Disela itu Gifar merasakan hal yang sama dengan apa yang Ismu sampaikan. Ayahnya Pak Hamid banyak sekali bercerita tentang cerita yang sama di desanya, dan ketika beranjak remaja ia mulai sedikit menyaksikan dan merasakan hal-hal yang demikian. Rasa yang demikian itu tumbuh dalam orang-orang sederhana ini.
"Saya tak bisa menarik diri dari keterlibatan emosional dengan krisis sosial-ekologi di desa saya"
Ismu kembali menjelaskan apa yang ia rasakan dan alami, "Posisi kami bisa bersifat ganda, sebagai korban dan terpaksa terjun sebagai 'pelaku'. Yang kemudian mereka menyebutkan apa yang mereka lakukan sebagai upaya pembangunan. Pemajuan ekonomi masyarakat desa. Seiring berjalannya waktu, semua akar persoalan tak henti-hentinya melilit kebebasan kami. Saya dengan iba mulai tak sudi pada kata pembangunan".
"Nasib kami disini mirip budak yang terjajah. Kemerdekaan yang fana itu melilit kami bagai tak ada jeda dalam jeritan leher kami sebagai tanda bahwa kami boleh bernapas lega. Ruang hidup kami dicukur habis, direnggut, tanah kami dipindahkan ke tempat lain, tak kami sebut dicuri karena itu terlalu kasar, dan air kami tercemar".
Gifar masih dalam lamunannya. Lagu berganti, Bebal -- Sisir Tanah.
Ada, tak ada manusia mestinya
Pohon-pohon itu tetap tumbuh
Ada tak ada manusia mestinya
Terumbu karang itu tetap utuh
Lamunan pada diskusi dengan Ismu terbawa dengan suasana dari lagu-lagu yang ia dengar.
"Lebih dari itu, perlahan-lahan sejarah akan tergilas oleh penanda-penanda baru yang tak kami kenal sebelumnya", Ismu menghela nafas dalam-dalam.