisme panorama Gunung Nona yang memukau. Memandang jauh ke utara, terhampar di depan mata wilayah Kecamatan Anggareja, termasuk Desa Bambapuang di dalamnya, yang dihiasi puluhan atau mungkin ratusan bukit-bukit batu. Pada lembah yang memisahkan Gunung Nona dan Gunung Bambapuang, mengalirlah sungai Mata Allo, meliuk-liuk ke hilir menuju laut.
"Alangkah agungnya Sang Pencipta," bisikku dalam hati. Diukirnya pesona indah  Bambapuang yang eksotis ini dengan meniupkan angin, menurunkan hujan dan mengalirkan air, dan menggelorakan gempa yang membentuk tampakan bentang alam yang memukau.
Sungguh, saya tidak merasa berdiri di tebing Bambapuang. Memandang jauh ke utara, saya seperti terlempar ke sebuah padang di negeri asing yang akrab dalam imajinasiku. Itulah bentang Rio Pecos, lengkap dengan sungai dan tebing-tebingnya, wilayah perburuan  Winnetou, tokoh Indian Apache rekaan Karl May yang dulu saya idolakan.
Di bawah sana, di lembah terbelah sungai, saya seperti melihat seorang lelaki perkasa berkulit merah, bermahkota bulu burung di kepala, dengan tomahawk di pinggang, melesat ke utara di atas kuda coklat gelap yang dipacu kencang. Ya..., itu Winnetou!
Ah..., tidak. Itu khayalku, caraku mereguk pesona eksotisme Gunung Nona. Tidak ada Winnetou melesat di atas kudanya menuju utara. Tidak ada pula bison buruannya di utara sana.
Di utara Bambapuang hanya ada hamparan pertanian bawang merah yang menjadi primadona Anggareja. Juga kebun-kebun kopi "Kalosi" Enrekang yang sudah sohor itu. Enrekang memang bukan hanya  Gunung Nona, tapi juga bawang dan kopi.
"Jalan lagi, Pak. Nanti kemalaman nyampe Toraja," anak bungsu kami mengingatkan, memutus kenikmatan saya mereguk eksotisme Gunung Nona dengan lembahnya yang permai.
Ada rasa enggan meninggalkan Gunung Nona. Tapi saya tahu, saat kembali nanti dari Toraja, kami akan singgah lagi di gunung erotis yang eksotis ini.
Nanti, saya pasti akan berdiri lagi di tebing Bambapuang, mereguk lagi segala keindahan alam Gunung Nona yang tiada habisnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H