Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membaca Ulang "Pohon Tanpa Akar"

8 Juli 2016   14:44 Diperbarui: 8 Juli 2016   15:36 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Syed Waliullah, "Pohon Tanpa Akar" terjatuh dari rak ketika aku mencari novel mendiang Elie Weisel, "Malam" dan "Fajar" beberapa hari lalu.

Maka, setelah membaca kembali novel Weisel dan menuliskan sebuah obituari untuk tokoh dunia itu (K.3/7/2016), saya putuskan membaca ulang karya Waliullah tadi.

Waliullah, lahir 1922 dan wafat 1971, adalah  seorang sastrawan Bangladesh atau Bengal. Atas sumbangsihnya pada sastra Bengali, Waliullah mendapatkan penghargaan dari Akademi Bengali tahun 1961. 

"Pohon Tanpa Akar" adalah novel Waliullah yang paling terkenal. Novel itu terbit pertama kali tahun 1949 dengan judul "Lai Shalu", artinya "kain merah" penutup makam para wali. Edisi Indonesianya diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 1990, terjemahan edisi Inggrisnya, "Tree Without Roots".

Aku baru mendapatkan dan membaca novel itu pertama kali pada akhir Januari 1992. Harganya waktu itu Rp 3,900.

Novel itu mengisahkan strategi hidup Majid, seorang muazzin, untuk keluat dari deraan kemiskinan dan kelaparan. Majid tinggal di daerah paling miskin di Bangladesh. Daerah di mana "Lebih banyak kopiah daripada ternak, lebih banyak kopiah daripada ikatan padi."

Hal itu terjadi karena "Sedikit makanan berarti makin besar segi keagamaannya. Tuhan telah berfirman: tutuplah kepalamu bila kau bersalat untukKu, karena itu adalah ciri mereka yang takut pada Tuhan."

Tapi seorang muazzin perlu juga makan demi mengumandangkan firman Tuhan. Sementara di tempat Majid dan warga lsinnya tinggal yang tersisa hanyalah "kelaparan yang menggerogoti dan membuat mereka gila."

Maka Majid pergi ke Mahabbatpur, sebuah desa pertanian yang makmur tapi warganya  tak punya "rasa takut kepada Tuhan".

Di sana dia murka kepada warga desa yang dituduhnya lalai merawat makam Wali Shah Sadiq, padahal arwahnya sudah memberkahi warga desa itu dengan segala kegemah-ripaan.

Seluruh warga desa, terutama Khaliq, tokoh desa sekaligus pemilik tanah tempat makam itu berada, langsung dirundung rasa bersalah, sehingga bersepakat memugar bersama makam tersebut.

Maka makam terlantar itu berubah menjadi sebuah mazar, makam orang saleh, Wali Shah Sadiq. Di sampingnya dibangunkan pula sebuah rumah untuk Majid. 

Dengan cepat mazar itu menjadi ramai oleh warga yang berkunjung untuk ziarah, doa, dan mendengarkan kotbah Majid. Kegiatan itu menjadi sumber kekuasaan sekaligus nafkah bagi Majid.

Tak seorang pun sadar, kecuali Majid sendiri, bahwa Majid telah membohongi warga desa. Makam itu sejatinya bukan makam seorang Wali, tapi kuburan seseorang tak dikenal.

Majid mencari pembenaran diri untuk kebohongannya. "Apa salahnya berbohong apabila itu dilaksanakan dengan maksud baik. ... Jika aku sedikit saja berbohong untuk menanamkan rasa takut pada Tuhan dan namanya yang kudus, pasti aku akan dimaafkan."

"Jika, pada waktu yang bersamaan, aku mencari nafkah, apakah itu sèsuatu yang berdosa? Bagaimanapun juga orang harus hidup. Dan aku hidup untuk menyebarkan firman-firman Tuhan."

Maka berkat mazar palsu itu, Majid segera tumbuh menjadi tokoh saleh, tokoh agama yang disegani di seluruh wilayah Mahabbatpur. Persekutuannya dengan Khaliq, tokoh desa, semakin mengukuhkan kekuasaannya.

"Kekuasaan Majid telah datang dari atas, dari rasa takut kepada Yang Tidak Dikenal, dari makam yang ditutup kain merah."  Majid sangat sadar bahwa kekuasaannya bersumber dari kebohongan atas mazar itu, sebuah kekuasaan tanpa akar, ibarat "pohon tanpa akar". Dia sadar, bahwa dirinya telah menjadi budak mazar itu, budak kebohongannya.

Kesadaran itu membentuk Majid menjadi seorang yang otoriter, dengan mengatas-namakan Tuhan, seraya mengutip ayat-ayat suci.  Bahkan tak sungkan "menyiksa" isteri tua Khaliq yang mandul, hingga akhirnya meninggal dunia, karena isteri tua itu hendak mencari "obat kemandulan" kepada orang saleh di desa tetangga. Majid takut kehilangan kepercayaan dari warga desa.

Tapi ujian sesungguhnya datang ketika banjir besar meluluh-lantakkan areal pertanian di desa itu. Tuah dan perlidungan arwah Wali Shah Sadiq menjadi tanda tanya.

Majid dihadapkan pada pilihan. Apakah akan mengungsi dari mazar yang nyaris tenggelam itu, dengan resiko kehilangan kepercayaan dari warga desa? Atau tetap bertahan di mazar, untuk membela kebohongannya, demi memelihara kepercayaan warga desa?

Majid, dengan tegas, pada akhirnya mengambil pilihan tersebut terakhir.

Tuntas membaca novel Waliullah, aku tercenung, diam. Di dalam benakku, aku dengan jelas melihat ratusan bahkan ribuan acara keagamaan tayang di televisi dan di ruang-ruang mewah.

Aku melihat para pengkotbah, atau pendakwah, atau apapun namanya, sedang berapi-api meneriakkan berbagai ayat-ayat suci, dihadapan para pendengarnya yang ternganga takjub atau bahkan trance. 

Aku takut, jangan-jangan acara keagamaan di televisi dan ruang-ruang mewah itu kini telah menjadi semacam "mazar palsu", sumber nafkah bagi para pengkotbah atau pendakwah.

Juga takut, jangan-jangan para pengkotbah atau pendakwah itu adalah "Majid-Majid Modern", barisan "pepohonan tanpa akar" dalam era komunikasi elektronik.

Cicit burung gereja menyadarkanku telah menjadi hakim. Lalu dalam diam aku berdoa, "Ampuni aku Tuhan karena telah berburuk sangka."(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun