Mohon tunggu...
M. Sadli Umasangaji
M. Sadli Umasangaji Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger - celotehide.com

Menulis beberapa karya diantaranya “Dalam Sebuah Pencarian” (Novel Memoar) (Merah Saga, 2016), Ideasi Gerakan KAMMI (Gaza Library, 2021), Serpihan Identitas (Gaza Library, 2022). Ia juga mengampu website celotehide.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menilik Deteksi Dini Zat Besi Pada Remaja Putri

13 Mei 2023   16:33 Diperbarui: 27 Mei 2023   09:39 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menilik Deteksi Dini Zat Besi Pada Remaja Putri

M. Sadli Umasangaji

(Founder Gizisme)

Dari awal hingga akhir, daur kehidupan manusia merupakan tahap-tahap kejadian yang menakjubkan. Sejak saat pembuahan di dalam rahim ibu, kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya berupa tahap bayi, anak-anak, remaja dewasa dan tua, saling pengaruh antara berbagai faktor. Faktor gizi adalah bagian dari faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam proses daur kehidupan itu (Almatsier, 2011).

Masalah kesehatan dan gizi di Indonesia pada periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi fokus perhatian karena tidak hanya berdampak pada angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak, melainkan juga konsekuensi kualitas hidup individu yang bersifat permanen sampai usia dewasa. Timbulnya masalah gizi pada anak usia di bawah dua tahun erat kaitannya dengan persiapan kesehatan dan gizi seorang perempuan menjadi calon ibu, termasuk rematri.

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang dapat dialami oleh semua kelompok umur mulai dari balita sampai usia lanjut. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada perempuan 15 tahun sebesar 22.7% sedangkan prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 37.1%. Data SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada rematri (usia 10-19 tahun) sebesar 30%. Data penelitian di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada rematri berkisar antara 32.4-61%. (Kemenkes, 2018).

Menyelisik Sejenak Tentang Zat Besi

Zat besi adalah mineral mikro. Mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sangat kecil, namun mempunyai peranan esensial untuk kehidupan, kesehatan dan reproduksi.    Zat besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh diantaranya sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh sebagai alat angkut electron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi, termasuk di Indonesia.

Beberapa fungsi zat besi diantaranya, pertama, membantu metabolisme energi, Di dalam tiap sel, zat bekerja sama dengan rantai protein-pengangkut-elektron, yang berperan dalam langkah-langkah akhir metabolisme energi. Kedua, kemampuan belajar, dalam sebuah penelitian yang dilakukan Soemantri dan Almatsier menunjukkan peningkatkan prestasi belajar pada anak-anak sekolah dasar bila diberikan suplemen besi. Hubungan defisiensi besi dengan fungsi otak dijelaskan bahwa beberapa bagian dari otak mempunyai kadar besi tinggi yang diperoleh dari transport besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter. Ini terkait dengan daya konsentrasi, daya ingat dan kemampuan belajar terganggu. (Almatsier, 2009).

Zat besi merupakan  zat  gizi  utama yang berperan penting sintesis hemoglobin sehingga kurangnya asupan zat besi yang diperoleh dari bahan makanan menyebabkan kadar hemoglobin menurun. Selain itu, jumlah zat besi dalam tubuh juga dipengaruhi oleh faktor penghambat penyerapan zat besi. Faktor penghambat penyerapan zat besi banyak terdapat dalam bahan makanan seperti fitat yang terkandung dalam kacang-kacangan, biji-bijian; posfitin yang terkandung dalam kuning telur; oksalat yang terkandung dalam sayuran; dan tannin yang terkandung dalam teh dan kopi. Di samping faktor penghambat, terdapat juga faktor pemacu penyerapan besi yaitu vitamin C. Suasana asam dan sifat reduktor vitamin C diperlukan dalam penyerapan zat besi, dimana penyerapan zat besi akan meningkat empat kali lipat dengan bantuan vitamin C. (Sriningrat, Putu Cintya, dan Luh Seri, 2019).

Sumber zat besi adalah makanan hewani seperti daging, ayam, dan ikan. Sumber baik lainnya adalah telur, serelia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Sebaiknya diperhatikan kombinasi makanan sehari-hari, yang terdiri atas campuran sumber besi berasal dari hewani dan sayur-sayuran serta sumber gizi lain yang dapat membantu absorpsi. (Almatsier, 2009).

Defisiensi Zat Besi; Deteksi Dini dan Anemia 

Sel darah merah rata-rata berumur kurang lebih empat bulan. Sel-sel hati dan limpa mengambilnya dari darah, memecahnya dan menyiapkan produk-produk pemecahan tersebut untuk dikeluarkan dari tubuh atau di daur ulang. Zat besi sebagian besar di daur ulang. Hati mengikatkannya ke transferin darah, yang mengangkutnya kembali ke sumsum tulang untuk digunakan kembali membuat sel darah merah baru. (Almatsier, 2009).

Deteksi dini masalah gizi adalah upaya menemukan gejala awal malnutrisi dan tindakan dini untuk mencegah kerugian dalam kehidupan masyarakat. Deteksi adalah langkah awal dalam menilai sebuah masalah gizi. Ada beberapa penilaian status gizi (Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk, 2002) terdiri dari secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung diantaranya antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Secara tidak langsung survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

Defisiensi zat besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat, baik di Negara maju maupun di Negara sedang berkembang. Secara klasik defisiensi besi dikaitkan dengan anemia gizi besi. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukkan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorpsi. Zat gizi yang bersangkutan adalah zat besi, protein, vitamin B6 yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis hem di dalam molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi absorpsi dan pelepasan besi dari transferin ke dalam jaringan tubuh, dan vitaminE yang mempengaruhi stabilitas membrane sel darah merah. (Almatsier, 2009).

Anemia merupakan keadaan yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin dan atau berkurangnya jumlah dan mutu sel darah merah, yang berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi serta oksigen untuk proses fisiologi dan biokimia jaringan tubuh. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang muncul serta dengan melihat hemoglobin dalam darah.

Menurut  World Health Organization  (WHO) kadar hemoglobin (Hb) sebagai indikator anemia untuk anak-anak dan wanita hamil < 11 g/L dan untuk wanita tidak hamil < 12 g/L. Sedangkan anemia berat <  7 g/L untuk anak-anak dan wanita hamil dan wanita tidak hamil < 8 g/L (WHO, 2011 dalam Wulandari, 2017). Penegakkan diagnosis anemia dilakukan dengan pemeriksaaan laboratorium kadar hemoglobin/Hb dalam darah dengan menggunakan metode  Cyanmethemoglobin  (WHO, 2001). Hal  ini sesuai dengan Permenkes Nomor 37 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat. Rematri dan WUS menderita anemia bila kadar hemoglobin darah menunjukkan nilai kurang dari 12 g/dL (Kemenkes, 2018).

Secara umum faktor utama penyebab anemia adalah asupan zat besi yang kurang. Sekitar dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup, kebiasaan makan, kebiasaan sarapan pagi, sosial ekonomi, demografi, pendidikan, jenis kelamin, umur dan wilayah. Wilayah perkotaan atau  pedesaan  berpengaruh  melalui  mekanisme  yang berhubungan dengan  ketersediaan  sarana fasilitas kesehatan maupun ketersediaan  makanan yang pada  gilirannya  berpengaruh pada pelayanan  kesehatan dan asupan zat besi. (Permaesih, Dewi, dan Susilowati, 2005).

Dampak dari anemia pada kesehatan antara lain menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar, menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan otak, meningkatkan resiko menderita infeksi, menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit menurunkan semangat, konsentrasi dan prestasi belajar. Mengganggu pertumbuhan sehingga tidak bisa mencapai tinggi badan optimal (Depkes, 2005 dalam Rachmadianto, 2014). Penyebab anemia gizi diantaranya adalah makanan yang dikonsumsi sehari-hari kurang mengandung zat besi yang dibutuhkan tubuh, meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi misalnya karena masa remaja mengalami proses menstruasi dan meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh (misalnya karena perdarahan akibat kecelakaan, kehilangan darah akibat menderita penyakit malaria, kecacingan dan haid). (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2010 dalam Rachmadianto, 2014).

Memandang Zat Besi dan Remaja Putri

Populasi remaja di Indonesia mencapai 20% dari total populasi penduduk Indonesia, yaitu sekitar 30 juta jiwa. World Health Organization menyebutkan bahwa banyak masalah gizi pada remaja masih terabaikan, disebabkan karena masih banyak faktor-faktor yang belum diketahui, padahal remaja merupakan sumber daya manusia Indonesia yang harus dilindungi karena potensinya yang sangat besar dalam upaya pembangunan kualitas bangsa (Rachmadianto, 2014).

Remaja putri lebih rentan terkena anemia disebabkan oleh beberapa hal, seperti remaja pada masa pertumbuhan membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi, adanya siklus menstruasi yang menyebabkan remaja putri banyak kehilangan darah, banyaknya remaja putri yang melakukan diet ketat, lebih banyak mengonsumsi makanan nabati yang kandungannya zat besi sedikit, dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan zat besi tidak terpenuhi dan asupan gizinya tidak seimbang. Remaja putri mengalami haid tiap bulan, dimana kehilangan zat besi 1,25 mg perhari, sehingga kebutuhan zat besi lebih banyak daripada pria. Penyebab paling umum dari anemia secara global adalah anemia defisiensi besi. (Nuraeni, dkk, 2019).

Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia dari pada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri mengalami haid. Seorang wanita yang mengalami haid yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan besi pengganti lebih banyak dari wanita yang  haidnya hanya tiga hari atau sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri seringkali menjaga penampilan, keinginan untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diet yang tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting seperti besi (Arisman, 2010 dalam Andaruni, 2018).

Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah anemia pada remaja adalah melalui pemberian suplemen tablet tambah darah (TTD) berupa zat besi (60 mg FeSO4) dan asam folat (0,25 mg). WHO telah merekomendasikan konsumsi tablet besi untuk Wanita Usia Subur (WUS) menstruasi adalah secara  intermittent  (1 kali/minggu), dengan dosis TTD 60 mg elemental besi dan 2,8 mg asam folat selama 12 minggu/3 bulan dengan jeda tiga bulan. Jadi suplementasi diberikan dua kali setahun selama tiga bulan, sehingga jumlah total tablet yang diberikan selama suplementasi adalah 24 tablet/tahun (WHO 2011 dalam Susanti, dkk, 2016).

Kelompok remaja putri merupakan sasaran strategis dari program perbaikan gizi untuk memutus siklus masalah agar tidak meluas ke generasi selanjutnya. Program pemerintah Indonesia yang fokus terhadap penanggulangan anemia remaja putri yakni Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) dengan sasaran anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) melalui pemberian suplementasi kapsul zat besi. (Permatasari, dkk, 2018). Pada keadaan dimana zat besi dari makanan tidak mencukupi kebutuhan terhadap zat besi, perlu didapat dari suplementasi zat besi. Pemberian suplementasi zat besi secara rutin selama jangka waktu tertentu bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara cepat, dan perlu dilanjutkan untuk meningkatkan simpanan zat besi di dalam tubuh. 

Tahapan lama dalam pemberian tablet tambah darah oleh kebijakan Kemenkes telah menetapkan dosis suplementasi besi pada WUS (termasuk remaja) adalah 1 tablet/minggu dan ketika menstruasi diberikan setiap hari selama 10 hari dengan lama pemberian empat bulan. Dengan demikian, jumlah total tablet yang diberikan selama suplementasi adalah 52 tablet/tahun dengan TTD yang tersedia sama dengan ibu hamil (Depkes 2003). Terjadi perubahan dalam pola pemberian, dimana sekarang pola pemberian dilakukan setiap minggu 1 tablet dan setiap bulan bisa mendapat 4-5 tablet. Pemberian dalam setahun sebanyak 52 tablet. TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan oleh pemerintah maupun diperoleh secara mandiri. (Kemenkes, 2018).

Upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah anemia gizi tidak selalu berjalan dengan baik dan efektif. Penelitian Kheirouri menyebutkan bahwa selain ketersediaan tablet besi dan efek samping yang ditimbulkan oleh tablet, terdapat faktor lainnya yang dapat memengaruhi keefektifan program suplementasi besi yaitu dipengaruhi kualitas TTD, cara sosialisasi kepada remaja putri, peran orangtua, kerjasama stakeholder, serta pelatihan edukator. Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) tahun 2016 di Kota Bogor baru berjalan di tahun kedua. Program di tahun pertama (2015) masih belum berjalan secara efektif dan hanya melihat cakupan pemberian saja. (Permatasari, dkk, 2018).

Realitas pemberian tablet tambah darah memang mengalami fluktuatif. Selain itu memang target capaian pemberian memang dilakukan bertahap. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI tahun 2015-2019 menargetkan cakupan pemberian TTD pada rematri secara bertahap dari 10% (2015) hingga 30% (2019). Diharapkan sektor terkait di tingkat pusat dan daerah mengadakan TTD secara mandiri sehingga intervensi efektif dengan cakupan dapat dicapai hingga 90%. (Kemenkes, 2018). Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2017 menunjukkan data Persentase Remaja Putri mendapat Tablet Tambah Darah 12.4% meningkat dari Tahun 2016 10.3%. Akan tetapi polemiknya bukan hanya terbatas pada pemberian tapi juga seberapa jauh tablet zat besi-nya dikonsumsi. Selain itu, faktor semisal merasa mual, anggapan seperti ibu hamil dan beragam hal lainnya juga mempengaruhi proses dalam mengonsumsi tablet zat besi.

Rendahnya pengawasan dan motivasi dari pengkonsumsi TTD di rumah membuat tingkat kepatuhan rendah. Program pemberian TTD di India pada penelitian Risonar menunjukkan hasil kepatuhan yang cukup tinggi yakni didapatkan nilai kepatuhan 100% pengonsumsian TTD. Kepatuhan ditunjukkan dengan pengonsumsian secara langsung dengan edukasi dan pengawasan dari guru saat di sekolah dan dilakukan minum TTD bersama di hari yang telah ditetapkan. (Permatasari, dkk, 2018).

Anemia dapat menimbulkan risiko pada remaja putri baik jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Dalam jangka pendek anemia dapat menimbulkan keterlambatan pertumbuhan fisik, dan maturitas seksual tertunda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Sedayu, tentang hubungan kejadian anemia dengan prestasi pada remaja putri didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara kejadian anemia terhadap prestasi belajar. Hal ini menunjukkan dampak remaja yang mengalami anemia adalah kurangnya konsentrasi sehingga akan memengaruhi prestasi belajar remaja tersebut di kelasnya. Dampak jangka panjang remaja putri yang mengalami anemia adalah sebagai calon ibu yang nantinya hamil, maka remaja putri tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya yang dapat menyebabkan komplikasi pada kehamilan dan persalinan, risiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR dan angka kematian perinatal. (Nuraeni, dkk, 2019).

 

Realitas Pemberian Tablet Tambah Darah

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa suplementasi mingguan menghasilkan peningkatan hemoglobin yang sama dengan suplementasi harian (Risonar 2008; Leenstra et al.; 2009; Joshi dan Gumastha 2013 dalam Susanti, dkk, 2016). Peningkatan hemoglobin juga terjadi ketika suplementasi besi dilakukan secara mingguan dan selama menstruasi (Februhartanty et al. 2002; Bani et al. 2014). Di sisi lain diketahui saat ini program suplementasi besi remaja putri belum disertai dengan edukasi, padahal keberhasilan program suplementasi besi perlu didukung oleh strategi komunikasi informasi dan edukasi (KIE) yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan model suplementasi tablet besi untuk remaja putri di sekolah antara lain dengan disertai pendidikan gizi (Kaur et al. 2011; Dwiriani  et al. 2011dalam Susanti, dkk, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Noviawati (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara asupan zat besi dengan kejadian anemia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Nida, 2017), adanya hubungan yang signifikan konsumsi tablet fe dengan anemia. Adanya pengaruh pemberian tablet Fe  terhadap peningkatan kadar HB menunjukkan bahwa pemberian tablet Fe efektif untuk mencegah terjadinya anemia pada mahasiswi. Kesadaran konsumsi tablet Fe saat menstruasi tidak lepas dari informasi dan pengetahuan, hal ini dikarenakan pengetahuan merupakan  faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang. Kesadaran remaja dalam upaya pencegahan anemia melalui konsumsi tablet Fe masih rendah, terbukti dengan survei anemia yang dilakukan di 9 sekolah baik SMP maupun SMA, hasil dari survei tersebut bahwa hanya 2.67% siswi mengonsumsi tablet besi ketika sedang menstruasi. (Angrainy, dkk, 2019).

Akan tetapi pola pemberian yang menggunakan konsep Blanket Approach atau dalam bahasa Indonesia berarti "pendekatan selimut", berusaha mencakup seluruh sasaran program. Dalam hal  ini, seluruh  rematri  dan WUS  diharuskan minum TTD untuk mencegah anemia dan meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh tanpa dilakukan skrining awal pada kelompok sasaran. Sebenarnya punya beberapa resiko sebagaimana pendapat Sunita Almatsier (2009) kelebihan zat besi jarang terjadi karena makanan, tetapi dapat disebabkan oleh suplemen besi. Gejalanya adalah rasa muntah, diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala.

Dalam buku Pedoman Pencegahan dan Penanggungan Anemia Pada Remaja Putri (Kemenkes, 2018), juga menjelaskan Konsumsi zat besi secara terus menerus tidak akan menyebabkan keracunan  karena tubuh mempunyai sifat autoregulasi zat besi. Bila tubuh kekurangan zat besi, maka absorpsi zat besi yang dikonsumsi akan banyak, sebaliknya bila tubuh tidak mengalami kekurangan zat besi maka absorpsi besi hanya sedikit, oleh karena itu TTD aman untuk dikonsumsi.  Namun, konsumsi TTD  secara terus menerus perlu mendapat perhatian  pada sekelompok populasi yang mempunyai penyakit darah seperti thalassemia, hemosiderosis. Pada daerah endemis malaria, pemberian TTD mengacu pada Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.  Monitoring berkala dilakukan dengan pemeriksaan kadar Hb. Bila ada kecurigaan adanya thalassemia dan atau malaria, harus dirujuk ke dokter.

Dengan demikian pemberian tablet tambah darah dapat dilakukan terlebih dahulu dengan melakukan deteksi dini, dimana pada penjelasan umum bahwa gejala yang sering ditemui pada penderita anemia adalah  5 L (Lesu, Letih, Lemah, Lelah, Lalai), disertai sakit kepala dan pusing  ("kepala muter"), mata berkunang-kunang, mudah mengantuk, cepat capai serta sulit konsentrasi.  Secara klinis penderita anemia ditandai dengan "pucat" pada muka, kelopak mata, bibir, kulit, kuku dan telapak tangan. Ataupun dapat dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin, akan tetapi ketersediaan alat dan fasilitas dalam pemeriksaan hb kadang menjadi masalah. Selain itu, sebagai petugas gizi sebenarnya deteksi dini dapat dilakukan dengan survei konsumsi dalam hal ini dapat melalui recall 24 jam sebanyak 2-3 kali dalam kurun waktu yang berbeda sebagai data awal gambaran asupan fe dari remaja putri.

Polarisasi pemberian tablet tambah darah memang selalu perlu inovasi. Atau pada dasarnya program-program gizi yang ada sudah terprogram dengan baik, hanya saja pelaksanaan di tingkat lapanganlah yang memerlukan inovasi serta improvisasi. Demikian pemberian tablet tambah dengan pola Blanket Approach tidaklah salah. Akan tetapi idealnya sebagai petugas gizi kita dapat memulai dengan deteksi dini sederhana semisal melihat asupan fe, tanda-tanda klinisnya sebagai data awal dalam pemberian tablet tambah darah yang lebih tepat sasaran. Improvisasinya dapat dilakukan dengan deteksi dini sederhana itu, penguatan edukasi melalui sosialisasi tentang zat besi, dan sekali-sekali dapat dilakukan pengolahan makanan bersama sebagai pemberian makanan tambahan yang baik nilai fed an vitamin C seperti jus sayuran maupun buah-buahan. Improvisasi kegiatanlah yang meningkatkan perolehan capaian program dan peminimalisir masalah gizi.

Daftar Pustaka

Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier. Sunita, dkk, 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Andaruni, Nurul Qamariah Rista, 2018. Efektivitas Pemberian Tablet Zat Besi (Fe), Vitamin C  Dan Jus Buah Jambu Biji Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin (Hb) Remaja Putri  di Universitas Muhammadiyah Mataram. Midwifery Journal Vol. 3, No. 2, Juli  2018 , hal 104-107

Angrainy, Rizka, Lidia Fitri, Vipit Wulandari, 2019. Pengetahuan Remaja Putri Tentang Konsumsi Tablet FE Pada Saat Menstruasi Dengan Anemia. Jurnal Endurance : Kajian Ilmiah Problema Kesehatan Vol 4 (2) Juni 2019 (343-349).

Nuraeni, dkk, 2019. Peningkatan Kadar Hemoglobin melalui Pemeriksaan dan Pemberian Tablet Fe Terhadap Remaja yang Mengalami Anemia Melalui "Gerakan Jumat Pintar". Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat (Indonesian Journal of Community Engagement) Vol.5, No.2, Agustus 2019, Hal 200 -- 221.

Kementerian Kesehatan, 2018. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS).

Permaesih, Dewi, dan Susilowati, 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Remaja. Puslitbang Gizi dan Makanan, Badan Litbangkes. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 33,  No. 4, 2005: 162-171

Permatasari, Tyas, Dodik Briawan, dan Siti Madanijah, 2018. Efektivitas Program Suplementasi Zat Besi pada Remaja Putri di Kota Bogor. Jurnal MKMI, Vol. 14 No. 1, Maret 2018.

Rachmadianto, Noky Tri, 2014. Efektifitas Pemberian Tablet Tambah Darah Terhadap Kadar HB Siswi SLTPN 1 Donorojo Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sriningrat, Gusti Agung Ayu, Putu Cintya, dan Luh Seri, 2019. Prevalensi Anemia Pada Remaja Putri di Kota Denpasar. e-Jurnal Medika, Vol. 8 No.2, Februari, 2019.

Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk, 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Susanti, Yeti, dkk, 2016. Suplementasi Besi Mingguan Meningkatkan Hemoglobin Sama Efektif Dengan Kombinasi Mingguan dan Harian Pada Remaja Putri. Jurnal Gizi Pangan, Volume 11, Nomor 1, Maret 2016.

Wulandari, Sri, 2017. Efektivitas Konsumsi Tablet Fe Selama Menstruasi Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin Pada Mahasiswi D-III Kebidanan Universitas Pasir Pengaraian. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun