Kampung warna-warni
Kehadiran cat tembok dengan ragam warna menghasilkan tren mural yang makin menjamur. Berawal dari hanya sekedar menghias gapura 17-an, dinding kosong di kawasan perumahan, hingga kemudian mulai beralih ke komersil ketika dimanfaatkan oleh produsen provider selular untuk mengecat dinding rumah dengan warna brand mereka sebagai "papan reklame" iklan provider selular.Â
Bayangkan di masa itu hampir setiap rumah di sepanjang jalan Pantura di cat warna-warni oleh perusahaan provider selular. Termasuk tiang-tiang beton jalan layang seperti di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya. Pengecatan ini berbayar, alias ada ongkos dan upahnya. Sejak itu bermunculanlah "pengrajin" mural atau tukang cat dinding untuk promosi berbayar.
Perusahaan cat tentu ikut ketiban rejeki, jika dulu penjualan cat hanya meningkat saat menjelang Lebaran, kini sepanjang tahun ada saja proyek mengecat dinding, jembatan, tembok lapangan, hingga trotoar. Yang lebih gilanya lagi, Â pengecatan ini mulai masuk ke perumahan dan perkampungan padat, dengan tujuan kampung yang tadinya kumuh jadi terlihat cantik dan artistik dengan pengecatan warna-warni.Â
Kondisi ini jelas unik dan menarik publik karena awalnya tindakan coret warna-warni ini tidak umum dilakukan dalam skala pemukiman. Lantas masuk media sosial, dilipun media massa, dan munculah kampung tersebut sebagai destinasi wisata untuk foto-foto. Pemerintah daerah terkejut dan mendadak terkenal, karena liputan media berduyun-duyun datang ke kampung yang sebetulnya kumuh tapi warna-warni.Â
Mural pemerintah daerah
Mural dengan cat tembok sudah jadi bedak atau gincu di banyak kawasan/daerah/bangunan/dinding/dan seterusnya yang kumuh. Penggunaan catnya juga asal, asal cat tembok, akrilik murah, atau bahkan cat tembok putih yang dicampur dengan bahan pigmen atau bibit warna. Kena hujan sebentar atau dindingnya lembab, maka cat tadi akan belang-belang.
Ada banyak pemerintah daerah atau kota yang latah dengan tren mural ini. Alasannya sama, yaitu mempercantik dan jadi daya tarik wisatawan, umumnya jadi tempat selfie. Bukan hanya dinding rumah tapi tempat umum dan sarana publik pun jadi korbannya. Terlebih jika proyek ini harus menggunakan anggaran daerah?Â
Lalu tidak melibatkan pihak atau orang-orang yang kompeten seperti seniman, desainer, atau arsitek? Akan kemana sebetulnya arah proyek ini? Bisa-bisa cuma dijadikan proyek tahunan saja demi ada dana yang bisa keluar, lalu warga cukup gembira, pendatang bisa foto-foto, dan media dapat berita? Manfaat nyata untuk warga sendiri apa ya kira-kira? Merasa terhibur karena warna-warni? menghilangkan stress atau malah bikin stress?
Kini, fenomena latah mural ini mulai memasuki babak perhelatan internasional yaitu Asian Games 2018 di ibu kota negara kita. Tidak sedikit tembok, tiang jalan, pembatas jalan, trotoar, bantaran kali dan lainnya, berubah menjadi kertas gambar yang seolah sah dan boleh untuk diberi warna dan gambar apa saja. Partisipasi warga menjadi kata kuncinya, tanpa perlu ada yang bisa bertanya apa konsep idenya? bertanya apa alasannya? atau bahkan untuk mempertanyakan "apakah memang harus mural ya?"