Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Latah Mural

29 Juli 2018   11:49 Diperbarui: 29 Juli 2018   17:10 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Graffii - Foto milik @motulz

Jangan-jangan saya sendirian satu-satunya orang yang sangat tidak suka dan tidak setuju dengan ide mengecat perkampungan atau pemukiman padat? Terlebih dilakukan TANPA melibatkan orang atau pihak yang kompeten dibidang seni visual, misalnya seniman, desainer, atau arsitek mungkin? Jadi semacam membiarkan warga bebas bermain cat, mewarna, dan menggambar apa pun yang mereka suka.

Mural atau gambar di dinding sebetulnya sudah ada sejak manusia purbakala. Ada banyak ditemukan gambar atau coretan karya manusia purba di dalam goa-goa yang ada di Indonesia. Bahkan gambar dinding tertua di muka bumi ini pun salah satunya ada di Indonesia. 

Penemuan gambar dinding tersebut konon dijadikan penanda sebagai titik awal manusia menggunakan otak kreatifnya. Di abad pertengahan gambar dinding merupakan simbol kemewahan, dinding gereja-gereja dan istana digambar oleh ahli-ahli seni rupa Eropa. Seniman yang kebagian proyek menggambar dinding (mural) ini pun menjadi seniman seleb pada masa itu.

Kilas balik mural

Di zaman moderen, mural atau gambar dinding pindah keluar ruangan. Penggambarnya orang biasa, warga, atau rakyat yang ingin menyampaikan uneg-uneg, kritik, atau kemarahannya atas pemerintah sebagai pengelola kota. Gambar dinding ini dilakukan secara liar, diam-diam, bahkan ilegal yang dikenal dengan sebutan graffiti.

Coret-coretan graffiti ini awalnya hanya berbentuk tulisan dan simbol, seperti yang kita pernah tahu ada di buku-buku sejarah Indonesia graffiti bertulisan "Merdeka Ataoe Mati" atau "Ajo Bung!". Gaya tulisannya ngasal, seenaknya, dan sembarangan, jauh dari kaidah-kaidah estetika. Karena memang bentuk graffiti tersebut hanyalah penyampaian pesan saja, bukan medium estetika. 

Seiring perkembangan graffiti mulai menjadi bentuk seni tersendiri. Seni perlawanan, pemberontakan, dan menentang kemapaman pemerintah. Tidak heran bentuk seni graffiti jalanan ini terkenal sekali sejak jaman Keith Haring hingga Banksy.

Tahun 1990-an, tren grafitti makin marak di kalangan anak muda kota. Salah satunya karena tren Tari Kejang atau Breakdance. Sebuah tarian kaum papa yang berupaya eksis di tengah masyarakat menengah Amerika. 

Ciri dari aktivitas Tari Kejang ini adalah dilakukan di gang-gang sempit, kumuh, gelaran kardus sebagai alas menari, tape compo, dan dinding yang penuh dengan coretan graffiti dengan cat semprot (Pylox). Sejak itu, kegiatan coret-coret dinding adalah tindakan perlawanan yang bisa terkena hukuman. Karena dinding bersih sebuah kota adalah simbol keteraturan, kemapanan, dan sebuah keniscayaan sebagai kota yang berbudaya.

Memasuki awal tahun 2000-an, kemajuan produk cat berkembang pesat. Teknologi pecampuran pigmen warna dengan komputer pada cat tembok dapat menghasilkan warna-warna yang sangat beragam. 

Sejak itulah penawaran warna cat tembok di pasaran memiliki sangat banyak pilihan. Yang mana ternyata kehadiran cat tembok dengan pilihan warna ini menjadi sebuah daya tarik bagi seniman mural. Mengapa? karean cat tembok menggunakan bahan campuran air, bukan minyak, thinner, atau alkohol. Cenderung mudah dibersihkan, mudah dicampurkan, dan yang terpenting adalah murah harganya dibanding jenis cat lainnya.

Kampung warna-warni

Kehadiran cat tembok dengan ragam warna menghasilkan tren mural yang makin menjamur. Berawal dari hanya sekedar menghias gapura 17-an, dinding kosong di kawasan perumahan, hingga kemudian mulai beralih ke komersil ketika dimanfaatkan oleh produsen provider selular untuk mengecat dinding rumah dengan warna brand mereka sebagai "papan reklame" iklan provider selular. 

Bayangkan di masa itu hampir setiap rumah di sepanjang jalan Pantura di cat warna-warni oleh perusahaan provider selular. Termasuk tiang-tiang beton jalan layang seperti di Yogyakarta dan beberapa kota lainnya. Pengecatan ini berbayar, alias ada ongkos dan upahnya. Sejak itu bermunculanlah "pengrajin" mural atau tukang cat dinding untuk promosi berbayar.

Perusahaan cat tentu ikut ketiban rejeki, jika dulu penjualan cat hanya meningkat saat menjelang Lebaran, kini sepanjang tahun ada saja proyek mengecat dinding, jembatan, tembok lapangan, hingga trotoar. Yang lebih gilanya lagi,  pengecatan ini mulai masuk ke perumahan dan perkampungan padat, dengan tujuan kampung yang tadinya kumuh jadi terlihat cantik dan artistik dengan pengecatan warna-warni. 

Kondisi ini jelas unik dan menarik publik karena awalnya tindakan coret warna-warni ini tidak umum dilakukan dalam skala pemukiman. Lantas masuk media sosial, dilipun media massa, dan munculah kampung tersebut sebagai destinasi wisata untuk foto-foto. Pemerintah daerah terkejut dan mendadak terkenal, karena liputan media berduyun-duyun datang ke kampung yang sebetulnya kumuh tapi warna-warni. 

Kali Code Yogyakarta - Foto milik @motulz
Kali Code Yogyakarta - Foto milik @motulz
Sejak itulah pemerintah daerah mulai "berbaikan" dengan seni jalanan graffiti yang dulu dianggap pemberontak, liar, dan ilegal. Jika dulu graffiti dilakukan oleh seniman jalanan (street artist), kini untuk mengecat kampung cukup membagi-bagikan cat ke warga dan membebaskan mereka ingin mengambar atau memberi warna apa. Tidak ada persiapan perancangan, terlebih di beberapa daerah tidak melibatkan pihak-pihak yang kompeten dalam seni visual.

Mural pemerintah daerah

Mural dengan cat tembok sudah jadi bedak atau gincu di banyak kawasan/daerah/bangunan/dinding/dan seterusnya yang kumuh. Penggunaan catnya juga asal, asal cat tembok, akrilik murah, atau bahkan cat tembok putih yang dicampur dengan bahan pigmen atau bibit warna. Kena hujan sebentar atau dindingnya lembab, maka cat tadi akan belang-belang.

Ada banyak pemerintah daerah atau kota yang latah dengan tren mural ini. Alasannya sama, yaitu mempercantik dan jadi daya tarik wisatawan, umumnya jadi tempat selfie. Bukan hanya dinding rumah tapi tempat umum dan sarana publik pun jadi korbannya. Terlebih jika proyek ini harus menggunakan anggaran daerah? 

Lalu tidak melibatkan pihak atau orang-orang yang kompeten seperti seniman, desainer, atau arsitek? Akan kemana sebetulnya arah proyek ini? Bisa-bisa cuma dijadikan proyek tahunan saja demi ada dana yang bisa keluar, lalu warga cukup gembira, pendatang bisa foto-foto, dan media dapat berita? Manfaat nyata untuk warga sendiri apa ya kira-kira? Merasa terhibur karena warna-warni? menghilangkan stress atau malah bikin stress?

Kini, fenomena latah mural ini mulai memasuki babak perhelatan internasional yaitu Asian Games 2018 di ibu kota negara kita. Tidak sedikit tembok, tiang jalan, pembatas jalan, trotoar, bantaran kali dan lainnya, berubah menjadi kertas gambar yang seolah sah dan boleh untuk diberi warna dan gambar apa saja. Partisipasi warga menjadi kata kuncinya, tanpa perlu ada yang bisa bertanya apa konsep idenya? bertanya apa alasannya? atau bahkan untuk mempertanyakan "apakah memang harus mural ya?"

Saya pernah kenal seorang kepala dinas di Pemprov DKI dulu. Saya suka sekali melihat foto-foto yang di-posting beliau yaitu progres pembangunan jembatan, jalan layang busway, bahkan proses pembangunan tiang pancang LRT. Saat itu saya memohon kepada beliau agar meminimalisir penggunaan cat pada bangunan-bangunan tersebut. 

Alasan saya sedernaha, pertama karena material cat itu sesungguhnya mudah kotor dan pudar karena polusi. Akhirnya warnanya makin kotor dan sangat jelek sekali. Lebih celakanya lagi adalah saat melakukan revitalisasinya, cat tersebut bukannya dibersihkan tapi di cat ulang lagi (ditimpa) di atas cat pertama yang sudah kotor tadi. 

Lalu alasan kedua, seringkali pemilihan warnanya ngasal dan sembarangan. Okelah ada warna hijau dan kuning yang katanya warna khas betawi, tapi ada jembatan di Menteng yang diwarna serampangan dengan warna-warna marong (kontras dalam bahasa Betawi). Bayangkan, sebuah ibukota bisa cemong dengan warna-warni yang pemilihan warnanya pun tidak dilakukan dengan mengkonsultasikan pada pihak-pihak yang kompeten.

Kini.. rasanya saya tak berdaya, menatap kota ini - Jakarta, yang sekarang sedang merayakan sebuah perhelatan besar yaitu membombardir ibukota secara kolosal dan masif dengan bergalon-galon cat akrilik warna-warni di semua tempat dan bebas sebebas-bebasnya. Saya sudah tidak dapat membedakan mana itu estetika? artistik? kotor? cemong? atau berantakan?

Bagi saya, sebuah kota akan terasa hangat dan hidup jika memiliki banyak seniman. Terlebih, sebuah kota akan terasa artistik dan estetik jika dalam pembangunannya melibatkan seniman, desainer, atau arsitek. Bukan sekedar mandor, pemborong, dan developer saja.

**Tulisan diambil dari blog pribadi saya - Motulz.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun