Sementara, dalam dunia hukum Jepang, makna filosofis "mata terbuka" adalah hukum tidak sebatas undang-undang, tetapi mampu menyerap rasa keadilan masyarakat serta nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat.
Dari perbedaan dua makna keadilan hukum tersebut, dapat dipahami bahwa kedua kultur hukum tersebut juga memiliki tujuan yang berbeda.
Dalam sistem hukum Jepang, proses hukum bertujuan untuk menghasilkan putusan yang sifatnya win-win solution, yang muaranya adalah keadilan dan bukan kepastian, atau dalam istilah Jepang disebut chian hanji (keadilan dari perdamaian).
Sementara, dalam sistem hukum Barat sama sekali berbeda.
Proses hukum Barat bertujuan menghasilkan putusan yang sifatnya win or lose bagi semua pihak dan hanya sebatas tuntutan prosedural formal (bounche de la loi) yang muaranya tentu memenuhi kepastian hukum. (Az Santoso, 2014: 214).
Berkaca pada penjelasan di atas, dalam konteks Indonesia saat ini, tentu kecenderungan dari negara hukum kita adalah masih sebatas memenuhi kepastian hukum yang diadopsi dari Barat dan masih mengabaikan nilai keadilan hukum yang tumbuh di masyarakat.
Padahal, jika kita mau menggali dari nilai-nilai kebangsaan kita, fondasi hukum yang bersendikan keadilan ideal tersebut sudah termaktub dalam Pancasila, yakni sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Makna keadilan dalam sila kelima tersebut tentu bukan sebatas kepastian hukum, tetapi keadilan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Tidak boleh ada diskriminasi yang merugikan individu atau kelompok tertentu, meskipun kelompok tersebut minoritas.
Juga, tidak boleh ada diskriminasi yang menguntungkan pihak tertentu, sepenting apa pun pihak tersebut, termasuk keluarga aparat dan pejabat sekalipun. (Az Santoso, 2014: 215).
Mewujudkan keadilan yang bersendikan Pancasila tentu bukan semata-mata dilihat dari sisi keadilan untuk menyejahterakan rakyat secara ekonomi, namun juga keadilan sosial yang diwujudkan dalam sistem penegakan hukum yang bertujuan menjaga ketertiban, keadilan, dan kedamaian dalam masyarakat.
Seorang hakim ketika menjatuhkan putusan misalnya, tidak semata-mata menuruti kalimat dalam undang-undang, tetapi membaca hukum dengan mata hati.