Kebijaksanaan menanggulangi kejahatan baru yang berkembang dalam masyarakat harus terkait dengan dua pemikiran yaitu pandangan masyarakat yang maju meninggalkan sikap keterbelakangan dalam memahami aspek-aspek hukum pidana dan kecenderungan peningkatan kejahatan yang lebih profesional perlu diimbangi dengan peningkatan ilmu dari para petugas hukum yang profesional.
Pemikiran tentang hukum pidana dan kejahatan yang demikian itu, pada masa sekarang dimaksudkan untuk menggerakkan masyarakat lebih maju (social engineering) agar masalah konflik sosial yang disebabkan perilaku kejahatan itu diatasi dalam rangka keterkaitan dengan politik sosial untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat.Â
Penyelenggaraan hukum pidana menjadi bagian yang integral dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. (Poernomo, 1993: 161). Apabila masih terdapat anggapan ditengah masyarakat yang terkurung dalam lingkaran yang sempit.
Bahwa adanya kejahatan yang timbul ditengah masyarakat selalu dipikirkan dengan pemecahan membuat undang-undang baru (yang belum tentu siap pakai). lalu keinginannya berapa banyak tumpukkan perundang-undangan hukum pidana yang dikehendaki oleh masyarakat.Â
Bahkan bisa jadi timbul inflasi undang-undang yang menjurus ke arah kemerosotan wibawa hukum pidana?Â
Penambahan peraturan hukum pidana terus makin bertumpuk untuk menanggulangi kejahatan ternyata hasilnya bisa sebaliknya dan kejahatan tumbuh bergerak terus (crime marches on). Dalam ilmu hukum telah banyak ungkapan kedudukan norma hukum di antara norma-norma sosial lainnya.Â
Pada masa yang lalu para ahli hukum menyusun urutan norma dengan deretan norma agama, norma kesusilaan, norma sopan santun, norma adat kebiasaan dan norma hukum. Urutan tempat norma-norma tersebut didasarkan perbedaan sumber nilai, tujuan dan pembentukannya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. (Poernomo, 1993: 162).
Apeldoorn menyatakan bahwa kaedah-kaedah itu berbeda tetapi ada hubungannya dalam arti kaedah hukum ditempatkan pada deretan terakhir dengan ciri upaya pemaksa (van Apeldoorn, O. Sadino, 1971: 30).
Kaedah hukum dimaksudkan menjadi senjata pamungkas dari kaedah yang lain. Pemikiran yang berkembang justru urutannya tidak lagi demikian itu, melainkan norma hukum berada ditengah sehubungan dengan substansi dan sifat bekerjanya masing-masing norma.Â
Satjipto Rahardjo menempatkan tatanan sosial seperti Radbruch yakni dengan urutan mulai dari kaedah kebiasaan, kaedah hukum, dan kaedah kesusilaan agar lebih sederhana serta terlihat jelas hubungan substansialnya (Satjipto Rahardjo, 1982: 15).
Kaedah kebiasaan berpegang pada tatanan dari alam kenyataan, dan kaedah kesusilaan berpegang pada tatanan ideal yang seharusnya diwujudkan. Sedangkan kaedah hukum berada ditengah merupakan tatanan yang mengandung unsur kenyataan dan unsur ideal.
Penempatan kaedah hukum itu dinyatakan bahwa hasil akhir dari tatanan yang komplek itu tidak bisa hanya memonopoli kaedah hukum. Perilaku anggota masyarakat tidak hanya ditentukan oleh kaedah hukum, melainkan juga oleh kaedah-kaedah yang lain (Chambliss & Saidman, 1971: 12).Â
Perspektif memahami bekerjanya norma hukum yang demikian pada masa sekarang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat yang komplek. Kehidupan bermasyarakat tidak dapat dihandalkan dengan tatanan dari norma hukum tanpa dukungan tatanan sosial lainnya dalam usaha mencapai tujuan kesejahteraan sosial.
Pemikiran tentang penegakan hukum pidana tidak boleh diluapkan dalam lingkup usaha menanggulangi kejahatan secara menyeluruh, oleh karena itu disamping menggunakan hukum pidana diperlukan sarana lain dari tatanan sosial dan kekuatan sosial untuk melindungi masyarakat yang diganggu oleh perilaku kejahatan.
Teori hukum dan kebijakan sosial seperti tersebut di atas dapat pula menjadi dasar pemikiran kemajuan hukum pidana dalam kehidupan masyarakat pada masa sekarang. Latar belakang dan motivasi kehidupan dalam masyarakat perlu diikut sertakan dalam memahami kaitan antara hukum pidana.
Dan perilaku yang nyata-nyata jahat maupun yang potensial bersifat jahat. Kita jangan sampai keliru mengamati hubungan antara fenomena kejahatan dalam rangkaian tertib sosial dengan politik kriminal dan politik sosial. (Poernomo, 1993: 163-164).
Disatu pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dibutuhkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum menuju ke kedamaian karena hukum pidana memang dalam hal-hal tertentu ampuh untuk menanggulangi kejahatan.
Akan tetapi dilain pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dapat merugikan individu maupun masyarakat luas karena mengandung dimensi absolutisme dengan kecenderungan menimbulkan "overcriminalization" dan "crime infection". Â Sehingga hukum pidana tanpa faedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak terarah pada tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, telah beberapa puluh tahun terbukti muncul gerakan "absolusionisme" dan "revisionisme" hukum pidana seperti yang disinyalir oleh tokoh-tokoh ahli hukum pidana, diantaranya Leo Polak, Marc Ancel, Sudarto, Roeslan Saleh dan lain-lainnya. (Poernomo, 1993: 164).
Dengan demikian eksistensi dan pelaksanaan hukum pidana seringkali mengalami ketegangan-ketegangan karena keterkaitannya dengan berbagai faktor yang berpengaruh dan mempengaruhi, bukan semata-mata hubungan antara hukum pidana dan kejahatan.
Penyelenggaraan penegakan hukum pidana itupun tidak cukup hanya asal berkuasa menjadi penegak hukum saja, karena ucapan "saya melaksanakan tugas berdasarkan hukum selaku petugas" secara tidak disadari faktor ikutan "subyektifitas, authoritarian, kekeliruan atau penyalahgunaan hukum" secara diam-diam siap berada di belakang layar.
Inilah yang dinamakan hubungan antara hukum, politik dan negara, seperti teori P. Scholten bahwa hukum selalu menawarkan (tenderen) pada suatu kutub ekstrim jika hukum berada pada kutub "gemeenschap" akan timbul sifat "otoriter" dan teori paternalistik yang mengembang pada alat perlengkapan negara.
Termasuk alat negara penegak hukum yang terjebak pada pola tingkah laku elit yang "paternalisme" (Djokosutono, 1982: 105; Sarbi Sanit cs, 1985: 25). Demikianlah perkembangan ilmu pengetahuan dan hukum pada masa sekarang, agar kita jeli melihat hukum pidana dari faktor pengaruh yang berada disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chambliss, W.Y. & Seidmann. (1971). R.B. : Law, Order and Power. Reading Mass Addison Wesley.
Djokosutono, Prof. Mr. (1982). Ilmu Negara. himpunan oleh Harun Al Rasid. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Poernomo, Bambang. (1993). Pola Dasar Teori - Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.
Rahardjo, Satjipto. (1982). Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Sarbi Sanid dan M.W. Kusumah. (1985). Politik sebagai sumber daya hukum. Bandung: YLBHI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H