Jika Negara hadir di suatu wilayah, maka di situ idealnya ada keteraturan dan kemakmuran. Jika Negara alpa (lalai, tak hadir), maka di wilayah itu tak ada keteraturan dan kemakmuran.
Pertanyaannya, apakah negara hadir atau alpa di PUT, Rejang Lebong, Bengkulu? Jawabannya, sebagai sebuah hipotesis, Negara alpa alias tak hadir di sana.
Sejumlah indikasi kealpaan negara di PUT, Rejang Lebong dapat diajukan di sini.
Pertama, Pemerintah Pusat (Menko PMK) sebagai representasi Negara baru tahu kasus Yy sekitar sebulan (3 Mei) setelah peristiwa rudapaksa dan pembunuhan itu terjadi (2 April). Itu artinya PUT, Rejang Lebong berada di luar radar pemerintah, sehingga tidak perduli apa yang terjadi di sana.
Kedua, Rejang Lebong kabupaten termiskin di Bengkulu, dengan jumlah warga miskin 40% (2015). Kecamatan PUT, tempat tinggal Yy, adalah yang termiskin di sana. Artinya, PUT atau Rejang Lebong untuk waktu yang sangat lama luput dari upaya pemakmuran oleh pemerintah.
Baru setahun terakhir ada sentuhan pemakmuran di sana, berupa pembagian Kartu Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar.
Ketiga, PUT Rejang Lebong berada di jalur “rawan kejahatan” yang dikenal sebagai “Kawasan Texas”, terentang antara Curup (Bengkulu) dan Lubuk Linggau (Sumsel). Penamaan itu pastilah merujuk pada Texas, AS jaman “Wild West”, saat yang berlaku adalah hukum rimba, “yang terkuat yang bertahan”.
Di “Kawasan Texas” Bengkulu kejahatan-kejahatan ini menjadi hal “biasa”: perampokan, penjarahan, judi, madat, penganiayaan, rudapaksa, pembunuhan. Pelakunya “warga setempat”, korbannya “warga pelintas” (yang berkendara).
Itu bukan gejala baru, sudah sejak 1980-an atau bahkan sebelumnya, menandakan kuasa Negara tak pernah efektif hadir di sana untuk menciptakan keteraturan.
Bandit Meraja
Dengan menyebut indikasi ketiga tadi, saya hendak masuk pada sub-hipotesis kedua, “Perbanditan meraja di PUT, Rejang Lebong.”