Pada kasus Luar Batang, Pemda DKI telah menyediakan lokasi baru bagi eks-warga, yaitu Rusunawa Marunda, Jakarta Utara dan Rusunawa Rawabebek, Jakarta Timur. Juga disediakan prasarana dan sarana sosial-ekonomi tertentu.
Karena itu jelas yang terjadi di Pasar Ikan Luar Batang adalah suatu proses relokasi warga, bukan penggusuran. Langkah relokasi itu dilaksanakan sebagai implementasi rencana penataan ruang kota untuk mewujudkan Jakarta modern, sebagai representasi Indonesia Hebat.
Lantas mengapa istilah penggusuran yang mengemuka? Sebenarnya ini istilah yang lazim digunakan kalangan LSM. Atau oleh pihak mana saja yang menganggap relokasi sebagai pelanggaran HAM. Atau yang menganggap relokasi sebagai "akal-akalan" pemerintah untuk alih-fungsi pemukiman warga menjadi kawasan bisnis.
Memang ada presedennya. Pada banyak kasus, semasa Orde Baru dan sesudahnya, implementasi pemindahan warga kampung di DKI Jakarta memang bukan perwujudan relokasi. Tapi perwujudan penggusuran untuk memfasilitasi alih-fungsi ruang menjadi kawasan bisnis.
Karena itu, setiap tindakan pemindahan warga kampung di DKI Jakarta sampai kini selalu dikonotasikan penggusuran. Konotasi penggusuran itu pertama-tama muncul dari warga yang dipindah. Lalu diamplifikasi oleh aktivis LSM, Ormas, Parpol, dan pers melalui media massa dan media sosial. Tujuannya membentuk persepsi publik tentang penggusuran.
Anehnya, aparat Pemda DKI sendiri ikut terseret pada persepsi bahwa yang sedang terjadi adalah penggusuran. Sekalipun dokumen resmi menyebutkan relokasi. Hal semacam itu terjadi juga pada kasus Luar Batang.
Bukan “Manusia Perahu” tapi “Kelompok Perlawanan”
Artikel Musni Umar secara eksplisit menyatakan bahwa tindakan “penggusuran” di Pasar Ikan Luar Batang telah melahirkan “Manusia Perahu”. Inilah persepsi yang beredar luas di media massa dan media sosial.
Tapi benarkah begitu faktanya? Tidak. Pertama, tindakan “penggusuran” itu sendiri tidak pernah ada. Di atas sudah dijelaskan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah “relokasi” warga.
Kedua, “Manusia Perahu” itu adalah istilah yang disematkan pengamat dan aktivis sosial dari luar warga Luar Batang kepada sekelompok warga yang menolak relokasi dan memilih bertahan tinggal di atas perahu mereka.
Sejatinya mereka adalah “kelompok perlawanan” yang menolak pindah, dengan alasan antara lain lokasi Rusunawa jauh dari tempat cari nafkah, rusun tidak layak huni, belum memperoleh jatah rusun, takut kehilangan aset perahu, merasa diperlakukan tak adil, dan lain sebagainya.