Di bidang seks dibangun konsensus bahwa perilaku seks yang normal adalah heteroseksual, antara perempuan dengan lelaki. Sedangkan perilaku homoseksual ataupub biseksual dicap abnormal, melanggar norma sosial.
Koheren dengan itu, mengenai pernikahan, dibangun konsensus bahwa pernikahan yang normal adalah antara lawan jenis (gender), yaitu antara perempuan dan lelaki. Sedangkan pernikahan kaum sejenis, antara sesama perempuan atau sesama lelaki, divonis abnormal atau melanggar norma sosial.
Jelas kini bahwa dunia dan kehidupan manusia ini adalah domain dua gender, perempuan dan lelaki, yang kini bersama-sama mendefinisikan norma dan membangun tatanan sosial yang membingkai perilaku sosial setiap individu.
Dua gender itu, perempuan dan lelaki, jelas mengesampingkan keberadaan dan kepentingan individu atau entitas yang secara sosial tidak mendefinisikan diri sebagai perempuan, kendati berjenis kelamin perempuan. Juga individu atau entitas yang secara sosial tidak mendefinisikan diri sebagai lelaki, kendati berjenis kelamin lelaki.
Jelasnya, secara sosiologis, faktanya begini. Ada perempuan yang secara sosial mendefinisikan diri sebagai “lelaki”. Inilah yang dikategorikan lesbian, jika menjalin hubungan intim dengan perempuan.
Lalu ada lelaki yang secara sosial yang mendefiniskan diri sebagai “perempuan”, bahkan sampai operasi atribut jenis kelamin. Ini kemudian dikategorikan gay, kalau membangun hubungan intim dengan lelaki.
Ada pula perempuan/lelaki yang secara sosial mendefinisikan diri bukan salah satunya melainkan keduanya sekaligus. Inilah yang kemudian dikenal sebagai biseksual, jika membangun hubungan intim dengan baik sesama maupun lawan jenis.
Keseluruhan individu/entitas itulah yang membentuk suatu kategori sosial yang kini populer dengan sebuatn LGBT. Oleh perempuan/lelaki (yang menilai diri) “normal”, mereka diposisikan sebagai “penyimpang sosial” (dalam arti negatif). Sehingga harus dikembalikan ke “jalan yang benar”, yaitu perilaku heteroseksual dan pernikahan antar lawan jenis.
Kedua gender “utama” itu, perempuan dan lelaki, tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan entitas LGBT itu sebagai “gender yang lain”, atau sebut misalnya “gender ketiga”, seperti yang mereka persepsikan.
Sebab jika dikembalikan ke formula Beauvoir, maka bisa pula dikatakan bahwa "One is not born, but rather becomes, a lesbian/gay/bisexual/transgender." Artinya, seorang L/G/B/T tidak dilahirkan melainkan dibentuk secara sosial.
Maksudnya, secara sosiologis, entitas LGBT adalah hasil sosialisasi. Mereka, secara kategoris gender, adalah individu-individu yang berkembang dan mendefinisikan diri sebagai bukan-perempuan (kendati jenis kelaminnya perempuan) atau sebagai bukan-lelaki (walau jenis kelaminnya lelaki).