Mohon tunggu...
Ferry Yang
Ferry Yang Mohon Tunggu... -

CEO and Founder of Yang Academy, PhD in Education

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenai Polemik UNBK

18 April 2018   08:54 Diperbarui: 18 April 2018   14:39 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun ini menuai kritikan dari para siswa. Kritikan tersebut disampaikan dan disebarluaskan di media sosial. Akhirnya kritikan tersebut sampai juga kepada pemerintah. Bapak Menteri Pendidikan menanggapi kritikan tersebut dengan lapang dada. Dan dalam salah satu tanggapan yang dimuat di kompas, beliau mengatakan:

"Saya minta maaf kalau ada beberapa kalangan yang merasa mengalami kesulitan, yang sulit, yang tidak bisa ditoleransi."

"Dengan ini dan saya janji bahwa akan kami benahi, tetapi mohon maklum bahwa ujian nasional dari waktu-waktu harus semakin sulit untuk mengejar ketertinggalan kita."[1] 

Yoga Sukmana, penulis artikel "Permintaan Maaf Mendikbud..." mencatat:

Muhadjir mengakui, pemerintah memang menaikkan tingkat kesulitan soal UNBK tahun ini. Menurut dia, soal UNBK 2018 sudah menerapkan High Order Thinking Skills (HOTS).

Mendikbud mengatakan, HOTS diterapkan untuk mendorong siswa memiliki kemampuan berpikir kritis. Hal itu dianggap enting (sic, seharusnya "penting") untuk pembentukan karakter siswa.[2] 

Respons Bapak Menteri Pendidikan ini ternyata menimbulkan kasak kusuk di beberapa kalangan orang tua, pendidik, serta siswa. Jika kita melihat komentar di bawah artikel tersebut di Kompas, maka kita akan mendapati banyak respons kebingungan dan protes atas apa yang disampaikan. Saya tidak tahu bagaimana konteks keseluruhan tanggapan Bapak Menteri Pendidikan. Mungkin Bapak Muhadjir Effendy bisa memberikan penjelasan yang lebih baik. Tetapi saya kira ada beberapa hal yang dapat kita telaah tentang tanggapan yang dimuat di artikel singkat di Kompas sesuai dengan batasan yang ada.

Permintaan maaf Bapak Menteri Pendidikan adalah langkah yang baik dalam menjawab keresahan kalangan pendidikan dan orang tua. Janji untuk membenahi UNBK juga adalah suatu jawaban yang sangat baik di dalam menjawab protes yang diluncurkan. Tetapi pernyataan Bapak Menteri Pendidikan berikutnya bahwa UNBK akan dibuat semakin sulit dengan tujuan mengejar ketertinggalan inilah yang akhirnya berpotensi menimbulkan polemik lain.

Jika memang kalimatnya berhenti disana sesuai dengan yang dilaporkan di Kompas, maka tidaklah heran jika muncul pertanyaan: "Apa yang dimaksudkan dengan ketertinggalan?" atau "Tertinggal dari siapa?" atau "Standar yang dipakai apa?" atau "Apakah benar kita tertinggal?" atau "Dalam hal apakah kita tertinggal?"

Pertanyaan kedua yang mengikuti adalah: "Jika memang tertinggal, bagaimana meningkatkan kesulitan UNBK akan dapat mengejar ketertinggalan?" atau "Adakah bukti bahwa dengan meningkatkan kesulitan UNBK ketertinggalan dapat dikejar?" atau "Apa yang dimaksudkan dengan meningkatkan 'kesulitan' UNBK?" atau "Jika yang sekarang saja sudah sulit dan dirasa tidak masuk akal, peningkatan kesulitan beikutnya akan seperti bagaimana?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang perlu sekali diberikan jawaban yang memuaskan sebab beberapa kalangan pendidikan terlihat tidak bisa memahami maksud peningkatan kesulitan UNBK dengan maksud mengejar ketertinggalan.

Catatan reporter Yoga Sukmana yang memparafrasekan pernyataan Bapak Muhadjir tentang penggunaan "HOTS (High Order Thinking Skills)" di UNBK 2018 dengan maksud menguji kemampuan siswa berpikir kritis juga menimbulkan reaksi kebingungan di beberapa kalangan pendidikan. Apalagi karena penggunaan HOTS ini akhirnya menjadikan UNBK 2018 sesulit seperti yang baru saja dialami oleh para siswa.

Pertanyaan yang sangat mungkin sekali muncul dari pernyataan penggunaan HOTS di UNBK 2018 adalah: "Bagaimanakah HOTS diterapkan di UNBK 2018?" atau "Apakah yang dimengerti pembuat soal UNBK 2018 mengenai HOTS?" atau "Apakah HOTS yang dimaksud di soal-soal UNBK 2018 ini sungguh-sungguh menguji pikiran kritis peserta didik?" Ada juga satu pertanyaan tajam yang muncul di komentar yang mengikuti artikel "Permintaan Maaf Mendikbud..." yang kira-kira sedemikian: "Apakah adil menguji kemampuan berpikir kritis siswa di UNBK sedangkan sehari-harinya para siswa tidak pernah diajarkan bagaimana berpikir kritis?"

Polemik ini adalah polemik yang sangat serius menurut hemat saya. Jika memang UNBK adalah keharusan dan secara praktis menjadi salah satu sumber ketakutan yang besar bagi pendidik, orang tua, dan peserta didik, maka tidaklah berlebihan jika pertanyaan-pertanyaan seperti di atas memerlukan jawaban yang sangat serius pula. Saya yakin tim Kementerian Pendidikan akan dapat menjawab dan mengklarifikasi dengan bijaksana.

Satu hal yang saya hendak bahas di artikel singkat ini adalah perihal HOTS itu sendiri. Jika kita belajar teori tingkatan belajar (taxonomy of learning) dari Benjamin Bloom maka kita akan menemukan bahwa ada 6 tingkatan. Dan di dalam taxonomy of learning dari Bloom yang sudah direvisi kita menemukan urutan tingkatan dari yang paling rendah sedemikian: 1) menghafal (memorizing), 2) mengerti (understanding), 3) menerapkan (applying), 4) menganalisa (analyzing), 5) mengevaluasi (evaluating), dan 6) mencipta (creating).

Yang dimaksudkan dalam teori Bloom sebagai higher order of thinking atau dikenal di Indonesia sekarang sebagai HOTS adalah urutan 4-6 yaitu menganalisa, mengevaluasi, dan mencipta. Jika kita terapkan di soal-soal UNBK 2018 yang dikatakan menggunakan HOTS, maka perlu dicermati apakah sungguh-sungguh siswa diuji dalam kemampuan analisa, evaluasi, dan mencipta mereka. Jika belum atau tidak ada, maka boleh dikatakan bahwa UNBK 2018 belum menggunakan HOTS.

HOTS secara praktis dipahami sebagai kemampuan berpikir di dalam menyelesaikan masalah (problem solving). Tingkat masalah bisa berbeda-beda. Tetapi secara umum, semakin riil masalah yang dihadapi semakin tergerak seseorang untuk memecahkan masalah tersebut.

Maksudnya, jika masalah yang ada adalah masalah yang fiktif atau tidak riil, maka motivasi orang untuk memecahkan masalah itu berada pada posisi yang rendah. Atau juga, secara umum, jika bagi orang tersebut masalah yang ada adalah jenis masalah yang menggelitik rasa keingintahuan dia (curiosity) maka dia akan memiliki motivasi yang tinggi pula.

Oleh karena itu jika HOTS hendak digunakan maka sangat disarankan penyelarasannya dengan minat seseorang. Disinilah penggunaan HOTS yang paling baik adalah di dalam jenis pembelajaran yang memiliki makna secara personal (personalized learning). UNBK adalah model pengujian secara massal dimana semua peserta dituntut memiliki kemampuan dengan standar yang sama. Sebetulnya adalah sangat sulit menerapkan HOTS yang sungguh-sungguh di dalam model pengujian massal.

Jauh lebih pas penerapan HOTS itu pada model pembelajaran yang dikenal sebagai PBL yaitu: 1) Pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) dan 2) Pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning). Dengan PBL personalized learning bisa terjadi secara otentik dan dengan demikian HOTS dapat digunakan dengan tepat.

PBL tentunya tidak bisa diterapkan dengan model pengujian massal seperti yang dilakukan di UNBK saat ini. Apalagi dengan elemen minat yang perlu diperhitungkan dengan sangat serius. Jika memang berpikir kritis adalah tujuannya, penggunaan HOTS adalah tepat guna. Tetapi jika berpikir kritis adalah tujuannya, maka pengujian massal adalah kendaraan yang kurang tepat. HOTS dan pengujian massal hampir tidak mungkin direkonsiliasikan.

Setiap orang berpikir dengan cara yang unik. Kemampuan seseorang menganalisa, mengevaluasi, dan mencipta juga unik tiap-tiap pribadi. Bagaimanakah mungkin HOTS ini (menganalisa, mengevaluasi, mencipta) diharuskan memiliki jawaban yang sama seturut dengan ujian massal? Ada 10 juta peserta UNBK maka jawaban soal bisa ada 10 juta macam.

Secara logistik memeriksa 10 juta jawaban berbeda di dalam satu ujian massal sangatlah tidak masuk akal. Standar jawaban apakah yang hendak dipakai? Selama ini yang paling praktis adalah standar jawaban yang berfokus kepada hasil akhir. Jika hasil akhir jawaban berbeda dari kunci jawaban yang disediakan maka jawaban dianggap salah.

Karena berfokus kepada hasil akhir, maka proses tidaklah penting. Padahal seharusnya proses jauh lebih bermakna di dalam pendidikan yang mengetengahkan HOTS dibandingkan dengan hasil akhir. Proses di dalam HOTS tentunya memerlukan waktu yang cukup panjang. Untuk menyelesaikan suatu proyek atau memecahkan satu masalah tidaklah bisa hanya diberikan waktu beberapa menit. Proses yang panjang itu yang justru melatih seseorang di dalam HOTS.

Pengujian massal secara konsekuensi memiliki keterbatasan alamiah yaitu berhenti pada LOTS (Lower Order Thinking Skills atau Lower Order of Thinking). Secara khusus titik penekanan ada pada level pertama yang adalah menghafal. Jika seseorang sudah hafal akan rumus yang perlu dipakai pada soal jenis tertentu, maka dia dapat menggunakan rumus yang sudah dihafalnya itu pada soal yang diberikan.

Untuk ilmu-ilmu sosial juga sama. Jika seseorang sudah hafal jawabannya pada soal-soal jenis tertentu, maka dia hanya perlu menjawab sesuai dengan apa yang dihafalkannya untuk soal tersebut. Pengujian massal terbatas pula dalam soal waktu. Sejauh ini tidak ada pengujian massal yang dijalankan dalam satu semester hanya untuk menyelesaikan satu soal. Satu soal biasanya harus diselesaikan hanya dalam 2-3 menit, khususnya bila menggunakan pilihan berganda. Lebih dari batas waktu tersebut, maka peserta bisa-bisa tidak dapat menyelesaikan ujian.

Betul sekali bahwa jika HOTS yang hendak dilatihkan kepada siswa, maka tantangan akademik haruslah lebih sulit dari sekedar menghafal. Tetapi media pengujiannya kuranglah tepat jika menggunakan ujian massal. Ujian massal seperti UNBK ini justru membelenggu pembelajaran di dalam model pembelajaran pada level LOTS dan secara khusus penekanan pada level 1, menghafal. Model UNBK seperti yang selama ini dipakai perlu dikaji ulang jika memang hendak mendidik orang-orang mencapai HOTS (menganalisa, mengevaluasi, mencipta).

Siswa perlu diberi waktu yang cukup untuk memproses pembelajaran sampai kepada mengasah kemampuan mencipta pada akhirnya. UNBK tidak menguji kemampuan siswa mencipta. Ini karena ujian massal seperti UNBK ini memang pada dirinya sendiri terbatas. Bahkan UNBK tidak bisa menguji kemampuan analisa dan evaluasi siswa sesuai dengan apa yang seharusnya. Belum lagi jika kita membicarakan kemungkinan terjadinya kecurangan selama pelaksanaan UNBK, yang mana sampai sekarang tidak dapat dipungkiri masih terus terjadi.

Akhir kata, yang lebih penting dari pembenahan soal-soal UNBK adalah pembenahan kurikulum nasional secara keseluruhan. Perlu konsistensi dan perangkat yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang baik. Tidak ada jalan pintas dalam hal ini. HOTS memang perlu dicapai, tetapi menurut hemat saya bukan dengan model ujian massal yang dipakai di UNBK. Penyelenggara pendidikan perlu diberikan pelatihan yang cukup. Guru-guru juga perlu dikonsolidasi dengan ilmu pendidikan yang lebih dalam, selain juga perlu disaring lebih ketat demi mendapatkan guru-guru yang sungguh-sungguh kompeten sebagai guru. Semoga sumbang saran ini dapat menambah pengetahuan dan membantu di dalam mentransformasi pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Ferry Yang, PhD

Yang Academy

[1] Artikel ini telah tayang diKompas.com dengan judul "Permintaan Maaf Mendikbud Setelah Para Siswa SMA Keluhkan Sulitnya Soal UNBK...", 

[2] Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun