Mohon tunggu...
M. Rizqi Hengki
M. Rizqi Hengki Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang, Program Kekhususan Hukum Pidana.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mewujudkan Hukum yang Berpihak kepada Kehidupan Masyarakat

19 Maret 2019   00:14 Diperbarui: 23 Maret 2019   15:12 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mahasiwahukum1.blogspot.com

Hampir setiap hari, di negeri ini ingar-bingar berbagai skandal hukum para pejabat negara menghiasi pemberitaan media.

Berbagai kondisi tersebut seakan membuat tatanan hukum kita porak-poranda. Segelintir elite politik dan penegak hukum semakin menanggalkan integritas moral demi keuntungan pribadi.

Alih-alih menegakan hukum dan kebenaran, mereka justru meruntuhkan kewibawaan hukum, menyubversi kekuasaan hukum dan menghancurkan pilar demokrasi. (Az Santoso, 2014: 212).

Para oknum penegak hukum ini seakan abai dengan nasib jutaan rakyat miskin, bahkan abai dengan masa depan bangsa. Minimnya akses keadilan bagi rakyat miskin diakibatkan oleh banyaknya praktik mafia hukum yang mengabaikan prinsip-prinsip HAM di dalam produk hukum itu sendiri.

Sudah bukan rahasia, meski rakyat miskin berada di posisi benar menurut hukum, hal itu tidaklah cukup.

Masih diperlukan kapasitas dan faktor lainnya, seperti koneksi (backing), pemahaman hukum, pengetahuan tentang prosedur di kepolisian dan pengadilan, disertai kapasitas untuk menghubungi lembaga-lembaga pendampingan hukum.

Saat ini, rakyat sangat berharap atas access to justice dalam menjamin hak konstitusional mereka untuk mendapatkan pengakuan, jaminan keadilan dan kebenaran material, perlindungan dan ketersedian sistem, serta sarana pemenuhan hak (hukum) bagi masyarakat miskin.

Sehingga, tidak terjadi lagi bagi mereka yang memiliki kekuasaan dapat dengan mudah menghambat pengaduan atau tuntutan dari pencari keadilan (rakyat miskin) dan melakukan pembangkangan hukum. (Az Santoso, 2014: 213).

Berbicara tentang keadilan hukum, menarik menyimak penuturan Ahmad Ali (2009) tentang perbandingan makna simbolisasi hukum melalui patung dewi keadilan di Barat dan Jepang.

Di berbagai belahan negara-negara Barat, termasuk negara bekas jajahan mereka, hukum disimbolkan dengan patung dewi keadilan yang matanya tertutup dengan kain hitam. Tetapi, berbeda dengan simbol dewi keadilan di Jepang yang matanya tidak tertutup.

Meskipun sama-sama memegang pedang keadilan di tangan kanannya dan neraca keadilan di tangan kirinya, dalam dunia hukum Barat, makna filosofis "mata tertutup" dari dewi keadilan adalah hukum hanya menjalankan undang-undang dan tertutup atas segala sesuatu di luar undang-undang.

Sementara, dalam dunia hukum Jepang, makna filosofis "mata terbuka" adalah hukum tidak sebatas undang-undang, tetapi mampu menyerap rasa keadilan masyarakat serta nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat.

Dari perbedaan dua makna keadilan hukum tersebut, dapat dipahami bahwa kedua kultur hukum tersebut juga memiliki tujuan yang berbeda.

Dalam sistem hukum Jepang, proses hukum bertujuan untuk menghasilkan putusan yang sifatnya win-win solution, yang muaranya adalah keadilan dan bukan kepastian, atau dalam istilah Jepang disebut chian hanji (keadilan dari perdamaian).

Sementara, dalam sistem hukum Barat sama sekali berbeda.

Proses hukum Barat bertujuan menghasilkan putusan yang sifatnya win or lose bagi semua pihak dan hanya sebatas tuntutan prosedural formal (bounche de la loi) yang muaranya tentu memenuhi kepastian hukum. (Az Santoso, 2014: 214).

Berkaca pada penjelasan di atas, dalam konteks Indonesia saat ini, tentu kecenderungan dari negara hukum kita adalah masih sebatas memenuhi kepastian hukum yang diadopsi dari Barat dan masih mengabaikan nilai keadilan hukum yang tumbuh di masyarakat.

Padahal, jika kita mau menggali dari nilai-nilai kebangsaan kita, fondasi hukum yang bersendikan keadilan ideal tersebut sudah termaktub dalam Pancasila, yakni sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Makna keadilan dalam sila kelima tersebut tentu bukan sebatas kepastian hukum, tetapi keadilan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Tidak boleh ada diskriminasi yang merugikan individu atau kelompok tertentu, meskipun kelompok tersebut minoritas.

Juga, tidak boleh ada diskriminasi yang menguntungkan pihak tertentu, sepenting apa pun pihak tersebut, termasuk keluarga aparat dan pejabat sekalipun. (Az Santoso, 2014: 215).

Mewujudkan keadilan yang bersendikan Pancasila tentu bukan semata-mata dilihat dari sisi keadilan untuk menyejahterakan rakyat secara ekonomi, namun juga keadilan sosial yang diwujudkan dalam sistem penegakan hukum yang bertujuan menjaga ketertiban, keadilan, dan kedamaian dalam masyarakat.

Seorang hakim ketika menjatuhkan putusan misalnya, tidak semata-mata menuruti kalimat dalam undang-undang, tetapi membaca hukum dengan mata hati.

Artinya, ia benar-benar menggali serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, sehingga mampu mewujudkan tujuan hakiki dari negara hukum, yakni keharmonisan, keadilan dan perdamaian.

Hal itu selaras dengan ungkapan begawan hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo (2006: 53) bahwa sejatinya negara hukum itu adalah negara yang membahagiakan rakyat.

Tentunya, dalam konteks membahagiakan rakyat adalah dengan tatanan hukum yang baik, perilaku aparat hukum yang berintegritas, serta pemenuhan-pemenuhan keadilan sosial.

Dalam mewujudkan keadilan bagi semua tersebut, hukum harus dimaknai secara holistik. Norma hukum juga harus menjadi bagian dari norma moral yang melekat dalam sanubari aparat penegak hukum.

Dengan demikian, keadilan dan kebenaran dapat menjadi napas dalam setiap gerak langkah bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal Teory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol. I. Jakarta: Kencana.

AZ Santoso, Lukman. (2014), Buku Pintar Beracara. Yogyakarta: FlashBooks.

Raharjo, Satjipto. (2006). Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Dok.kompal
Dok.kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun