Jika Negara alpa di satu kawasan atau wilayah, maka perbanditan akan meraja di situ. Tak sulit membuktikan kebenaran hipotesis ini di Bengkulu. Fakta tentang “Kawasan Texas” di sana, termasuk PUT rejang Lebong di dalamnya, adalah bukti tak terbantahkan.
Di “Kawasan Texas”, Negara tidak hadir. Atau kalaupun hadir, maka hadir secara negatif, yaitu berupa pengaruh Kepala Desa setempat yang dapat menjadi “garansi keamanan melintas”. Melaui pemuktian “kedekatan” dengan Kades setempat, misalnya melalui komunikasi per telepon, maka seseorang bisa lepas dari genggaman perampok yang menghadang.
Atau, Negara hadir secara reaktif, dan sporadis, dalam bentuk operasi keamanan. Misalnya, ketika terjadi satu kasus “kejahatan besar” di Kawasan Texas, maka aparat kemanan melakukan ronda untuk jangka waktu tertentu.
Selebihnya, perbanditanlah yang meraja di sana. Dengan perbanditan dimaksudkan di sini adalah tindak perampokan, pencurian, pembunuhan, dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang tidak semata dipahami sebagai kejahatan biasa. Tapi juga dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidak-adilan sosial (bdk. Eric Hobsbawm).
Semula perbanditan dipahami sebagai bentuk “kejahatan” a’la Robin Hood. “Jahat” bagi yang dirampok, tapi “baik” bagi warga yang mendapat pembagian hasil rampokan.
Tapi belakangan istilah itu juga digunakan untuk membingkai bentuk-benrtuk kejahatan terorganisasi lain. Misalnya perompak (bajak laut), sindikat narkoba, kelompok “bajing luncat”, dan geng jalanan.
Gejala bandit meraja di “Kawasan Texas” bukanlah hasil proses satu atau dua tahun. Perbanditan di situ adalah hasil proses sosialisasi selama puluhan tahun. Sehingga perbanditan sudah menjadi semacam sub-kultur di sana. Artinya, sudah “mendarah-daging” dalam budaya yang dianut setempat.
Ketika perbanditan sudah menjadi sub-kultur, maka perampokan, pencurian, pembegalan, pembunuhan, sampai rudapaksa tidak lagi dilihat sebagai kejahatan biasa. Tapi sudah diresapi sebagai “cara hidup”, atau sekurang-kurangnya sebagai “cara produksi” (bdk. K. Marx).
Maksudnya “perampokan” (terhadap pelintas) adalah cara setempat untuk memperoleh nafkah. Pembunuhan, dan rudapaksa (jika korbannya perempuan), adalah tindakan yang mengikut. Jika harus membunuh untuk mendapatkan rampokan, maka perampok akan membunuh.
Jika perbanditan sudah menjadi cara hidup atau cara produksi, maka budaya setempat tak lagi punya sistem nilai sosial yang bersifat mengontrol atau menghukum terhadap tindakan perampokan, pencurian, pembunuhan, dan rudapaksa. Sepanjang hal itu dilakukan terhadap orang dari luar komunitasnya, maka tidak akan dipersoalkan.
Bahkan para pelaku perbanditan itu akan dipandang sebagai “pahlawan” atau setidaknya “jagoan” oleh warga setempat.