Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

LGBT, “Gender Ketiga”?

26 Februari 2016   09:20 Diperbarui: 20 April 2016   14:54 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

"One is not born, but rather becomes, a woman" (Simone de Beauvoir, 1953).

Formulasi Beauvoir dalam mahakaryanya, “The Second Sex”, itu menjadi acuan pembeda “sex” (jenis kelamin) dan “gender”. Identitas “sex” diperoleh karena kelahiran (enachted). Sedangkan identitas “gender” diperoleh melalui sosialisasi (achieved).

Singkat kata, “gender” adalah “bentukan sosial” (social construct). Artinya “perempuan” dan “lelaki” sebagai kategori gender, adalah produk sosial-budaya, hasil sosialisasi.

Maka pembagian kerja dikotomis antara perempuan dan lelaki adalah hasil bentukan sosial. Perempuan ditempatkan di rumah (ruang domestik) melakukan pekerjaan rumahtangga (reproduksi). Sedangkan lelaki di luar rumah (ruang publik) melakukan pekerjaan cari nafkah (produksi).

Jadi, kalau seorang perempuan bekerja di dapur , itu bukan karena jenis kelaminnya perempuan. Tapi karena dia “diperempuankan” lingkungan sosialnya seperti itu.

Juga, kalau seorang lelaki bekerja mencari nafkah di luar rumah, itu bukan karena jenis kelaminnya lelaki. Tapi karena dia “dilelakikan” lingkungan sosialnya seperti itu.

Maka, dalam “The Second Sex” , Beauvoir menyimpulkan pemosisian perempuan sebagai warga masyarakat “kelas dua”, dan lelaki sebagai “kelas satu”, bukanlah bawaan jenis kelamin. Itu terjadi karena faktor gender yaitu sosialisasi atau bentukan sosial-budaya.

Lalu apa hubungannya dengan fakta LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender) yang mengemuka sekarang ini?

Gejala “Gender Ketiga"?

Rujukan pada Beauvoir itu hanya sebagai acuan untuk untuk menjelaskan konsep gender dan, nanti, konsep-konsep hegemoni gender dan perlawanan gender. Dengan kacamata sosiologi, saya hendak meminjam konsep-konsep itu untuk memahami LGBT sebagai sebuah “gejala sosial”.

Karena sudut pandangnya sosiologis, otomatis saya mengesampingkan perspektif biologi , psikologi, dan teologi di sini.
Alasannya tiga perspektif itu tak membuka pemahaman seutuhnya mengenai gejala LGBT. Biologi mereduksi masalahnya ke dimensi fisik. Psikologi merdeksinya ke dimensi psikis. Sedangkan teologi yang dogmatis memvonisnya sebagai dosa.

Melalui “The Second Sex” Beauvoir menunjukkan bahwa, sepanjang sejarah bangsa-bangsa, lelaki telah merendahkan perempuan melalui proses hegemoni gender. Lelaki secara sepihak mendefiniskan diri sebagai gender superior. Karena itu ruang publik (luar-rumah) adalah ranah yang pantas baginya.

Lalu, secara sepihak juga, lelaki mendefiniskan perempuan sebagai gender inferior. Karena itu ruang domestik (dalam-rumah) adalah ranah yang pantas baginya.

Pendefinisian sepihak itu jelas menempatkan urusan publik di atas urusan domestik. Karena itu, implikatif, perempuan sebagai kategori gender diposisikan di bawah lelaki. Di sini, perempuan dilemahkan, untuk kemudian dikuasai lelaki.

Maka timbullah gejala ketidak-adilan gender. Suatu gejala pengutamaan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik bagi lelaki ketimbang perempuan. Pemimpin adalah lelaki, pengikut adalah perempuan. Keputusan di tangan lelaki, perempuan tak punya hak suara.

Ketidak-adilan gender itulah yang kemudian memicu gerakan feminisme. Gerakan perlawanan perempuan terhadap hegemoni lelaki. Ini perlawanan ideologis.

Semua gerakan itu, mulai dari aliran lembut sampai aliran keras , pada intinya memperjuangkan kesetaraan gender perempuan dan lelaki. Terutama dalam hak-hak serta kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi, dan politik. Ini soal eksistensi sosial.

Karena tak ada logikanya menempatkan perempuan, separuh dari umat manusia, sebagai warga kelas dua di bawah lelaki, separuh umat lainnya.

Hasil perlawanan itu, kurang lebih setelah empat dekade, sudah dinikmati perempuan dan (sebenarnya juga) lelaki dewasa ini. Proporsi perempuan dan lelaki yang berkarya di ruang publik, terutama bidang sosial, ekonomi, dan politik, semakin mendekati titik perimbangan. Bahkan sudah jamak kini pimpinan teritingi suatu organisasi sosial/ekonomi/politik, termasuk negara, dijabat oleh perempuan.

Kesetaraan gender bukan impian lagi, tapi sudah menjadi kenyataan kini. Memang belum sepenuhnya setara, karena resistensi kaum lelaki yang tak kurang sengitnya, tapi arus ke sana tak terbendung lagi.

Seiring proses penyetaraan gender perempuan dan lelaki itu, di antara keduanya terbangun juga konsensus norma sosial yang mengatur perilaku sosial normal (dan abnormal). Salah satunya menyangkut perilaku seks dan pernikahan (perkawinan).

Di bidang seks dibangun konsensus bahwa perilaku seks yang normal adalah heteroseksual, antara perempuan dengan lelaki. Sedangkan perilaku homoseksual ataupub biseksual dicap abnormal, melanggar norma sosial.

Koheren dengan itu, mengenai pernikahan, dibangun konsensus bahwa pernikahan yang normal adalah antara lawan jenis (gender), yaitu antara perempuan dan lelaki. Sedangkan pernikahan kaum sejenis, antara sesama perempuan atau sesama lelaki, divonis abnormal atau melanggar norma sosial.

Jelas kini bahwa dunia dan kehidupan manusia ini adalah domain dua gender, perempuan dan lelaki, yang kini bersama-sama mendefinisikan norma dan membangun tatanan sosial yang membingkai perilaku sosial setiap individu.

Dua gender itu, perempuan dan lelaki, jelas mengesampingkan keberadaan dan kepentingan individu atau entitas yang secara sosial tidak mendefinisikan diri sebagai perempuan, kendati berjenis kelamin perempuan. Juga individu atau entitas yang secara sosial tidak mendefinisikan diri sebagai lelaki, kendati berjenis kelamin lelaki.

Jelasnya, secara sosiologis, faktanya begini. Ada perempuan yang secara sosial mendefinisikan diri sebagai “lelaki”. Inilah yang dikategorikan lesbian, jika menjalin hubungan intim dengan perempuan.

Lalu ada lelaki yang secara sosial yang mendefiniskan diri sebagai “perempuan”, bahkan sampai operasi atribut jenis kelamin. Ini kemudian dikategorikan gay, kalau membangun hubungan intim dengan lelaki.

Ada pula perempuan/lelaki yang secara sosial mendefinisikan diri bukan salah satunya melainkan keduanya sekaligus. Inilah yang kemudian dikenal sebagai biseksual, jika membangun hubungan intim dengan baik sesama maupun lawan jenis.

Keseluruhan individu/entitas itulah yang membentuk suatu kategori sosial yang kini populer dengan sebuatn LGBT. Oleh perempuan/lelaki (yang menilai diri) “normal”, mereka diposisikan sebagai “penyimpang sosial” (dalam arti negatif). Sehingga harus dikembalikan ke “jalan yang benar”, yaitu perilaku heteroseksual dan pernikahan antar lawan jenis.

Kedua gender “utama” itu, perempuan dan lelaki, tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan entitas LGBT itu sebagai “gender yang lain”, atau sebut misalnya “gender ketiga”, seperti yang mereka persepsikan.

Sebab jika dikembalikan ke formula Beauvoir, maka bisa pula dikatakan bahwa "One is not born, but rather becomes, a lesbian/gay/bisexual/transgender." Artinya, seorang L/G/B/T tidak dilahirkan melainkan dibentuk secara sosial.

Maksudnya, secara sosiologis, entitas LGBT adalah hasil sosialisasi. Mereka, secara kategoris gender, adalah individu-individu yang berkembang dan mendefinisikan diri sebagai bukan-perempuan (kendati jenis kelaminnya perempuan) atau sebagai bukan-lelaki (walau jenis kelaminnya lelaki).

Mereka tak “diperempuankan” atau “dilelakikan” oleh lingkungan sosialnya sebagaimana umumnya terjadi pada dua gender “utama”, perempuan dan lelaki. Karena itu, mereka membangun eksistensi sebagai “gender ketiga”.

Bagaimana proses pembentukan sosial LGBT itu sebagai “gender ketiga”, akan dibahas nanti dalam bagian kedua tulisan ini. Sementara,  sampai di sini dulu.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun