Tuntas membaca novel Waliullah, aku tercenung, diam. Di dalam benakku, aku dengan jelas melihat ratusan bahkan ribuan acara keagamaan tayang di televisi dan di ruang-ruang mewah.
Aku melihat para pengkotbah, atau pendakwah, atau apapun namanya, sedang berapi-api meneriakkan berbagai ayat-ayat suci, dihadapan para pendengarnya yang ternganga takjub atau bahkan trance.Â
Aku takut, jangan-jangan acara keagamaan di televisi dan ruang-ruang mewah itu kini telah menjadi semacam "mazar palsu", sumber nafkah bagi para pengkotbah atau pendakwah.
Juga takut, jangan-jangan para pengkotbah atau pendakwah itu adalah "Majid-Majid Modern", barisan "pepohonan tanpa akar" dalam era komunikasi elektronik.
Cicit burung gereja menyadarkanku telah menjadi hakim. Lalu dalam diam aku berdoa, "Ampuni aku Tuhan karena telah berburuk sangka."(*)