Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ajaran-Ajaran Altruistik dalam Buddhisme Awal

6 September 2015   17:34 Diperbarui: 7 November 2015   16:44 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Buddhisme Awal dan Sejarah Kemunculan Aliran-Aliran Buddhis

Ajaran Buddha telah bertahan selama lebih dari 2500 tahun sejak pertama kali diajarkan oleh seorang pangeran yang kemudian menjadi pertapa dan mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi (Ficus religiosa) bernama Siddhattha Gotama (Sanskrit: Siddhartha Gautama) yang lebih dikenal sebagai Sang Buddha Gotama. Saat ini ajaran yang telah berkembang sebagai salah satu agama terbesar di dunia ini memiliki berbagai tradisi dan aliran yang berbeda-beda. Aliran-aliran utama yang berkembang saat ini adalah Theravada yang berkembang di Srilanka, Myanmar, dan Thailand; Mahayana yang berkembang di Tiongkok, Jepang, dan Korea; Vajrayana atau Tantrayana di Tibet, Nepal, dan Bhutan. Di antara ketiga aliran utama ini, Theravada dianggap paling mendekati ajaran asli Sang Buddha dalam beberapa aspek, walaupun sebenarnya aliran ini juga mengalami berbagai transformasi mengikuti perkembangan zaman.

Para ahli sejarah menyebut ajaran Buddha awal mula yang berkembang sebelum perpecahan aliran sebagai Buddhisme awal atau Buddhisme pra-sektarian. Periode Buddhisme awal dimulai sejak Sang Buddha mengajarkan Dhamma pertama kali kepada lima pertapa yang kemudian menjadi para bhikkhu pertama di Taman Rusa Isipatana di Benares sampai beberapa ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha sebelum terjadinya perpecahan aliran-aliran. Tak lama setelah wafatnya Sang Buddha, para bhikkhu yang berjumlah 500 orang mengadakan pertemuan untuk mengulang kembali ajaran-ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada berbagai kalangan selama 45 tahun pengembaraan Beliau berkeliling mengajar ke seluruh penjuru India. Pertemuan ini dikenal sebagai Konsili Buddhis I dan berhasil mengumpulkan ajaran Buddha yang dikelompokkan dalam Dhamma (ajaran praktis yang tertuang dalam kotbah-kotbah Sang Buddha) dan Vinaya (aturan disiplin monastik bagi para bhikkhu dan bhikkhuni). Walaupun sebelum wafatnya Sang Buddha berpesan agar beberapa aturan monastik yang kurang penting dapat dihapuskan, para bhikkhu dalam Konsili I memutuskan untuk tidak mengubah apa pun dalam Vinaya.

Seratus tahun kemudian terjadi perbedaan pendapat dan penafsiran atas Vinaya sehingga memunculkan 10 poin yang diajukan para bhikkhu dari negeri Vajji (Vajjiputtaka), yang di antaranya memperbolehkan para bhikkhu menggunakan emas dan perak (sama dengan uang sebagai alat tukar pada masa modern ini). Para bhikkhu senior kemudian berkumpul dan memutuskan praktek 10 poin tersebut tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konsili Buddhis II dan perselisihan berhasil didamaikan. Lebih dari seratus tahun kemudian muncul perbedaan pendapat sehubungan dengan Dhamma yang mempertanyakan status pencerahan seorang Arahant (siswa Buddha yang tercerahkan) dalam 5 poin yang diajukan oleh seorang bhikkhu bernama Mahadeva menurut beberapa versi kisah perpecahan awal. Saat itu Sangha (komunitas monastik Buddhis) terpecah menjadi dua kelompok: kelompok para bhikkhu yang berjumlah besar yang menerima 5 poin tersebut (yang disebut Mahasanghika) dan kelompok para bhikkhu senior (thera atau sthavira) yang kalah jumlahnya menolak 5 poin (yang kemudian dikenal sebagai Sthaviravada). Ini merupakan kisah perpecahan pertama berdasarkan catatan dari golongan Sthaviravada.

Menurut catatan golongan Mahasanghika sendiri, para bhikkhu senior berusaha menambah aturan Vinaya yang ditolak para bhikkhu yang berjumlah besar. Kelompok para bhikkhu yang berjumlah besar (Mahasanghika) memisahkan diri dari kelompok para bhikkhu senior (Sthaviravada). Menurut aliran Theravada, untuk membantah 5 poin yang dikemukakan golongan Mahasanghika, para bhikkhu senior mengadakan pertemuan yang dikenal sebagai Konsili Buddhis III pada masa Raja Asoka yang mengumpulkan 6 kitab Abhidhamma Pitaka (kelompok ajaran skolastik berdasarkan pengelompokan skematik yang dikembangkan dari kotbah-kotbah Sang Buddha) dan menghasilkan kitab bantahan ajaran-ajaran menyimpang yang disebut Kathavatthu, tetapi catatan Konsili III ini tidak ditemukan dalam aliran awal yang lain.

Selama beberapa ratus tahun kemudian, perpecahan yang lebih lanjut terjadi di dalam golongan Mahasanghika dan Sthaviravada sendiri karena perbedaan dalam hal ajaran dan menghasilkan 18 aliran Buddhisme awal seluruhnya. Salah satu aliran itu, Vibhajjavada yang berasal dari golongan Sthaviravada, masuk ke Srilanka dan berkembang di sana sampai saat ini menjadi aliran Theravada sekarang. Sementara itu aliran-aliran awal lainnya mengalami kepunahan seiring dengan lenyapnya Buddhisme di India pada abad ke-13 M, tetapi beberapa kitab ajaran mereka berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok dan Tibet dan diwarisi oleh aliran Mahayana dan Vajrayana saat ini. Mahayana sendiri muncul pada sekitar 500 tahun setelah wafatnya Sang Buddha sebagai gerakan yang berusaha mereformasi tujuan ajaran Buddha awal dari pencapaian Kearahantaan yang dianggap individualis menjadi pencapaian Kebuddhaan melalui jalan Bodhisattva sebelum akhirnya menjadi aliran tersendiri, sedangkan Vajrayana adalah tradisi Buddhis yang muncul belakangan (sekitar abad ke-8 M) yang berusaha mencapai tujuan kehidupan spiritual dengan menekankan pada pendekatan ritual (tantra) yang diturunkan secara rahasia (esoterik) dari guru ke murid.

Mahayana dan Hinayana

Ajaran utama Buddhisme awal yang terdapat dalam kumpulan catatan kotbah Sang Buddha yang terdapat dalam 4 kitab Nikaya atau Agama menitikberatkan pada pembebasan pribadi dari penderitaan (dukkha) melalui penembusan Empat Kebenaran Mulia dan praktek Jalan Mulia Berunsur Delapan. Karena sesungguhnya pencapaian spiritual adalah bergantung pada pribadi masing-masing, para pengikut ajaran awal mengutamakan praktek berlatih secara individual. Sang Buddha sendiri pernah berkata: "Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata (Buddha) hanyalah penunjuk jalan" (Dhammapada 276). Namun pada perkembangannya aliran-aliran Buddhisme awal terlalu menekankan pada praktek individualis yang berpusat pada kehidupan monastik sehingga mengabaikan kehidupan sosial di sekitarnya. Hal ini menimbulkan munculnya idealisme baru yang lebih menekankan pada praktek altruistik (mementingkan kesejahteraan orang banyak) dengan meneladani kehidupan Sang Buddha sendiri semasa masih sebagai Bodhisattva (calon Buddha yang belum tercerahkan) yang kemudian dikenal sebagai Mahayana (kendaraan besar).

Seringkali golongan Mahayana menganggap ajaran-ajaran awal sebagai Hinayana (kendaraan kecil) karena penekanan individualis ini. Namun secara historis penyebutan Hinayana baru muncul belakangan dan sangat jarang ditemukan dalam kitab-kitab (sutra) Mahayana awal. Pengikut Mahayana awal juga berasal dari para bhikkhu dari aliran awal yang menganut idealisme Mahayana. Secara etimologis, istilah "maha" yang berarti "besar" dalam bahasa Pali dan Sanskrit memiliki lawan kata "cula" yang berarti "kecil" dan bukan "hina" yang berarti "rendah". Jadi, istilah Hinayana tidak tepat digunakan untuk menunjuk pada ajaran-ajaran Buddhisme awal maupun aliran-aliran awal yang telah ada sebelum kemunculan Mahayana.

Buddhisme awal sendiri memang bertujuan mencapai Kearahantaan, yaitu pencapaian pencerahan sebagai seorang siswa Buddha yang tercerahkan dengan mengikuti ajaran Sang Buddha dalam kitab-kitab Nikaya atau Agama, yang dikenal sebagai Sravakayana (kendaraan para siswa). Ini berbeda dengan pencapaian Kebuddhaan melalui kendaraan Bodhisattva (Bodhisattvayana) yang diajarkan dalam sutra-sutra Mahayana, tetapi belum tentu lebih buruk karena pencapaian spiritual seorang Buddha maupun Arahant adalah sama, yaitu sama-sama telah menembus Empat Kebenaran Mulia.

Sisi Altruististik Buddhisme Awal

Gagasan bahwa Buddhisme awal sepenuhnya berpusat pada pencapaian pribadi diri sendiri juga tidak sepenuhnya benar. Tak lama setelah pencapaian pencerahan Sang Buddha mengumpulkan para bhikkhu pertama yang merupakan para Arahant dan mengutus mereka untuk berkelana mengajarkan Dhamma demi kesejahteraan orang banyak:

"Mengembaralah, O Para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia." (Samyutta Nikaya 4.5)

Jelas bahwa di sini awal mula tujuan pengajaran Sang Buddha adalah demi kepentingan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang banyak.

Dalam Anguttara Nikaya kita menemukan kotbah Sang Buddha tentang 4 jenis individu berdasarkan cara berlatihnya apakah demi ksejahteraan diri sendiri atau orang lain:

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Misalkan, para bhikkhu, sebatang kayu kremasi terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di bagian tengahnya: kayu itu tidak dapat dipergunakan sebagai kayu baik di desa atau pun di hutan. Persis seperti halnya kayu ini, Aku katakan, adalah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Para bhikkhu, seorang di antara mereka yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara kedua orang [pertama] ini. (3) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara ketiga orang [pertama] ini. (4) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

(Anguttara Nikaya 4.95) 

Dengan demikian, seorang praktisi Buddhis yang terbaik adalah seseorang yang berlatih demi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain.

Ciri-ciri keempat jenis individu yang berlatih demi kesejahteraan diri sendiri atau orang lain tersebut dijelaskan sebagai apakah ia berlatih demi melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri dan mendorong orang lain melakukan hal yang sama sebagai berikut:

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, tetapi tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka, tetapi tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, juga tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, dan ia mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(Anguttara Nikaya 4.96)

Atau berdasarkan pemahaman dan penguasannya atas ajaran Buddha dan melatihnya kemudian apakah ia dapat mengajarkan dan mendorong orang lain untuk berlatih berdasarkan hal itu:

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat, mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia dengar, dan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat. Setelah memahami makna dan Dhamma itu, ia berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Akan tetapi, ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia tidak berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan ia tidak mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang tidak cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat, tidak mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia dengar, dan tidak memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat. Karena tidak memahami makna dan Dhamma itu, ia tidak berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Akan tetapi, ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan ia mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat … ia tidak berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Terlebih lagi, ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … dan ia tidak mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat … ia berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Terlebih lagi, ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … dan ia mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(Anguttara Nikaya 4.97)

Berdasarkan bagaimana seorang praktisi Buddhis berlatih moralitas dalam lima aturan latihan (Pancasila) dan mendorong orang lain berlatih hal yang sama juga didapat diketahui apakah ia berlatih demi kesejahteraan diri sendiri atau orang lain:

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang menghindari membunuh tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh. Ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia menghindari hubungan seksual yang salah tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari hubungan seksual yang salah. Ia menghindari berbohong tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari berbohong. Ia menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain. 

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang tidak menghindari membunuh tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak menghindari membunuh dan tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(Anguttara Nikaya 4.99)

Lebih lanjut, bagi seorang bhikkhu terdapat lima kriteria bagaimana ia seharus berlatih demi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain:

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini?

(1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral;

(2) ia sendiri sempurna dalam konsentrasi dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi;

(3) ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan;

(4) ia sendiri sempurna dalam kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan;

(5) ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.

Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain.”

(Anguttara Nikaya 5.20)

Dan bagi umat awam, terdapat 8 kriteria bagaimana ia berlatih demi kesejahteraan diri sendiri atau orang lain:

“Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seorang umat awam berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain?”

(1) “Ketika, Mahānāma, seorang umat awam sempurna dalam keyakinan tetapi tidak mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan; 
(2) ketika ia sendiri sempurna dalam perilaku bermoral tetapi tidak mendorong orang lain agar sempurna dalam perilaku bermoral; 
(3) ketika ia sendiri sempurna dalam kedermawanan tetapi tidak mendorong orang lain agar sempurna dalam kedermawanan;
(4) ketika ia sendiri ingin menemui para bhikkhu tetapi tidak mendorong orang lain untuk menemui para bhikkhu;
(5) ketika ia sendiri ingin mendengarkan Dhamma sejati tetapi tidak mendorong orang lain untuk mendengar Dhamma sejati;
(6) ketika ia sendiri mengingat ajaran yang telah ia dengar tetapi tidak mendorong orang lain untuk mengingat ajaran;
(7) ketika ia sendiri memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat tetapi tidak mendorong orang lain untuk memeriksa makna-maknanya;
(8) ketika ia sendiri telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma, tetapi tidak mendorong orang lain agar melakukan hal serupa.

Dengan cara inilah, Mahānāma, umat awam itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain.”

“Dengan cara bagaimanakah, Bhante, seorang umat awam berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain?”

(1) “Ketika, Mahānāma, seorang umat awam sempurna dalam keyakinan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam keyakinan;
(2) ketika ia sendiri sempurna dalam perilaku bermoral dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam perilaku bermoral;
(3) ketika ia sendiri sempurna dalam kedermawanan dan juga mendorong orang lain agar sempurna dalam kedermawanan;
(4) ketika ia sendiri ingin menemui para bhikkhu dan juga mendorong orang lain untuk menemui para bhikkhu;
(5) ketika ia sendiri ingin mendengarkan Dhamma sejati dan juga mendorong orang lain untuk mendengar Dhamma sejati;
(6) ketika ia sendiri mengingat ajaran yang telah ia dengar dan juga mendorong orang lain untuk mengingat ajaran;
(7) ketika ia sendiri memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat dan juga mendorong orang lain untuk memeriksa makna-maknanya;
(8) ketika ia sendiri telah memahami makna dan Dhamma dan berlatih sesuai Dhamma dan juga mendorong orang lain agar melakukan hal serupa.

Dengan cara inilah, Mahānāma, umat awam itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain.”

(Anguttara Nikaya 8.25)

Tidak hanya bagi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain, seorang praktisi Buddhis juga diharapkan agar dapat berlatih demi kesejahteraan seluruh dunia:

“Di sini, bhikkhu, seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi tidak menghendaki kesusahannya sendiri, atau kesusahan orang lain, atau kesusahan keduanya. Melainkan, ketika ia berpikir, ia hanya memikirkan kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan orang lain, kesejahteraan keduanya, dan kesejahteraan seluruh dunia. Dengan cara inilah seseorang itu adalah seorang bijaksana dengan kebijaksanaan tinggi.” (Anguttara Nikaya 4.186)

Oleh sebab itu, Sang Buddha memuji orang-orang yang setelah memahami ajaran-Nya berlatih demi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain:

“Dua orang yang telah memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma: satu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain; yang lainnya berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain. Orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain dalam hal ini adalah tercela; orang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain dalam hal ini adalah terpuji. (Anguttara Nikaya 7.68)

Meditasi dan Pengembangan Cinta Kasih sebagai Praktek Altruistik Buddhis

Sebagai penutup, ajaran Buddha memiliki tujuan utama membebaskan diri dari kelahiran dan kematian yang berulang-ulang (samsara). Tujuan ini tampak seperti mementingkan diri sendiri karena pada hakekatnya pembebasan (Nibbana) adalah bergantung pada diri sendiri dan tidak dapat diperoleh dari orang lain. Demikian pula, jalan langsung menuju pembebasan tersebut, yang dilakukan melalui praktek meditasi empat landasan perhatian (satipatthana), juga dianggap praktek yang individualis dan egois.

Namun sesungguhnya dengan menjalankan meditasi, seseorang melindungi orang lain dengan melindungi diri sendiri dan juga sebaliknya. Secara khusus, melindungi diri sendiri dengan praktek meditasi yang terus-menerus juga berarti melindungi orang lain dan masyarakat, sedangkan melindungi orang lain dengan mengembangkan kesabaran, tanpa kekerasan, cinta kasih dan belas kasih juga berarti melindungi diri sendiri. Hal ini dinyatakan Sang Buddha sendiri sebagai berikut:

Dengan melindungi diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain? Dengan mengejar, mengembangkan, dan melatih meditasi [empat landasan perhatian]. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi diri sendiri, ia melindungi orang lain.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, tidak mencelakai, cinta kasih, dan simpati. Dengan cara demikianlah bahwa dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri.

(Samyutta Nikaya 47.19)

Dengan demikian, sisi pengembangan diri secara spiritual untuk membebaskan diri dari samsara melalui praktek meditasi adalah perlindungan diri, yang tidak terlepas dari perlindungan orang lain dengan mengembangkan cinta kasih terhadap semua makhluk. Adalah tidak mungkin dalam menjalankan dan berlatih ajaran Buddha seseorang hanya mementingkan diri sendiri (egois) ataupun pada sisi lain hanya memperhatikan kepentingan orang lain semata. Namun keduanya yang masing-masing adalah perwujudan kebijaksanaan dan cinta kasih, dua sayap pencerahan Sang Buddha yang saling melengkapi satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun