Ini masih nasihat untuk barisan Anti-Ahok. Agar bisa men-skakmat Ahok, lalu gagal menjadi Cagub DKI Jakarta 2017.
Anggap ini kisi-kisi untuk menjatuhkan Ahok. Cermati baik-baik, supaya tak salah ambil langkah. Salah-salah malah skakmat sendiri nanti.
Ada dua aspek kisi-kisi yang perlu di perhatikan. Aspek karakter sosiologis Ahok sebagai pemimpin dan pendekatan kepemimpinan yang dianut dan dijalankannya.
Pertama, tentang karakter sosiologis Ahok sebagai pemimpin. Tepatnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dari sudut pandang sosiologi, lakon kepemimpian Ahok selaku Gubernur DKI selama ini, mencerminkan dirinya sebagai individu penyimpang sosial, atau “social deviant”. Ini adalah tipe individu dengan sikap, perkataan, dan tindakan yang “menyimpang” dari kelaziman umum. Tak jarang dicap sebagai “gila”.
Mau bukti? Ini satu. Hanya seorang penyimpang sosial yang mau memilih jalur independen untuk maju dalam Pilgub DKI mendatang, saat pendapat umum masih melihat jalur parpol sebagai jalur paling strategis.
Lagi, satu. Hanya seorang penyimpang sosial yang mau keluar dari keanggotaan partai pendukungnya, saat pendapat umum masih melihat partai sebagai basis kekuatan politik seorang pimpinan daerah.
Satu lagi. Hanya seorang penyimpang sosial yang mau melakukan relokasi penduduk perkampungan “illegal” ke rusunawa, saat gerakan “masyarakat madani” sedang kuat-kuatnya melawan program yang mereka labeli sebagai “penggusuran”.
Lagi, satu, yang terpenting. Hanya seorang penyimpang sosial yang mau secara sadar menerapkan pendekatan konflik dalam kepemimpinannya sebagai Gubernur, sementara umumnya kepala daerah menggunakan pendekatan fungsionalisme (integrasi, harmoni).
Indikasi pendekatan itu adalah labelisasi Ahok sebagai “tukang cari musuh”, atau “pemarah”, atau apa saja yang semacam itu.
Perhatikan, yang paling menyolok, Ahok selaku Gubernur DKI lebih memilih untuk berkonflik dengan DPRD DKI untuk menyelamatkan APBD DKI dari tangan-tangan koruptor.
Lalu Ahok selaku Gubernur DKI lebih memilih untuk berkonflik dengan pemukim perkampungan illegal saat merelokasi mereka ke rusunawa, sebagai bagian dari upayanya mengatasi banjir melalui pemulihan dan perluasan fungsi jalur hijau.
Juga, Ahok selaku Gubernur DKI lebih memilih untuk berkonflik dengan kelompok-kelompok preman, apapun “bendera” organisasinya, untuk menciptakan kawasan bisnis yang bebas premanisme, sperti di Tanah Abang.
Mau contoh lagi? Tak perlu. Semua langkah Ahok mencerminkan pendekatan konflik. Tidak akan ditemukan jejak pendekatan fungsionalime yang mengedepankan integrasi atau harmoni di situ.
Ahok percaya, kemajuan hanya akan tercapai melalui proses konflik, bukan melalui kompromi seperti lazimnya dilakukan mayoritas kepala daerah penganut pendekatan fungsional. Kompromi bagi Ahok adalah sumber malapetaka.
Konflik adalah cara untuk mencapai kebenaran, dan kebenaran itu adalah dasar untuk mencapai kemajuan. Begitu cara pikir Ahok.
Lalu, apa artinya ini untuk barisan Anti-Ahok? Sederhana saja. Kalau mau menjatuhkan Ahok, maka para anggota barisan Anti-Ahok harus bisa menyelami cara pikir individu penyimpang sosial seperti Ahok.
Ciri khas seorang penyimpang sosial, dia selalu berfikir “di luar kotak” (out of the box), atau di luar kelaziman. Jadi, kalau mau menjatuhkan Ahok, kaum Anti-Ahok juga harus bisa berpikir di luar kotak, di luar kelaziman.
Di luar kelaziman itu, artinya kreatif, inovatif. Bukan sembarangan, ngawur, asal bunyi tanpa logika. Jika kaum Anti-Ahok bicara ngawur, pasti langsung skakmat.
Lantas, bagaimana agar bisa berfikir di luar kotak? Berpikir kreatif, inovatif? Ya, gunakanlah pendekatan konflik seperti Ahok. Kalau kaum Anti-Ahok masih menggunakan pendekatan fungsional, maka tidak akan pernah bisa menjatuhkan Ahok.
Intinya, Ahok hanya bisa dikalahkan oleh orang yang berfikir sama seperti dia. Orang yang juga menggunakan pendekatan konflik. Bukan sekadar orang yang pintar merangkai kata dan fakta sumir untuk menjelek-jelekkan Ahok.
Mau menjatuhkan Ahok, lakukan itu dengan cara cerdas. Sekurang-kurangnya sama cerdas dengan Ahok yang, menurut pengakuannya sendiri, sebenarnya “gak cerdas-cerdas amat.”
Seperti apa cara cerdas itu? Begini. Arahkan pukulan telak pada titik “hidup-mati” Ahok yaitu logika argumen-argumennya. Perhatikan, argumen Ahok itu khas penganut pendekatan konflik. Argumen yang belum-belum sudah memancing amarah dari kaum Anti-Ahok yang menganut pendekatan fungsional.
Amarah. Nah, itulah yang diharapkan oleh Ahok. Sebab ketika kaun Anti-Ahok marah-marah, lalu mencaci-maki Ahok, pada saat itulah mereka menelan kekalahan telak. Skakmat, tanpa sadar.
Dalam kondisi seperti itu, Ahok tinggal memainkan jurus “beautiful red herring” (umpan cantik) untuk melindungi langkahnya dari penolakan publik. Terjadilah. Kaum Anti-Ahok yang marah-marah itu ikut menyambar “umpan indah” tadi. “Strike!” Kena, kau!
Ibarat main sepak bola, hati-hati dengan gerakan tanpa bola dari striker di sayap kanan. Kerap kali itu adalah “beautiful red herring”. Begitu lawan terseret mengawal Sang Striker, tiba-tiba saja bek kiri sudah menerima umpan dari libero di kotak pinalti dan …, “Jebreeet …! Gooollll…!” “Kena kau!” kata Sang Striker tergelak puas.
Sekadar mengingatkan lagi, kisi-kisi ini ditujukan bagi anggota Barisan Anti-Ahok. Bila setelah membaca kisi-kisi ini mereka belum mampu juga menjatuhkan Ahok, maka hanya ada satu sesal: “Teeer … laaa … luuu …!”(*)
Catatan: Tadi pagi artikel ini, yang entah bagaimana kejadiannya, terbit hanya "sebagian" dengan judul "Ahok Seorang Deviant?" Artikel ini adalah versi lengkap dengan judul baru. Artikel "cacad" itu telah dihapus dengan ucapan maaf dan terimakasih kepada rekan-rekan yang sempat membacanya (240 hits) dan tiga orang rekan yang sempat menilainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H