Jadi, mereka yang disebut “Manusia Perahu” itu sama saja posisinya dengan, misalnya, sekelompok warga yang menolak digusur atau direlokasi lalu bertahan tinggal dalam tenda-tenda. Hanya saja, mereka tak disebut sebagai “Manusia Tenda”.
Lalu mengapa digunakan istilah “Manusia Perahu”? Itu untuk mendramatisir situasi. Untuk membangun persepsi bahwa “penggusuran” menghasilkan dampak negatif berupa munculnya “Manusia Perahu”.
Istilah “Manusia Perahu” di situ jelas merujuk pada “Manusia Perahu” Vietnam, yaitu kelompok pengungsi berperahu yang sebagian ditampung di Pulau Galang, Riau. Bukan merujuk pada “Suku Laut” (Orang Laut Riau dan Orang Bajau), sebagaimana versi Musni Umar.
Penggunaaan istilah itu jelas dimaksudkan untuk menegaskan kesan bahwa warga Luar Batang telah terusir dari kampungnya, sehingga terkatung-katung di “pengungsian” layaknya “Manusia Perahu”. Lalu disimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM, sehingga perlu dibela. Menyusul kemudian sejumlah LSM/Ormas hadir dengan peran sebagai “pembela warga” di Luar Batang.
Argumen “Manusia Jerami”
Fakta yang sebenarnya terjadi di Luar Batang adalah kegiatan “relokasi” warga ke Rusunawa Marunda dan Rawabebek. Kegiatan “relokasi” itu ditolak oleh sebagian warga yang kemudian memilih tinggal di atas perahu mereka, sebagai bentuk perlawanan (resistensi).
Tapi dalam polemik “pro-“/”kontra-“ relokasi, kelompok “kontra-” kemudian memunculkan sebuah argumen “manusia jerami” (strawman argument). Menurut argumen ini, seperti ditulis Musni Umar, telah terjadi “penggusuran” yang menyebabkan lahirnya “Manusia Perahu” di Luar Batang.
Argumen “Manusia Jerami” inilah yang kemudian beredar luas dan berkembang menjadi persepsi publik. Pemda DKI, yang terseret pula oleh argumen itu, lantas menjadi bulan-bulanan pihak kontra-relokasi Luar Batang. Sudah pasti para pendukung argumen itu “bersorak gembira”, merasa diri telah memenangkan polemik dengan Pemda DKI Jakarta.
Tapi benarkah mereka menang? Tentu saja tidak. Mereka hanya membangun sosok “Manusia Jerami”, sebuah fakta “palsu” ciptaan sendiri di luar fakta yang sebenarnya. Lalu sibuk menghajar fakta “palsu” itu sampai babak belur.
Sementara itu “fakta yang sebenarnya” tetap tak tersentuh. Terbukti, kegiatan relokasi warga Luar Batang tetap berlangsung.
Kritik untuk Pemda DKI Jakarta