KISAH HAKIM BAO DAN PARA PENDEKAR PENEGAK KEADILAN
BAGIAN 8 - EMPAT KSATRIA MENYELAMATKAN SEORANG PELAYAN SETIA DAN MENANGKAP PENDETA JAHAT DI KUIL DEWA BESI
Zhao Hu dengan rakus menghabiskan beberapa cangkir arak. Ketika yang lainnya sedang berbicara, satu kalimat pun ia tidak memperhatikan. Ia mabuk karena kebanyakan minum arak dan kemudian tertidur sambil mendengkur. Sampai akhirnya mereka menyadari hari sudah larut malam. Wang Chao berkata, "Hanya berbincang-bincang saja tak terasa waktu sudah menunjukkan waktu jaga ketiga. Tuan Gongsun juga sudah lelah. Mari kita beristirahat saja." Mereka pun pergi tidur.
Zhao dalam hati memikirkan untuk pergi ke Kaifeng; ia tidur dengan nyenyak, tetapi terbangun dengan mudah. Di luar suara pukulan drum berbunyi tidak lebih dari empat kali menandakan waktu jaga keempat belum berlalu. Mendengar suara burung berdekut, ia langsung  bangun dan berseru, "Sudah pagi! Segera bangun melanjutkan perjalanan!" Ia menyuruh pelayannya untuk menyiapkan kuda dan membawa barang-barang bawaan. Mereka pun terbangun. Gongsun Ce yang tidak bisa tidur karena memikirkan kasus terpaksa ikut mereka bergegas. Wang Chao menyuruh seorang pelayannya untuk tinggal dan memberikan seekor kuda untuk dinaiki oleh Gongsun; pelayan tersebut diperintahkan untuk membawa kotak obat dan papan nama. "Tunggu hari sudah terang, kamu harus pergi ke kantor perfektur Kaifeng. Jangan sampai terlambat," perintahnya. Setelah itu ia menyuruh pelayan penginapan membuka pintu gerbang. Mereka semua pun berangkat menunggangi kuda di bawah cahaya rembulan.
Waktu belum menunjukkan waktu jaga kelima. Setelah beberapa lama berjalan, mereka melewati sebuah hutan; di dalam hutan itu terdapat sebuah kuil. Tiba-tiba di sisi kuil terlihat seseorang yang jika diperhatikan dengan seksama seperti seorang wanita yang berbaju merah. Sesampainya di pintu kuil wanita itu masuk ke dalam. Melihat hal ini, mereka merasa janggal. Zhang Long berkata, "Di tengah malam, seorang wanita masuk ke dalam kuil. Ini pasti bukan sesuatu yang baik. Hari belum pagi, bagaimana kalo kita datang ke kuil itu untuk melihat-lihat?" Ma Han berkata, "Di tengah malam buta kita tanpa alasan mengetuk pintu kuil, bagaimana kita mengatakannya kepada para bhiksu di sana?" Wang Chao berkata, "Tidak masalah, cukup katakan karena tergesa-gesa mengadakan perjalanan, kita sangat kehausan dan ingin meminta secangkir teh, apakah tidak boleh?"
Gongsun berkata, "Jika demikian, kita harus menyuruh para pelayan membawa kuda dan barang-barang bawaan untuk menunggu di dalam hutan. Ini untuk menghindari kecurigaan para bhiksu jika melihat senjata kalian." "Masuk akal," kata keempat ksatria tersebut lalu mereka turun dari kuda mereka dan menyuruh para pelayan menjaganya di tengah hutan. Para pelayan pun mengiyakan. Lalu mereka berlima berjalan kaki menuju pintu gerbang kuil tersebut.
Sesampainya di pintu gerbang kuil, dengan bantuan cahaya rembulan, mereka melihat papan nama yang terletak di atas pintu bertuliskan "Kuil Tao Dewa Besi." Gongsun berkata, "Wanita itu masuk ke kuil, tetapi tidak terdengar ia memalang pintu. Mengapa pintu kuil masih terkunci?" Zhao Hu maju ke depan lalu mengetuk pintu dengan kepalan tangannya sampai tiga kali seraya berteriak, "Yang Mulia Taois, buka pintunya!" Setelah mengetuk pintu sampai tiga kali dan tidak ada jawaban, Zhao ingin mendobrak pintu tersebut. Namun dari dalam terdengar suara, "Siapa yang memanggil di tengah malam buta ini?"
Terdengar suara pintu terbuka dari dalam dan seorang pendeta Taois. Gongsun langsung maju memberi penghormatan dan berkata, "Yang Mulia Taois, maaf mengganggu anda. Kami para pelancong yang terburu-buru dalam perjalanan mengalami kehausan dan bermaksud bermalam di kuil megah anda serta meminta secangkir teh. Kami akan membakar dupa dan berdana sebagai gantinya. Mohon Yang Mulia mengizinkan."
Pendeta Taois itu berkata, "Tunggu sebentar, aku harus memberitahukan kepada kepala kuil, baru kemudian bisa mengizinkan kalian tinggal." Baru saja ia berkata demikian, dari dalam keluarlah seorang pendeta Taois yang beralis tebal dan bermata besar, bahunya lebar dan pinggangnya besar, serta wajahnya tampak menyeramkan. Pendeta itu berkata, "Ada banyak orang ingin minum teh, apakah masalahnya? Mari masuk." Wang Chao langsung merayap masuk. Sesampainya di aula utama, terlihat cahaya pelita terang benderang. Mereka semua satu per satu duduk di sana. Dari napas pendeta Taois yang berwajah seram itu tercium aroma arak sehingga mereka mengetahui bahwa orang ini bukan orang baik.
Zhang Long dan Zhao Hu diam-diam menyelinap keluar untuk mencari wanita tersebut sampai ke belakang, tetapi tidak menemukan jejak apa pun. Sampai di halaman belakang, mereka melihat sebuah lonceng besar, namun juga tidak menemukan apa-apa di sana. Ketika mereka berjalan melewati sisi lonceng besar, terdengar suara rintihan seseorang. Zhao berkata, "Di sini." "Adik, kamu menangkat lonceng ini, aku akan menarik orang itu keluar," kata Zhang. Zhao menyingsingkan lengan bajunya lalu dengan satu tangan menggenggam jepitan besi di bagian atas lonceng tersebut. Dengan sekuat tenaga ia mengangkatnya. Zhang berseru, "Adik begitu bertenaga sehabis makan dan tidur, jangan dilepaskan! Tunggu aku menahan bagian bawahnya."
Zhang masuk dan menahan lonceng itu lalu menarik keluar orang tersebut dari dalamnya. Zhao melepaskan genggamannya lalu menjatuhkan lonceng tersebut ke sisi luar. Setelah dengan seksama diperhatikan, orang itu ternyata bukan wanita, melainkan seorang kakek tua yang diikat seluruh badannya dan mulutnya disumpal dengan kain. Segera mereka melepaskan ikatannya. Orang tua itu memuntahkan sumpalan mulutnya. Setelah menenangkan dirinya, ia berseru, "Aiyo! Hampir mati aku!" Zhang Long bertanya, "Siapakah anda? Bagaimana anda bisa diikat di dalam lonceng oleh mereka?"
Orang tua itu menjawab, "Hamba bernama Tian Zhong berasal dari Chenzhou. Putra Guru Besar Pang bernama Pang Yu, yang bergelar bangsawan An Le (Kedamaian dan Kebahagiaan), diperintahkan oleh kerajaan untuk memberikan bantuan untuk bencana kelaparan, tetapi ketika tiba di sana ia sama sekali tidak memberi bantuan bagi korban kelaparan, melainkan membangun sebuah taman di mana ia menculik dan melecehkan para wanita. Majikan saya bernama Tian Qiyuan dan istrinya bermarga Jin bernama Yuxian. Ketika ibu mertuanya sakit, Nyonya Jin pergi berikrar kepada para dewa memohon kesembuhan di kuil. Ketika ibu mertua sembuh, nyonya pergi ke kuil untuk memenuhi ikrarnya. Tak disangka nyonya terlihat oleh Pang Yu dan dibawa pergi dengan paksa. Ia juga memerintahkan agar tuan saya dipenjara di kantor kabupaten. Nyonya besar yang mendengar anaknya dipenjara meninggal karena ketakutan. Saya baru saja menguburkan jenazah nyonya besar. Saya berpikir karena masalah ini satu keluarga mengalami kemalangan, maka saya harus pergi ke ibukota melaporkan kasus ini. Karena ingin bergegas dalam perjalanan, saya melewatkan waktu untuk bermalam. Setelah waktu jaga keempat saya tiba di kuil ini dan bermaksud untuk beristirahat. Siapa sangka para pendeta Taois melihat barang bawaanku yang berat lalu ingin mencelakai diriku. Ketika mereka akan memukulku, tiba-tiba terdengar ada orang mengetuk pintu. Mereka pun segera mengikatku di bawah lonceng. Benar-benar pengalaman yang hampir membunuhku."
Ketika mereka sedang berbicara, tampak dari sisi lain seorang pendeta Taois mendongakkan kepala. Zhao segera bertindak dengan membuka kakinya menendang dan menjatuhkan si pengintai ke lantai. Ia mengepalkan tangannya di hadapan muka sang pendeta lalu berkata, "Jika kamu berteriak, aku akan memukulmu!" Pendeta Taois itu melihat sebuah palu besar dan tidak berani bersuara sedikit pun. Zhao kemudian mendorong dan menahannya di sisi lonceng.
Ternyata pendeta yang berwajah seram mengetahui temannya mengalami kesulitan. Saat melayani tamu dengan menuangkan teh, ia tidak melihat dua orang, Zhang dan Zhao, lalu menyuruh temannya memeriksanya ke belakang, tetapi temannya belum kembali juga. Ia pun menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Kemudian ia diam-diam keluar dari aula dan masuk ke kamarnya; dengan memakai jubah yang panjang, ia membawa sebilah pedang tajam yang berkilau di tangannya dan pergi menuju halaman belakang. Baru saja masuk pintu belakang, ia melihat orang tua itu telah dibebaskan dan Zhao menangkap temannya.
Dengan marah ia mengangkat pedangnya dan mengarahkannya ke Zhang Long, tetapi Zhang memiliki tangan yang cekatan dan mata yang tajam. Ia memiringkan badan menghindari tusukan itu lalu menggerakkan kakinya. Pendeta itu menghindari serangan itu lalu mengayunkan pedangnya ke hadapan Zhang untuk melukainya. Zhang sama sekali tidak bersenjata; ia sepenuhnya bergantung pada ketangkasan kuda-kuda dan kegesitan tubuhnya. Ia menundukkan kepala menghindari serangan pedang itu. Kemudian ia menepuk pedang itu dengan tangannya. Khawatir ada senjata yang disembunyikan, pendeta jahat itu segera bergerak ke samping. Saat itu Zhang di sebelah bawah menyapukan kakinya. Sesuatu yang berkilauan memutar dari tangan si pendeta, tetapi Zhang dapat menghindarinya. Ternyata di balik tangan pendeta itu tersembunyi sebilah pisau yang tajam. Tidak memiliki senjata sama sekali, Zhang merasa kewalahan. Ia berusaha bertahan beberapa lama, namun tampaknya sulit mengalahkan si pendeta.
Di saat genting, Wang Chao dan Ma Han yang melihat Zhang Long kewalahan menahan serangan pendeta itu datang. Wang langsung menyerang dengan mengangkat kaki kirinya. Ketika pendeta jahat itu menghindarinya, Ma menyerang punggungnya dengan tinjunya; si pendeta membungkukkan badannya ke belakang kemudian berbalik badan dan tangannya melempar sebilah pisau. Untungnya mata Ma tajam, ia menghindar ke samping. Pendeta itu kemudian berbalik menyerang Wang. Ketiga orang itu turun tangan sekaligus dan dengan susah payah bertahan terhadap serangan pisau dari musuh mereka.
Melihat si pendeta jahat menyerang dirinya, Wang segera memundurkan badannya menghindari serangan pisau tersebut saat jaraknya sudah sangat dekat. Melihat serangannya sia-sia, pendeta itu segera menjatuhkan tubuhnya ke samping, tetapi di belakang Zhang menendang ke arah punggung bagian bawahnya. Sang pendeta merasakan di belakangnya ada seseorang tetapi tidak sempat membalikkan badan ketika melihat bayangan musuh. Tubuhnya terjatuh ketika tendangan Zhang mengenai punggungnya. Zhang langsung mendaratkan tendangannya dengan sekuat tenaga ke arah wajah sang pendeta. Tubuh pendeta itu tidak dapat menahannya dan ia terguling-guling di atas lantai.
Zhao Hu yang melihatnya dari samping berseru, "Kakak Ketiga, kamu halangi pendeta Taois itu." Zhang pun berusaha menghalangi pendeta Taois itu. Zhao kemudian pergi ke pintu samping sebelah timur dan Zhang menyangka teman-temannya pasti pergi ke dalam hutan mengambil senjata mereka.
Tak lama kemudian Zhao muncul dari pintu samping sebelah barat. Zhang berpikir, "Ia tak mungkin secepat ini mengambil senjata. Ia pasti pergi ke belakang buang air." Tampak Zhao mencengkeram pendeta jahat itu dan tangan kirinya seakan-akan menggambar suatu bingkai kosong. Ia mengarahkan tangan kanannya pada wajah si pendeta sambil berkata, "Pendeta jahat! Lihatlah mustika ajaibku menangkapmu." Ia melemparkan suatu kabut putih dan mengenai wajah pendeta itu. Seketika mata pendeta itu tidak dapat melihat, mulut dan hidungnya tidak bisa menghirup udara, napasnya terasa sesak. Ma Han menendang perut si pendeta sehingga ia terjatuh. Ia bermaksud melemparkan pisaunya, tetapi Zhao bergerak selangkah lebih cepat dan menggunakan lututnya menekan dada si pendeta. Tangan kirinya menahan lengan si pendeta di belakang punggungnya. Ia menggoyang-goyangkan lengan baju tangan kanannya ke arah wajah si pendeta.
Ternyata sebelumnya Zhao pergi ke aula depan mengambil abu dupa dari dalam tempat pembakaran dupa lalu memasukkannya ke lengan bajunya. Ia berseru dengan keras, "Penjahat, kamu menggosok-gosokkan matamu juga tidak akan bisa mengeluarkan debunya." Apalagi abu satu tempat pembakaran dupa, sang pendeta bagaimana mungkin dapat bertahan. Empat sekawan itu bersama-sama mengikat kedua pendeta jahat tersebut. Mereka kemudian bersiap-siap pergi ke kabupaten Xiang Fu karena ini adalah urusan kabupaten Xiang Fu. Dari kabupaten kedua pendeta jahat itu akan dikawal menuju prefektur. Di sana mereka akan diadili dengan tuntutan perampokan dan upaya pembunuhan.
Ketika mencari di aula utama untuk menemukan sosok wanita sebelumnya, keempat orang itu tidak menemukan siapa pun. Kemudian mereka mencari ke dalam aula samping. Ternyata di aula Bodhisattva terdapat patung Buddha berjubah merah. Akhirnya mereka mengetahui wanita berpakaian merah tak lain adalah perwujudan Bodhisattva untuk membebaskan Tian Zhong dan menghukum para pendeta jahat itu.
Saat itu Gongsun Ce telah memanggil para pelayan dari dalam hutan untuk menangkap kedua pendeta itu. Ia menyuruh empat orang pelayan membawa para penjahat itu ke kantor kabupaten. Dengan segera kantor kabupaten Xiang Fu melaporkannya ke prefektur. Kemudian Gongsun dan keempat ksatria membawa Tian Zhong bersama-sama meninggalkan kuil tersebut dan segera menuju Kaifeng.
Setibanya di Kaifeng, Gongsun memberikan penghormatan kepada Bao lalu melaporkan tentang penyelidikannya yang belum membuahkan hasil dan juga melaporkan kedatangan empat orang, Wang, Ma, Zhang, dan Zhao, dari bukit Tu Long yang ingin mengabdi kepada Bao. Selain itu, ia juga melaporkan bagaimana mereka menyelamatkan Tian Zhong di Kuil Dewa Besi dan menangkap para pendeta Taois yang jahat lalu menyerahkannya ke kantor kabupaten Xiang Fu. Dalam beberapa hari mereka akan dikawal ke kantor prefektur Kaifeng.
Setelah melaporkan semuanya, Gongsun segera berdiri dan berkata kepada Bao, "Saya akan pergi lagi menyelidiki kasus Liu." Ia mengundurkan diri dari hadapan Bao. Kemudian pelayan tiba membawa kotak obat dan papan nama yang dititipkan kepadanya. Gongsun berganti pakaian lalu keluar melalui pintu samping.
Setelah Bao melihat Gongsun pergi, ia menyuruh Bao Xing diam-diam membawa Tian Zhong ke ruang baca dan menanyainya tentang semua ketidakadilan yang dialaminya. Kemudian ia menyuruh para pelayan membawa Tian Zhong tinggal di kediaman para pelayan dan tidak boleh muncul di tempat-tempat umum agar tidak menimbulkan desas-desus yang bisa diketahui oleh keluarga Pang. Ia juga memerintahkan Bao Xing menyuruh keempat ksatria berdiam di penjara untuk menunggu perintah selanjutnya.
Gongsun meninggalkan kantor pemerintah menuju desa Qili dan sepanjang jalan mengadakan penyelidikan. Dalam hati ia berpikir, "Aku Gongsun Ce memang bernasib sial. Setelah berkali-kali gagal dalam ujian negara, aku beruntung bisa bertemu bhiksu Liao Ran yang memberikan surat rekomendasi ke kantor prefektur Kaifeng. Tetapi pada hari pertama di Kaifeng sudah bertemu dengan kasus yang pelik dan tidak tahu bagaimana bisa menyelesaikannya. Pasti keberuntunganku kurang baik sehingga segala sesuatu yang kukerjakan tidak lancar." Semakin ia berpikir, hatinya semakin kacau. Tak disadari ia telah melewati desa Qili. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu dan berkata kepada dirinya sendiri, "Gongsun Ce, kamu begitu bodoh! Kamu dari tadi mengerjakan apa saja? Sudah berjalan sejauh ini, siapakah yang mengetahui jika kamu seorang tabib? Karena orang-orang tidak tahu kamu seorang tabib, bagaimana mungkin kamu dapat menyelidiki masalah ini? Benar-benar bodoh dan konyol!"
Sebelumnya Gongsun terlalu memikirkan satu hal sehingga lupa menggoyangkan lonceng kecil yang ia bawa. Kali ini ia teringat akan lonceng itu lalu segera menggoyangkan lonceng kecil itu sambil berseru, "Siapa pun yang mengalami sakit datanglah segera untuk disembuhkan; jangan banyak menunda. Memelihara penyakit seperti membesarkan macan; macan jika sudah besar bisa melukai orang. Jika terdapat penyakit-penyakit ganas yang sulit disembuhkan, dijamin pasti sembuh. Bagi orang miskin tidak perlu membayar."
Ketika sedang berseru demikian, kebetulan terdapat seorang wanita tua memanggil dari samping, "Ke sini, Tuan, ke sini." Gongsun pergi ke arah wanita itu dan berkata, "Ibu, anda memanggil saya?" "Benar, menantu perempuanku sedang sakit. Mohon Tuan agar bisa menyembuhkannya." "Jika demikian, antarkan saya ke rumah Ibu," kata Gongsun.
Tiba di rumahnya, wanita tua itu membuka pintu rumahnya yang terbuat dari kayu bakar. Mengangkat tirai dengan sebatang semak, ia menyuruh Gongsun masuk. Di dalam rumah itu terdapat tiga kamar dari jerami; satu tampak terang, dua lainnya gelap. Sang wanita tua mengangkat tirai kamar sebelah barat lalu mempersilakan Gongsun duduk di atas tempat tidur dari batu. Ia duduk kemudian meletakkan kotak obat dan papan namanya. Tampak wanita tua itu membawa sebuah kursi berkaki tiga dari dalam dan duduk menemani tamunya.
Wanita tua itu berkata, "Saya bermarga You, suamiku sudah lama meninggal dunia. Saya memiliki seorang anak laki-laki bernama Gou-er yang bekerja di rumah Tuan Tanah Chen Yingjie. Karena menantu perempuanku telah jatuh sakit selama setengah bulan, ia menjadi kurang bersemangat, tidak mau makan dan minum, dan juga mengalami demam tinggi pada malam hari. Silakan Tuan memeriksa denyut nadinya dan meresepkan obatnya."
Gongsun bertanya, "Menantu perempuan anda sekarang di mana?" "Di kamar sebelah timur. Tunggu sebentar, saya akan memanggilnya," kata sang wanita tua lalu ia pergi ke kamar sebelah timur. Terdengar ia berkata, "Menantuku, aku telah mengundang seorang tabib untukmu. Biarkan beliau memeriksa kamu; pasti kamu akan lekas sembuh." "Ibu, tidak perlu memanggil tabib juga tidak apa-apa karena aku tidak mengalami sakit parah. Selain itu, keluarga kita juga miskin, untuk apa menghabiskan uang dengan sia-sia?" kata sang menantu.
"Aiyo, menantuku! Kamu tidak mendengar Tuan itu berkata, 'Bagi orang miskin tidak perlu membayar.' Selain itu beliau juga berkata, 'Memelihara penyakit seperti membesarkan macan.' Anakku yang baik, biarkanlah beliau memeriksa kamu. Jika kamu cepat sembuh, ini juga membuat hati ibu lega. Ibu sangat bergantung padamu, sedangkan anak laki-laki sendiri tidak bisa diharapkan lagi," kata wanita tua itu. Setelah dibujuk demikian, menantu perempuannya berkata, "Ibu, biarlah Tuan itu masuk dan memeriksaku." "Jika saja anakku mendengar perkataanku. Kamu benar-benar seorang menantu yang berbakti," kata sang wanita tua.
Lalu ia menuju kamar sebelah barat dan mengundang Gongsun datang. Gongsun pun masuk ke kamar sebelah timur bersama wanita tua tersebut dan memeriksa denyut nadi sang menantu.
Dalam ilmu pengobatan terdapat empat hal: "mengamati", "mendengar", "bertanya", dan "membedah". Untuk menyembuhkan penyakit, seorang tabib tidak mungkin tidak mengamati pasiennya dan tidak lebih dari satu pengamatan bisa mengetahui apa penyakitnya. Juga ada prinsip: "Orang yang menyembuhkan bersikap ramah; orang yang bersikap ramah meringankan penyakit." Jika terdapat suatu penyakit yang berat, ia meringankannya dengan metode yang lemah lembut. Jika memeriksa denyut nadi orang tua dan hasilnya tidak bagus, ia harus menghibur pasien dengan mengatakan: "Tidak apa-apa. Aku akan meresepkan obat; diminum atau tidak tidak masalah." Lalu mengatakan kepada anggota keluarganya: "Denyut nadi orang tua kalian sangat tidak bagus. Kalian segeralah melakukan persiapan untuk menghadapi kejadian yang tidak diinginkan." Jika anggota keluarga bertanya: "Tuan, mengapa tidak mengatakannya tadi?" Sang tabib menjawab, "Jika aku mengatakan yang sebenarnya, orang yang sudah lanjut usia akan terguncang. Maka aku berbohong untuk membuat kondisinya lebih baik. Apakah ini tidak dibenarkan?" Ini disebut meringankan penyakit yang berat dengan metode yang lemah lembut.
Walaupun Gongsun mengunjungi pasien wanita itu untuk mengadakan penyelidikan diam-diam, sesungguhnya ia memiliki bakat dan pengetahuan tentang semua ilmu pengobatan. Setelah memeriksa denyut nadi, ia langsung mengetahui sebab penyakit pasien dan kemudian menuju kamar sebelah barat. Setelah duduk, ia berkata, "Saya telah memeriksa pembuluh darah menantu anda dan terdapat dua denyut nadi." Ibu You berkata, "Oh, itu tidak salah lagi. Ia sudah empat sampai lima bulan tidak datang...." "Menurut pemeriksaanku, penyakitnya disebabkan oleh kemarahan yang tak tertahankan sehingga menyebabkan depresi. Ini bisa mempengaruhi janinnya; jika tidak segera disembuhkan, takutnya akan menyebabkan keguguran. Saya harus mengetahui sebab penyakitnya baru bisa meresepkan obat yang tepat," kata Gongsun.
Akhirnya wanita tua itu berkata, "Tuan benar-benar seorang dewa. Apa yang dikatakan benar adalah disebabkan kemarahan. Aku akan pelan-pelan bercerita kepada Tuan. Anak laki-lakiku yang bekerja di rumah Tuan Tanah Chen biasanya cukup beruntung mendapatkan beberapa uang perak dari keluarga kaya itu. Suatu hari ia tiba-tiba pulang membawa dua keping uang emas...." Ketika Ibu You sedang bercerita, terdengar dari kamar sebelah timur menantunya berkata, "Masalah ini tidak boleh diceritakan."
Gongsun pun berkata, "Meresepkan obat juga harus mengetahui sebab penyakitnya. Jika mengetahui sebab yang sebenarnya, aku bisa meresepkan obat yang berkhasiat." "Anakku, kamu mendapatkan penyakit ini bukankah karena takut akan sesuatu?" kata sang ibu kepada menantunya. Kemudian ia melanjutkan, "Melihat kepingan uang emas itu, aku menjadi curiga dan bertanya dari mana ia mendapatkannya. Ia menjawab Tuan Tanah Chen berselingkuh dengan istri Zhang Youdao dari desa Qili. Suatu hari Tuan Chen datang ke rumah Zhang dan mereka terlihat oleh sang suami. Oleh sebab itu, Tuan Chen bermaksud mencelakai suaminya dan memberikan anakku dua keping uang emas."
"Ibu tidak perlu menceritakannya. Masalah ini bukan untuk diceritakan kepada orang lain!" terdengar suara menantunya dari dalam kamar sebelah timur. Sang ibu berkata, "Tuan ini juga bukan orang luar. Menjelaskan hal ini bisa bermanfaat untuk pengobatan kamu." "Benar sekali, jika tidak diceritakan, obat yang diberikan tidak akan manjur."
Wanita tua itu melanjutkan, "Tuan Chen memberikan anakku dua keping uang emas dan menyuruhnya mencari sesuatu. Tetapi menantu perempuanku meminta suaminya agar tidak mengerjakannya dan memohon kepadanya sambil berlutut di atas lantai. Siapa sangka anak yang kurang ajar itu bukan hanya tidak mendengarkan, tetapi juga menendang istrinya. Ia dengan kesal membawa pergi kepingan uang emas tersebut dan tidak pulang ke rumah. Setelah itu terdengar kabar Zhang Youdao meninggal dunia. Juga tersiar kabar bahwa setiap malam selama tiga hari berturut-turut dari dalam peti kuburnya terdengar suara seakan-akan jenazahnya ingin memberitahukan sesuatu. Bahkan para bhiksu semuanya juga ketakutan. Karena hal inilah, menantuku menjadi semakin depresi. Sesungguhnya inilah sebab ia jatuh sakit."
Setelah mendengar cerita tersebut, Gongsun mengambil penanya untuk menuliskan resep obat dan memberikannya kepada wanita tua itu. Melihat resep itu, ia berkata, "Tuan, aku melihat resep orang lain memiliki banyak sekali huruf. Mengapa resep Tuan hanya satu baris huruf saja?" Gongsun menjawab, "Penggunaan obat untuk berkomunikasi dengan para dewa. Resep dariku ini adalah resep yang langka dan satu-satunya. Gunakan selembar kertas merah untuk membungkus obat ini lalu panggang di atas batu genting. Abunya dilarutkan dengan arak tua dan diminum. Ini adalah obat untuk menjaga kesehatan janin dan memperlancar peredaran darah." Ibu You berusaha mengingatnya.
"Anak ibu telah berhasil melakukan pekerjaannya, apakah tidak mendapatkan hadiah sebagai ucapan terima kasih dari Tuan Tanah?" tanya Gongsun. Ia menanyakan hal ini karena ia telah memperhitungkan jika kasus ini terungkap, You Gou-er pasti dihukum mati dan kedua orang ibu dan menantunya ini akan kehilangan penyokong mereka. Oleh sebab itu ia memikirkan suatu rencana untuk mereka berdua. Ini juga adalah kecerdasan Gongsun Ce sang sarjana.
"Ia berjanji memberikan anakku tanah seluas enam mu [1 mu = 573 meter persegi]," jawab Ibu You. "Apakah tanah seluas enam mu ini ada suratnya?" "Bagaimana mungkin ada suratnya karena tidak pasti apakah akan diberikan atau tidak." "Bagaimana ini bisa terjadi? Menyuruh orang melakukan hal yang besar tanpa surat perjanjian. Kelak bagaimana kalian bisa mendapatkan sokongan? Baiklah, aku akan menuliskan surat untuk kalian. Ketika berurusan dengan pejabat pemerintah, gunakan surat ini untuk mendapatkan tanah tersebut." Mereka benar-benar telah ditipu oleh sesama penduduk desa tersebut.
Ibu You sangat bergembira dan berkata, "Terima kasih banyak, Tuan! Tetapi kami tidak memiliki kertas, bagamana ini?" "Jangan khawatir, aku memiliki kertas di sini," kata Gongsun sambil mengeluarkan selembar kertas yang lebar dari kotak obatnya. Ia segera menulis surat jaminan dengan memberikan tanda tangannya dan menyerahkannya kepada Ibu You. Gongsun membawa kotak obat dan papan namanya bermaksud untuk pergi.
 "Terima kasih, Tuan! Selain tidak memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih, saya juga tidak bisa menyajikan teh kepada Tuan. Maafkanlah wanita tua ini," kata Ibu You. "Tidak masalah, tidak masalah," balas Gongsun. Ia meninggalkan rumah You dengan penuh semangat dan kegembiraan seakan-akan berhasil lulus ujian negara. Rasa letih, lapar dan haus pun terlupakan; kedua kakinya seakan-akan bisa terbang. Ia pun segera kembali ke Kaifeng. Ini sesungguhnya dengan hati yang gembira mengadakan penyelidikan dan mendapatkan hasil yang tidak terduga.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H