Sebenarnya, pada waktu itu, “Si Burung” bukan satu-satunya novel yang telah tuntas kubaca. Aku juga sudah membaca sejumlah buku cerita anak kelas dunia. “Petualangan ke Perut Bumi”, “Nautilus”, “80 Hari Keliling Dunia”, dan “Pulau Misteri”-nya Jules Verne. “The Three Musketeers”-nya Alexander Dumas. Serta “Robinson Cruise”-nya Daniel Defoe.
Lalu “Oliver Twist” dan “David Copperfield”-nya Charles Dickens. “Don Kisot”-nya Miguel de Cervantes. “Perjalanan Gulliver”-nya Jonathan Swift. Dan “Petualangan Baron Munchausen”-nya Rudolf Erich Raspe.
Juga sudah membaca “Petualangan Tom Syawer” dan “Petualangan Huckleberry Finn”-nya Mark Twain. “Pondok Paman Tom”-nya Harriet Beecher Stowe . “Petualangan Mowgli”-nya Rudyard Kipling. Serta dongeng “Narnia”-nya C.S. Lewis.
Waktu itu, aku juga sudah menamatkan seluruh seri pertulangan Winnetou, pahlawan Indian Apache rekaan Karl May. Serta semua judul dongeng kelas dunia Hans Christian Andersen.
Tapi, mungkin karena kemiripan latar sosial-budaya, sama-sama anak desa di bumi nusantara, kisah “Si Burung” itulah yang meninggalkan kesan paling mendalam pada diriku.
Aku lantas mengidentifikasi diri sebagai Si Burung. Atau Si Burung sebagai aku.
Aku tidak bisa seperti itu dengan Oliver Twist, David Copperfield, Tom Syawer, ataupun Huck Finn. Aku menikmati petualangan mereka. Tapi, tidak seperti Si Burung, mereka tetap ada di luar diriku.
Si Burung, dalam cerita Simon Franke itu, adalah nama panggilan untuk seorang anak kecil dekil di sebuah desa di pesisir selatan Kebumen. Dia anak seorang petani yang, bila musimnya tiba, juga menjadi pemetik sarang burung walet di gua-gua sekitar pantai Karangbolong.
Si Burung punya ketrampilan luar bisa dalam urusan panjat-memanjat. Karena ketrampilannya itu, dia menjadi satu-satunya anak kecil yang dibolehkan ikut memetik sarang burung walet di gua-gua tebing pantai sekitar Karangbolong .
Memetik sarang burung walet di sana adalah pekerjaan bertaruh nyawa. Para pemetik sarang mengunakan rangkaian batang bambu sebagai tangga dan titian untuk menjangkau gua-gua sarang burung di dinding karang. Sekali terpeleset, maka jiwa-raga langsung menyatu dengan debur ombak laut selatan.
“Pak, ada monyet memanjat kelapa!” Anak gadis bungsuku berteriak membuyarkan pikiranku, sambil menunjuk ke arah sepohon kelapa di kaki bukit.