Maka makam terlantar itu berubah menjadi sebuah mazar, makam orang saleh, Wali Shah Sadiq. Di sampingnya dibangunkan pula sebuah rumah untuk Majid.Â
Dengan cepat mazar itu menjadi ramai oleh warga yang berkunjung untuk ziarah, doa, dan mendengarkan kotbah Majid. Kegiatan itu menjadi sumber kekuasaan sekaligus nafkah bagi Majid.
Tak seorang pun sadar, kecuali Majid sendiri, bahwa Majid telah membohongi warga desa. Makam itu sejatinya bukan makam seorang Wali, tapi kuburan seseorang tak dikenal.
Majid mencari pembenaran diri untuk kebohongannya. "Apa salahnya berbohong apabila itu dilaksanakan dengan maksud baik. ... Jika aku sedikit saja berbohong untuk menanamkan rasa takut pada Tuhan dan namanya yang kudus, pasti aku akan dimaafkan."
"Jika, pada waktu yang bersamaan, aku mencari nafkah, apakah itu sèsuatu yang berdosa? Bagaimanapun juga orang harus hidup. Dan aku hidup untuk menyebarkan firman-firman Tuhan."
Maka berkat mazar palsu itu, Majid segera tumbuh menjadi tokoh saleh, tokoh agama yang disegani di seluruh wilayah Mahabbatpur. Persekutuannya dengan Khaliq, tokoh desa, semakin mengukuhkan kekuasaannya.
"Kekuasaan Majid telah datang dari atas, dari rasa takut kepada Yang Tidak Dikenal, dari makam yang ditutup kain merah." Â Majid sangat sadar bahwa kekuasaannya bersumber dari kebohongan atas mazar itu, sebuah kekuasaan tanpa akar, ibarat "pohon tanpa akar". Dia sadar, bahwa dirinya telah menjadi budak mazar itu, budak kebohongannya.
Kesadaran itu membentuk Majid menjadi seorang yang otoriter, dengan mengatas-namakan Tuhan, seraya mengutip ayat-ayat suci. Â Bahkan tak sungkan "menyiksa" isteri tua Khaliq yang mandul, hingga akhirnya meninggal dunia, karena isteri tua itu hendak mencari "obat kemandulan" kepada orang saleh di desa tetangga. Majid takut kehilangan kepercayaan dari warga desa.
Tapi ujian sesungguhnya datang ketika banjir besar meluluh-lantakkan areal pertanian di desa itu. Tuah dan perlidungan arwah Wali Shah Sadiq menjadi tanda tanya.
Majid dihadapkan pada pilihan. Apakah akan mengungsi dari mazar yang nyaris tenggelam itu, dengan resiko kehilangan kepercayaan dari warga desa? Atau tetap bertahan di mazar, untuk membela kebohongannya, demi memelihara kepercayaan warga desa?
Majid, dengan tegas, pada akhirnya mengambil pilihan tersebut terakhir.