Titik tolak saya adalah prinsip ini: sebuah argumen selalu dilandasi oleh motif-motif subyektif. Ini sebenarnya prinsip Weberian: suatu tindakan sosial hanya mungkin dipahami dengan menelisik motif-motif subyektif di baliknya.
Dan motif-motif subyektif itu sepenuhnya ditentukan oleh subyektivitas atau karakter atau kepribadian Sang Subyek.
Karena itu, secara logis, seseorang akan merumuskan dan melontarkan sebuah argumen berdasar motif-motif subyektifnya.
Contoh besarnya, dalam kasanah teori sosiologi klasik, sifat “kontra” kapitalisme pada teori-teori Marxian didasari pengalaman subyektif Karl Marx sebagai “orang marjinal” dalam sistem itu.
Sebaliknya, sifat “pro” kapitalisme pada teori-teori Weberian didasari pengalaman subyektif Max Weber sebagai “orang pusat” dalam sistem tersebut.
Bagi Marx, kapitalisme itu pengalaman pahit, karena itu harus dihapuskan. Sebaliknya bagi Weber, seorang dari lingkungan borjuasi/liberal, kapitalisme itu pengalaman manis, karena itu harus dikembangkan.
Jelas, Marx dan Weber punya motif-motif atau kepentingan-kepentingan subyektif yang saling bertolak-belakang, sehingga respon mereka terhadap kapitalisme juga bertolak-belakang.
Contoh dari lingkungan birokrasi kita. Dari sisi pejabat, birokrasi adalah sumber keuntungan (benefit), karena bisa memfasilitasi kepentingan-kepentingan pribadinya, antara lain kepentingan pemasukan dari uang pelicin.
Sebaliknya, dari sisi pengusaha, birokrasi adalah sumber kebuntungan (cost), karena menelayan biaya besar agar bisa menembusnya.
“Lovers-Haters”: Dikotomi Kepribadian atau Kepentingan?