Mobil kami merayapi seruas jalan tepat di bibir tebing karang. Dari situ terlihat bentangan pantai Ayah yang permai. Di bawahnya membentang biru laut selatan behiaskan buih-buih putih dari lidah barisan ombak.
Bukan kengerian akan kedalaman sebuah tebing yang menyergap pikiranku waktu itu. Melainkan bayangan tentang Si Burung yang merayapi tangga bambu, menuruni tebing karang laut selatan itu, untuk kemudian masuk ke dalam gua di bawah sana, lalu memetik sarang walet dengan kehati-hatian tingkat tinggi.
Aku lalu membayangkan diriku sebagai Si Burung yang melakukan aksi penuh marabahaya itu. Alangkah heroiknya aku.
Membayangkan diri menjadi Si Burung di bumi pedesaan Kebumen, mengembalikan ingatanku ke tahun 1975, saat aku selesai membaca kisah Si Burung.
Menutup buku “Si Burung”, memandang jauh ke langit selatan, sambil menghela nafas, aku menepis sebersit harapan muskil, “Tak mungkinlah aku menginjakkan kaki di bumi Si Burung.”
Tapi, siapa sangka, 38 tahun setelah menepis harapan itu, di luar sebuah niat bersengaja, aku menemukan diriku benar-benar menjejakkan kaki di bumi pedesaan Kebumen, bumi idola imajinerku, Si Burung anak kecil dekil itu.
“Sungguh murah hati Engkau Tuhanku. Di luar kuasaku, Kau tuntun langkah kakiku menjejak bumi Si Burung, bumi yang pernah kuangankan tapi kemudian kutepis jauh.” Aku bersyukur kepada Tuhanku, sambil menahan air mata keharuanku, karena Dia mengabulkan sebuah angan yang sudah jauh di luar harapanku.
Aku sungguh bahagia dengan penyelenggaran Tuhan bagiku sore itu di bumi Si Burung. Juga sungguh takjub. Bagaimana mungkin kisah rekaan Simon Franke itu menjadi pengalaman nyata bagiku sekarang?
Aku ingin membagi bahagia dengan kedua anak gadis kecil kami. Ingin kuceritakan bahwa di bumi yang kami lintasi saat itu pernah hidup seorang anak bernama Si Burung.
Tapi, kulihat kedua anak gadis kami sedang gembira saling-pamer kulit kerang. Jadi aku tak ingin merusak kegembiraan mereka dengan sebuah cerita tua, yang mungkin akan terdengar sangat aneh di telinga mereka.
Akan terdengar aneh, ya, saya kira begitu. Anak gadis sulung kami tergila-gila pada novel-novel teenlit. Sedang gadis bungsu kami tergila-gila pada komik Jepang, yang aku tak pernah tahu bagaimana cara membacanya.