Saya pernah kenal seorang kepala dinas di Pemprov DKI dulu. Saya suka sekali melihat foto-foto yang di-posting beliau yaitu progres pembangunan jembatan, jalan layang busway, bahkan proses pembangunan tiang pancang LRT. Saat itu saya memohon kepada beliau agar meminimalisir penggunaan cat pada bangunan-bangunan tersebut.Â
Alasan saya sedernaha, pertama karena material cat itu sesungguhnya mudah kotor dan pudar karena polusi. Akhirnya warnanya makin kotor dan sangat jelek sekali. Lebih celakanya lagi adalah saat melakukan revitalisasinya, cat tersebut bukannya dibersihkan tapi di cat ulang lagi (ditimpa) di atas cat pertama yang sudah kotor tadi.Â
Lalu alasan kedua, seringkali pemilihan warnanya ngasal dan sembarangan. Okelah ada warna hijau dan kuning yang katanya warna khas betawi, tapi ada jembatan di Menteng yang diwarna serampangan dengan warna-warna marong (kontras dalam bahasa Betawi). Bayangkan, sebuah ibukota bisa cemong dengan warna-warni yang pemilihan warnanya pun tidak dilakukan dengan mengkonsultasikan pada pihak-pihak yang kompeten.
Kini.. rasanya saya tak berdaya, menatap kota ini - Jakarta, yang sekarang sedang merayakan sebuah perhelatan besar yaitu membombardir ibukota secara kolosal dan masif dengan bergalon-galon cat akrilik warna-warni di semua tempat dan bebas sebebas-bebasnya. Saya sudah tidak dapat membedakan mana itu estetika? artistik? kotor? cemong? atau berantakan?
Bagi saya, sebuah kota akan terasa hangat dan hidup jika memiliki banyak seniman. Terlebih, sebuah kota akan terasa artistik dan estetik jika dalam pembangunannya melibatkan seniman, desainer, atau arsitek. Bukan sekedar mandor, pemborong, dan developer saja.
**Tulisan diambil dari blog pribadi saya - Motulz.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H