Artikel “Lovers-Haters Fallacy” Nararya terlalu berharga untuk tak ditanggapi (lihat K.06-10-15).
Khas paparan “logikawan”, kalau boleh pakai istilah ini, artikel itu substansial, logis, dan lugas. Karena itu, mencerdaskan sekaligus merangsang tanya. (Kita bertanya karena cerdas, bukan karena bodoh).
Kesimpulan Nararya sederhana: pelabelan “lovers” atau “haters” pada lawan debat bukan sebuah argumen substansial, melainkan “argumentum ad hominem” alias pembunuhan karakter, dan karena itu tergolong bentuk “sesat pikir” (fallacy).
Nararya menyebutnya sebagai “lovers-haters fallacy”. Sebuah kreasi konseptual yang cerdas.
Prinsip dasarnya, kata Nararya, jangan menyerang pribadi orangnya melainkan bobot argumennya. Nah, prinsip dasar inilah yang saya pertanyakan di sini.
Argumen: Obyektif atau Subyektif?
Pertanyaan saya, apakah sebuah argumen secara objektif berada di luar orang yang menyampaikannya? (Pertanyaan 1).
Atau sebaliknya, apakah sebuah argumen secara subyektif melekat pada orang yang menyampaikannya? (Pertanyaan 2).
Jika Pertanyaan 1 dijawab “Ya” (Pertanyaan 2, “Tidak”), maka prinsip dasar yang disampaikan Nararya tetap tegak.
Tapi, jika Pertanyan 2 dijawab “Ya” (Pertanyaan 1, “Tidak”), maka prinsip dasar yang disampaikan Nararya tumbang.
Dan, asyiknya, saya berada di antara orang-orang (jika ada lebih dari satu) yang menjawab “Ya” untuk pertanyaan kedua, dan “Tidak” untuk pertanyaan pertama.
Titik tolak saya adalah prinsip ini: sebuah argumen selalu dilandasi oleh motif-motif subyektif. Ini sebenarnya prinsip Weberian: suatu tindakan sosial hanya mungkin dipahami dengan menelisik motif-motif subyektif di baliknya.
Dan motif-motif subyektif itu sepenuhnya ditentukan oleh subyektivitas atau karakter atau kepribadian Sang Subyek.
Karena itu, secara logis, seseorang akan merumuskan dan melontarkan sebuah argumen berdasar motif-motif subyektifnya.
Contoh besarnya, dalam kasanah teori sosiologi klasik, sifat “kontra” kapitalisme pada teori-teori Marxian didasari pengalaman subyektif Karl Marx sebagai “orang marjinal” dalam sistem itu.
Sebaliknya, sifat “pro” kapitalisme pada teori-teori Weberian didasari pengalaman subyektif Max Weber sebagai “orang pusat” dalam sistem tersebut.
Bagi Marx, kapitalisme itu pengalaman pahit, karena itu harus dihapuskan. Sebaliknya bagi Weber, seorang dari lingkungan borjuasi/liberal, kapitalisme itu pengalaman manis, karena itu harus dikembangkan.
Jelas, Marx dan Weber punya motif-motif atau kepentingan-kepentingan subyektif yang saling bertolak-belakang, sehingga respon mereka terhadap kapitalisme juga bertolak-belakang.
Contoh dari lingkungan birokrasi kita. Dari sisi pejabat, birokrasi adalah sumber keuntungan (benefit), karena bisa memfasilitasi kepentingan-kepentingan pribadinya, antara lain kepentingan pemasukan dari uang pelicin.
Sebaliknya, dari sisi pengusaha, birokrasi adalah sumber kebuntungan (cost), karena menelayan biaya besar agar bisa menembusnya.
“Lovers-Haters”: Dikotomi Kepribadian atau Kepentingan?
Jika dibawa ke konteks “Jokowi” sebagai sebuah “gejala sosial”, maka “lovers” dan “haters” sebenarnya adalah konsep-konsep yang membingkai kepentingan-kepentingan subyektif.
“Lovers” membingkai kepentingan yang terpenuhi karena Jokowi tampil sebagai presiden terpilih.
Sebaliknya “haters” membingkai kepentingan yang tak terpenuhi karena Jokowi muncul sebagai pemenang Pilpres 2014.
Maka, jika “lovers” dan “haters” beradu argumen tentang kinerja Jokowi misalnya, sudah pasti akan terjadi pertentangan yang bersifat diametral.
“Lovers” karena kepentingan subyektifnya sebagai “pihak yang menang” (kubu “pusat”), pasti akan selalu menilai positif kinerja Jokowi.
Sebaliknya, “haters”, karena kepentingan subyektifnya sebagai “pihak yang kalah” (kubu “marginal”), pasti akan selalu menilai negatif kinerja Jokowi.
Tentu “lovers” maupun “haters” akan menyajikan data yang diklaim “obyektif” untuk mendukung argumen masing-masing. Tapi “data obyektif” itu telah dipilih sedemikian rupa sehingga konsisten dengan kepentingan subyektifnya.
Dalam adu argumen, data yang diajukan kedua pihak akan selalu saling-bertentangan. Karena “lovers” selamanya akan bersikap verifikatif, memaparkan data positif tentang kinerja Jokowi. Sebaliknya “haters” selamanya akan bersikap falsifikatif, menunjukkan data negatif tentang kinerja Jokowi.
Maka, atas dasar menjadi sah bila seorang “hater” mengatakan “Poltak berargumen positif tentang Jokowi karena dia memang seorang “lover” Jokowi. Hal sebaliknya juga sah.
Mengapa sah? Karena “lovers-haters” di sini harus dipahami sebagai kategori dikotomis yang membingkai satu set argumen, bukan membingkai karakter individu (pribadi).
Tegasnya, “lovers-haters” bukan dikotomi “kepribadian subyek” melainkan dikotomi “kepentingan subyektif”.
Sebagai ilustrasi, misalkan saya bilang, “Tentu saja Nararya selalu berpandangan negatif tentang terpidana korupsi karena dia memang pribadi anti-korupsi”. Apakah saya sedang mengemukakan sesat pikir (fallacy) alias “argumentum ad hominem”di sini? Tidak, pernyataan saya adalah sebuah argumen substansial.
Maka, pada titik ini, izinkan saya menyimpulkan, Nararya telah melakukan “Nararya(n) fallacy” (sesat pikir a’la Nararya) ketika dia menyebut label “lovers” dan “haters” bukan kategori argumen substansial melainkan ad hominem.
Dengan kesimpulan itu tentu saya tak bermaksud menyerang Nararya secara pribadi. Kendati saya mengintroduksi konsep “Nararyan fallacy” yang meminjam namanya.
Bagaimanapun saya seorang penikmat tulisannya. Mungkin tergolong “lover”-nya, walau saya berharap sebagai “lover kritis”.
Artikel tanggapan ini adalah semata apresiasi saya pada artikel Nararya tersebut di atas. Mohon maaf bila kualitasnya ada di urutan terakhir dari sejumlah artikel tanggapan yang mungkin dibuat.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H