Jelas tak mudah, misalnya, bagi seorang ibu menanamkan nilai solidaritas pada anaknya, sementara Si Anak tiap hari disuguhi tontonan gaya hidup hedonistik selebritis di televisi dan media sosial.
Juga, sangat sulit menanamkan nilai profesionalisme pada seorang anak yang tiap pagi sarapan berita korupsi, manipulasi, dan penipuan oleh para pejabat negara di televisi.
Sulit pula menanamkan nilai gotong-royong di tengah masyarakat kita yang cenderung menganut nilai “gotong-boyong”.
Maka, agar revolusi mental melalui keluarga berhasil, pemerintah harus menciptakan iklim revolusi mental. Caranya dengan memberi teladan “revolusi mental dari atas”, yaitu di lingkungan pemerintahan (eksekutif/ legislatif/ judikatif) itu sendiri.
Wujud paling sederhana “revolusi mental dari atas” adalah pemberian sanksi tegas kepada pejabat/aparat yang merugikan kepentingan publik, karena melakukan tindakan-tindakan anti-gotongroyong, anti-obyektivitas, anti-profesionalitas, dan anti-solidaritas.
Bagaimanapun, revolusi mental sesungguhnya bukanlah proses “membangun keluarga membangun bangsa” yang bersifat searah. Antara keluarga dan bangsa, dengan pemerintah sebagai representasinya, harus selalu ada komunikasi dua-arah, saling membangun untuk mewujudkan “Bangsa Indonesia Hebat”.
Memang tak salah mengatakan “Keluarga adalah miniatur bangsa .” Tapi harus diingat bangsa kita hari ini sedang dirundung “krisis moral/mentalitas”. Berarti, keluarga sebagai miniaturnya juga setali tiga uang.
Jadi, sungguh berat beban di pundak BKKBN, sebagai institusi yang memotori revolusi mental melalui keluarga Indonesia. Tapi, jika iklim revolusi mental dapat diciptakan, maka semesta bangsa akan mendukung revolusi mental untuk mencapai tujuannya, yaitu “keluarga yang berkarakter sebagai miniatur bangsa Indonesia yang berkarakter”.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H