Mohon tunggu...
Icompass
Icompass Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Jokowi/Ahok Penyebar Isu SARA?

5 September 2012   09:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:53 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tim/simpatisan/kubu Jokowi/Ahok adalah penyebar isu2 SARA terhadap mereka sendiri karena pada akhirnya mereka yang diuntungkan.

Itulah yang diopinikan oleh Adi Supriadi(saya singkat AS) di dalam tulisan2nya berjudul:

- Isu SARA di Pilkada DKI Merupakan Strategi Marketing Ahok?
- Masih Soal Rhoma & Sara, Jika Sebelumnya Ahok Melucu Kini Menggelikan
- kampanye-hitam-jokowi-merupakan-strategi-marketing-ahok
- dan tulisan2 dia lainnya yg dpt anda temukan bila anda menemukan artikel dia di Kompasiana.

Di artikel dia pertama(Isu SARA ...) Bung AS juga mencantumkan dua artikel yang ditulis oleh Geterudis Laka (Saya singkat GL) yang AS pakai untuk mendukung opininya. Artikel Bung GL itu berjudul:
- Siapa “Desainer Isu SARA” di Pilkada DKI Jakarta?
- Isu SARA Pilkada DKI; Dari Mana Berawal dan ke Mana Berujung?
Artikel2 di atas memang sudah agak lama (awal Agustus dan ada yang lebih awal lagi) tetapi karena saya baru baca, saya merasa gatal untuk mengomentarinya atau lebih tepatnya meng-counter opininya. Saya akan membahas artikel Bung AS terlebih dulu dan kemudian artikel Bung GL.

I Bahasan Terhadap Tulisan Adi Supriadi(AS)


Pertama tama saya ingin menjelaskan di mana posisi Bung AS di dalam pilkada ini, untuk itu saya akan mengutip peryataan dia:
"Sekali lagi, Saya tidak membenci siapapun dalam hal ini, tetapi itu semua terserah Anda, Anda boleh mengklaim, menuduh, memvonis Saya, itulah Hak Anda. Saya hanya membenci “Sandiwara Politik”, “Siasat Politik” yang keji dalam bentuk apapun. Tidak ada kepentingan Penulis terhadap Pilkada DKI, Karena Saya bukan penduduk Jakarta, Penulis mencoba menyampaikan hal-hal yang perlu disampaikan ke Publik, bahwa Konspirasi Politik itu ada, berbentuk drama dan Sandiwara yang dilakukan oleh Para Politisi, terutama Politisi yang Liberalis Sekular."


Dari pernyataan di atas jelas, Bung AS bukan pemilih, dan saya yakin dia tidak menuliskan ini atas dasar kebencian kepada pihak Jokowi/Ahok terutama Ahok (karena tulisan dia banyak menyerang Ahok). Tetapi bukan pemilih bukan berarti tidak ada kepentingan seperti yang Bung AS ungkapkan, tidak ada netralitas dalam tulisannya. Dari apa yang saya baca dari tulisan Bung AS lainnya, saya menyimpulkan bahwa dia orang yang mencintai agamanya(Islam) dan saya percaya dia menjalankannya juga, dan dia ingin umat Islam juga mempunyai visi yang sama dengan dia. Jadi kepentingan dia dalam pilkada ini adalah supaya pilkada ini tidak dimenangkan oleh pihak Jokowi/Ahok yang didukung oleh PDIP/Gerindra yang dicap Bung AS sebagai Liberalis Sekular yang dianggap anti Islam.

Untuk membangun opini pembaca melawan Jokowi/Ahok Bung AS melontarkan suatu ide bahwa ada "Sandiwara Politik" dimana pihak Jokowi/Ahok sengaja menggulirkan isu SARA ke arah mereka sendiri karena itu akan menguntungkan mereka. Berikut adalah langkah2 Bung AS dalam menggiring opini pembacanya untuk melawan Jokowi/Ahok:
1. Mengutip wawancara Ahok dengan Metro TV ( Fenomena Ahok Part 3 http://www.youtube.com/watch?v=AItJ74SzAV4&feature=channel&list=UL ). Berikut kutipan dari Ahok:
"Saya lebih suka melawan yang pake agama untuk menyerang saya, Karena kalau menyerang Agama, Rakyat akan melihat Kelakuannya, Jika Kelakuan Anda tidak Sesuai, selesai anda, waah enak kampanye kaya ghitu, saya suka, saya suka”
Background wawancara tersebut adalah Ahok menceritakan pengalaman dia ketika dia mencalonkan diri untuk menjadi Gubernur Bangka-Belitung. Banyak isu SARA yang menerpa dia, kemudian ada kecurangan pada waktu pemilihan, pengajuan kasus tersebut ke MA, diikuti dengan ancaman kerusuhan yang mengakibatkan mundurnya Ahok dari pencalonan (Saya sarankan anda melihat lengkapnya di Youtube, panjang 10 menit 12 detik, hati2 dengan versi yang diedit yang lebih pendek). Pernyataan Ahok di atas adalah berdasar observasinya bahwa isu SARA bisa jadi bumerang bagi yang melontarkannya bila yang melontarkan isu SARA tersebut terbukti kelakuannya tidak benar.
2. Mengutip AHok dari http://pilkada.kompas.com/berita/read/2012/05/06/17103915/Ahok.Warga.Jakarta.Cerdas.dan.Bisa.Menilai
“Warga Jakarta sudah cerdas. Mereka bisa menilai orang yang ingin menang dengan cara menzalimi orang lain tidak akan dipilih,”
Background berita ini adalah tanggapan Ahok terhadap black campaign yang mengarah ke arah Jokowi
3. Dari pendapat2 Ahok di atas, Bung AS lalu mengajak pembacanya untuk mencurigai Ahok dengan alur logika begini:
Ahok pernah menyatakan bahwa dia suka bila ada isu SARA melawan dia karena itu akan berbalik melawan pelontar isu (lihat 1 di atas), dia juga tahu bahwa akan ada bumerang bagi yang menzalimi pihak lain.
Karena itu bila pihak Ahok dengan sengaja dan sembunyi2 melontarkan isu SARA atau black campaign yang menghantam pihaknya, orang akan segera menuduh kubu/simpatisan Foke sebagai pelakunya. Hal ini akan berakibat pemilih merasa anti terhadap Foke dan simpati terhadap Jokowi.
4. Menyatakan bahwa kasus Rhoma sengaja dibesar besarkan oleh pihak Ahok atau pendukungnya
Ini kutipannya:
"... Intai semua penceramah di Masjid-masjid dan setelah ada orang yang bisa dijadikan contoh untuk diadili karena SARA (Contoh Rhoma IRAMA), maka serang balik."
5. Menyatakan bahwa komentar pihak Jokowi/Ahok yang tidak mengecam Rhoma sebagai pencitraan, di satu sisi memuji muji Rhoma, tetapi di sisi lain mengajukan Rhoma ke Panwaslu, di satu sisi mengecam SARA, di sisi lain menghembuskan isu SARA.

II Sanggahan Terhadap Tulisan Adi Supriadi(AS)


Pertama, perlu saya tekankan di sini bahwa tuduhan Bung AS ini semuanya tidak berdasar pada temuan fakta melainkan pada prasangka dan teori konspirasi. Sejauh ini polisi tidak dapat menemukan pelaku penyebaran selebaran black campaign dan SARA, satu2nya fakta yang didapat saat ini adalah ceramah Rhoma. Saya tidak ingin membahas apakah masalah ajakan memilih pemimpin muslim itu SARA atau kampanye karena Panwaslu sudah membebaskan Rhoma dari tuduhan kampanye, sedangkan hal lainnya itu hak umat Islam. Tetapi kalau anda lihat ceramah Rhoma (cari di youtube), di situ ada terkandung fitnah (terhadap ibu Jokowi), kebohongan/kebodohan mengenai Singapura, dan hasutan bahwa bila Jakarta dikuasai secara ekonomi/politik oleh Cina (maksudnya Ahok) maka Jakarta akan memisahkan diri dari Indonesia seperti Singapura memisahkan diri dari Federasi Malaysia (ini adalah kebohongan, yang benar adalah Singapura didepak dari Federasi Malaysia karena perbedaan ideologi, silakan lihat Google).
Isu mengenai agama(terutam Kristen, dan akhir2 ini Ahmadiyah dan Syiah) dan ras(terutam Cina) adalah isu yang subur berkembang di kalangan kelompok2 tertentu di indonesia. Ini sudah terjadi sejak jaman orde baru dan makin subur sejak jatuhnya orde baru. Jadi isu SARA memang sering muncul kerena selalu dikait kaitkan dengan isu sosial. Beberapa konflik sosial antara preman dan beberapa santri akan diarahkan ke konflik agama lewat publikasi (di kalangan golongan tertentu) yang menyatakan bahwa preman itu Kristen. Peristiwa Rohingnya juga mengakibatkan pengrusakan terhadap sebuah klenteng. Kalau Yusuf Kalla tidak mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan kondisi sebenarnya, kejadian ini akan terus dipakai untuk melakukan unjuk gigi oleh golongan tertentu. Kalau anda membaca website orang2 golongan tersebut anda akan melihat saratnya isu agama dan ras yang dihembuskan mereka (saya tidak cantumkan website mereka karena saya tidak mau promosi). Lantas apa hubungannya dengan Pilkada? Di luar konteks Pilkada, isu SARAsering dimainkan, tidak usah heran jika ada isu SARA di Pilkada ini terutama dengan munculnya Ahok. Saya percaya bukan pihak Jokowi/Ahok yang menggulirkan black campaign SARA, bukan pula pihak Foke. Alasan yang paling gampang dan naif(tapi rasional) adalah bagaimana bila polisi yang mengusut tiba tiba jadi pintar dan menemukan biang kerok black campaign itu adalah Jokowi/Ahok atau Foke, tentu karir politik mereka akan hancur, ini adalah resiko yang terlalu besar untuk penambahan suara yang tidak seberapa.

Karena selama ini terbukti isu SARA terhadap Jokowi/Ahok menguntungkan mereka, apakah berarti mereka melakukannya secara diam2?

Saya tidak akan memakai teori konspirasi ala Bung AS. Saya akan berpikir secara simple dan rasional.

Isu agama/ras tidak perlu dikeluarkan oleh Ahok, karena akan keluar dengan sendirinya (seperti yang telah saya jelaskan di paragraf sebelumnya). Lihat saja putaran pertama, ketika pemain masih banyak, sudah ada isu betawi vs jawa, orang lokal vs orang daerah. Buat apa susah2 memonitor pengajian2 untuk menangkap ustadz2 berceramah SARA. Isu ini akan keluar dengan sendirinya, saya justru curiga bahwa video itu sengaja dikeluarkan Rhoma supaya dia dapat publikasi gratis dari media, bukankah di akhir ceramahnya dia menyuruh peserta ceramah untuk menyebarkan ceramahnya? Tidak ada cara yang lebih cepat menyebarkan pesan ini selain melaui media sosial dan surat kabar. Mungkin anda bertanya, apakah Rhoma tidak takut Panwaslu? Takut apa? kalau dilepas bagus, kalo dipenjara juga dia jadi pahlawan. Jadi win-win situation.

Kemudian, untuk melakukan aksi SARA serta black campaign lainnya perlu biaya, waktu, dan tenaga untuk perencanaan, operasi, monitoring, kehati-hatian. Lebih mudah mengkhayal daripada melakukannya. Kemudian apakah hasilnya sepadan dengan usahanya? Orang jahatpun mempertimbangkan faktor ekonomi suatu usaha, hasil yang diperoleh harus lebih besar dari usaha/biaya yang dikeluarkan. Nah saya sudah jelaskan kerumitan menjalankan black campaign, jelas memerlukan  biaya/tenaga/waktu yang besar. Sekarang apa hasil yang akan diperoleh Jokowi/Ahok bila mereka benar melakukan black campaign? Dari black campaign/SaRA akan ada pendukung yang bertambah tapi juga ada yang berkurang. Jumlah netto dukungan karena hasil black campaign susah diukur secara kuantitas. Jadi biaya yang dikeluarkan untuk black campaign bisa diukur tetapi hasilnya tidak bisa, sehingga secara ekonomi melakukan hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan kampanye, dengan bertemu penduduk dan menjual program akan lebih produktif. Apakah pemilih mempunyai tanggapan positif juga dapat segera diketahui dengan kampanye temu muka. Dan itulah yang Jokowi/Ahok pilih untuk lakukan.

Sikap Jokowi/Ahok yang menanggapi ringan black campaign terhadap mereka bahkan memaafkan Rhoma yang menebar isu SARA dianggap bung AS sebagai pencitraan, berikut saya kutip komentar dia dari artikel berjudul "Masih Soal Rhoma & Sara, Jika Sebelumnya Ahok Melucu Kini Menggelikan":

“Tabir Kepalsuan Di Pilkada Jakarta Harus Terus Disampaikan, Rekayasa Politik Demi Sebuah Pencitraan Sudah Sangat Menjijikkan, Di Satu Sisi Menggiring Publik Benci Pada SARA, Di Sisi yang lain menghembuskan Isu SARA itu sendiri, Disatu Sisi memproses Rhoma Irama ke Panwaslu tanpa dasar yang jelas, di Sisi yang lain memuji-muji Rhoma dengan mengaku sebagai Fans berat Rhoma Irama. Sungguh Menggelikan”
Jadi ada dua tuduhan di sini: menghembuskan isu SARA dan pencitraan (yang menjijikan kalau tuduhan yang pertama benar).
Saya sudah jelaskan di atas bahwa Jokowi/Ahok tidak mungkin menyebar SARA karena dengan adanya Ahok(yang double minority) isu SARA akan keluar dengan sendirinya karena memang ada orang2 golongan tertentu yang suka mengeksploitasi isu tersebut. selain itu, dari segi ekonomi, lebih murah untuk kampanye langsung ke masyarakat daripada mengelola isu SARA di masyarakat.

Kemudian mengenai tuduhan "Pencitraan", saya tidak bisa membela atau menuduh apakah tanggapan Jokowi/Ahok terhadap segala isu SARA dan black campaign yang menerpa mereka itu tanggapan yang dibuat buat untuk pencitraan atau tanggapan yang tulus. Kenapa? Karena saya tidak dapat melihat hati dan pikiran mereka. Saya serahkan penghakiman ini di tangan Tuhan yang bisa melihat hati dan pikiran mereka.

Tetapi, sikap Jokowi/Ahok bisa dijadikan contoh oleh kita dalam menanggapi fitnah atau kejahatan yang menimpa kita. Ada seorang penulis bernama Oscar Wilde yang berkata "Always forgive your enemies; nothing annoys them so much" (Maafkanlah musuh2mu selalu;tidak ada yang lebih menjengkelkan mereka selain itu). Hal yang senada juga dikatakan oleh Paulus di alkitab(Saya yakin Ahok pasti tahu ayat ini): "Tetapi, jika seterumu lapar berilah dia makan, jika dia haus berilah dia minum. Dengan berbuat begitu kamu menumpuk bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan. "(Roma 12:20-21).

Saya tidak tahu apakah Jokowi/Ahok mempunyai niat untuk menjengkelkan Rhoma atau mencari simpati masyarakat dengan memaafkannya tapi mengadukannya ke Panwaslu (memaafkan bukan berarti proses keadilan harus dilewati). Tapi saya bisa melihat bahwa pernyataan2 positif mereka terhadap black campaign seperti contoh berikut:

“Pamflet kampanye hitam ini, perlu kami ucapkan terima kasih kepadanya karena bantu kami sosialisasi sampai ke seluruh DKI tanpa bayar bahwa Jokowi mau jadi gubernur DKI. Selama ini kami mungkin belum bisa jangkau seluruh DKI agar warga tahu Jokowi mau ikut DKI 1,” atau
“Saya kira bagus ada kampanye negatif seperti itu. Masyarakat DKI kan cerdas, akan tahu bahwa Jokowi diperhitungkan bisa jadi gubernur DKI,”

Pernyataan di atas adalah pernyataan politik terhadap lawan politik untuk tidak meneruskan perbuatan mereka. Begini rasionalnya, saya ambil contoh dua orang bersaing dalam bisnis. cara menang persaingan ada dua, memperbaiki diri supaya lebih baik, menyabotase pihak lawan. Bila anda menyabotase pihak lawan, tetapi perbuatan anda ternyata justru menguntungkan lawan maka sebaiknya anda tidak meneruskan tindakan anda karena hanya menguntungkan lawan.

Selain itu, dalam kehidupan sehari haripun bila kita menerima perlakuan tidak adil atau fitnah, ya tidak perlu marah, laporkan saja ke pengadilan. Bila tidak bisa dilaporkan ya tanggapi aja dengan sikap positif. Lagipula di ajang politik, black campaign, fitnah sudah diharapkan terjadi, sikap Jokowi/Ahok tidak perlu dibahas atau bahkan dicurigai oleh Bung AS.

Terakhir, bila bukan kubu Jokowi/Ahok dan bukan kubu Foke, lalu siapa yang melakukan kampanye SARA dan black campaign terhadap Jokowi/AHok? Dugaan saya, seperti yang telah saya ungkapkan di atas, ada kelompok2 tertentu yang gemar menghembuskan isu SARA, black campaign itu juga menjadi salah satu bagian dari usaha untuk menjegal Ahok yang Kristen (dan mungkin juga karena cina) dan Jokowi (mungkin karena dianggap sekularis atau didukung partai sekular). Saya tidak mau spekulasi bahwa Jokowi tidak akan dijegal dengan black campaign kalau pasangannya muslim. Penjegalan ini dilakukan oleh kelompok2 yang mungkin secara organisasi besar atau kecil atau bahkan individual yang bergerak sendiri2 tanpa koordinasi, hanya dengan persamaan tujuan. Dan kubu Foke juga tidak tahu siapa mereka atau tidak saling berhubungan, tetapi karena Foke adalah pihak yang diuntungkan maka dia banyak dicurigai.

III Bahasan terhadap tulisan Geterudis Laka(GL)


Bung GL juga mempunyai pandangan sama dengan Bung AS bahwa Jokowi/Ahok sengaja sengaja melontarkan isu SARA yang menghantam pihak mereka sendiri dengan alasan:
- bahwa Foke akan berpikir dua kali untuk menggulirkan isu SARA terhadap Jokowi/Ahok karena Foke akan lansung dituduh penyebarnya.
- Jika Jokowi/Ahok menyebar isu SARA, pihak Fokelah yang akan dituduh
- Sebagai korban SARA, Jokowi/Ahok dapat meraih simpati masyarakat
Tuduhan kedua Bung GL adalah Jokowi/Ahok terlebih dulu secara diam diam melakukan kampanye di antara pemilih cina, Kristen, dan Katolik untuk memilih yang satu ras/agama. Hal ini didasari pada hasil Exit Poll yang diadakan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI). Exit Poll diadakan pada hari pemilihan, diadakan di TPS dengan mewawancarai pemilih yang baru keluar dari TPS. Jadi diperkirakan hasilnya akurat. Adapun hasil survey yang ditekankan oleh Bung GL adalah bahwa 100% pemilih dari etnis cina, 77,1% Protestan, dan 76,9% Katolik memilih pasangan Jokowi/Ahok. Melalui hasil survey tersebut maka Bung GL mempunyai opini bahwa Jokowi/Ahok terlebih dulu melakukan kampanye SARA kpd etnis cina dan umat Kristen/Katolik.

Adapun temuan exit poll dari lembaga survey yang lain membuktikan bahwa etnis cina tidak tahu apa program Jokowi/Ahok, jadi Bung GL menyimpulkan bahwa telah terjadi pilihan berdasakan primordialisme.

IV Sanggahan Terhadap Tulisan Geterudis Laka(GL)


Saya telah membahas banyak mengenai mengapa Jokowi/Ahok tidak mungkin melontarkan isu SARA terhadap mereka sendiri di bagian II di atas. selain daripada itu saya ingin menambahkan beberapa hal.

Pertama sebagai korban kampanye SARA, Jokowi/Ahok akan menuai simpati masyarakat. Tetapi tidak ada bukti bahwa simpati akan membuat masyarakat mengubah hak pilihnya. Rakyat memilih berdasarkan berbagai alasan, tetapi simpati bukanlah salah satunya. Jumlah golput 37% dari total, daripada memilih berdasar simpati, lebih baik golput, tidak perlu repot2 datang ke TPS.

Kedua, tiap2 isu yang menerpa mempunyai dampak bagi Jokowi/Ahok, ada yang kecil ada yang berdampak besar. Walaupun Jokowi/Ahok sepertinya selau bersikap positif, tetapi dampak isu itu saya percaya ada, tetapi sulit diukur secara kuantitas. Kalau dibagi berdasar jenis isu dan dampaknya:

 Isu Besarnya dampak
- isu agama (Ahok) kecil - sedang
- isu ras (Ahok) tidak ada - sangat kecil
- isu aliran politik tidak ada
- isu daerah (Jokowi) tidak ada
- isu komitment (Jokowi) tidak ada - kecil
- isu prestasi (Jokowi) tidak ada - sangat kecil
- isu pengalaman tidak ada - kecil


Yang dimaksud dampak adalah perubahan sikap pemilih karena pengaruh isu. Sedangkan besarnya dampak di atas adalah perkiraan saya yang hanya berdasar atas kira2 (jangan terlalu ditanggapi secara serius).

Jadi pandangan analis politik bahwa Jokowi/Ahok kebal isu (atau black campaign terhadap Jokowi/Ahok menguntungkan mereka atau seolah olah selalu backfire) saya rasa tidak benar, dasarnya adalah dampak isu sulit diukur kuantitasnya jadi analisa tsb patut dipertanyakan. Kalau kita melihat dari kaca mata tim Jokowi/Ahok, misalnya mereka mau melakukan black campaign ke arah mereka supaya Foke dituduh dan Jokowi dapat simpati, mereka harus lebih dulu mengukur apa dampak negatif black campaign, seberapa besar simpati dapat membawa suara pemilih, kedua hal itu sulit untuk diukur. Jadi kalau tidak bisa dianalisa, buat apa dilakukan, bisa jadi dampak negatifnya lebih banyak daripada simpati yang didapat, dan belum tentu simpatisan menjadi pemilih. Bila Bung GL mempunyai metode mengukur dampak black campaign tentu tuduhan anda akan lebih kuat, tapi kalau hanya berdasar asumsi bahwa black campaign menguntungkan Jokowi/Ahok tanpa anda bisa membuktikan bahwa asumsi anda benar, maka tuduhan anda tidak ada dasarnya.

Tuduhan kedua dari Bung GL didasarkan pada hasil survey exit poll LSI yang dapat anda temukan di http://www.lsi.or.id/riset/421/LSI_Quick_Count_DKI_JKT.
Apakah benar ada unsur pemilihan berdasar SARA di antara etnis Cina dan umat Protestan/Katolik?
Methodology Survey
- Survey diadakan di 410 TPS yang dipilih secara acak dan tersebar di seluruh DKI.
- di tiap TPS diambil secara random satu laki2 atau perempuan pada jam 8:00 dan satu perempuan atau laki2 pada jam 9:00, jadi ada dua respondent (laki2 dan perempuan) dari tiap TPS yang dipilih untuk mengisi formulir pertanyaan exit poll
- Jadi seharusnya ada 820 responden, tetapi karena ada yang tidak berhasil diwawancarai, jumlah responden akhir adalah 797 orang.
- Survey mempunyai margin error ± 3.5% dan tingkat kepercayaan 95%. Artinya bila misalnya 60% responden memilih jawaban A berarti bila diterapkan ke seluruh populasi, maka ada 95% kemungkinan bahwa antara 56.5% - 63.5% populasi memilih jawaban A.
- Jumlah responden berdasar agama/ras:
Betawi (36.6%) = 292
Jawa (35.1%) = 280
Cina (3.7%) = 29
Sunda (11.3%) = 90
Batak (2.6%) = 21
Minang (3.9%) = 31
Islam (89.2%) = 711
Protestan (5.6%) = 45
Katolik (3.3%) = 26
Jumlah total pemilih adalah 4.336.486 (lihat http://pilkada.tempo.co/).
Dalam suatu survey, tingkat kepercayaan dan margin error ditentukan oleh banyaknya sample yang diambil. Dengan referensi dari situs http://www.surveysystem.com/sscalc.htm#one , jumlah sample yang dipakai oleh LSI sudah cukup memadai untuk margin error dan tingkat kepercayaan ±3.5% dan 95%. Jadi sebagai contoh: bila 45.1% responden merasa Jokowi paling peduli rakyat berarti ada 95% kemungkinan bahwa ada 41.6% - 48.5% pemilih yang percaya bahwa Jokowi peduli rakyat. Hasil di atas adalah akurat untuk mewakili pemilih jakarta, tetapi bila pemilih kemudian dipecah pecah berdasar ras/agama maka margin error-nya juga akan berbeda. Misalnya untuk ras Cina, sampel yang berjumlah hanya 29 orang akan membuat error margin menjadi ±18.2%, jadi bila 100% responden Cina memilih Jokowi/Ahok, maka akan ada 95% kemungkinan bahwa antara 81.8% - 100% pemilih dari etnis Cina akan memilih jokowi/Ahok.

Hal lain yang harus diingat mengenai survey adalah korelasi bukan berarti sebab akibat. Bila anda melihat exit poll LSI bagian basis dukungan, maka anda akan menemukan korelasi sebagai berikut. Saya memakai basis dukungan gender (karena tidak banyak perbedaan) sebagai baseline (Foke 33%, Jokowi 42%, HNW 12%):
- Jokowi/Ahok didukung etnis Jawa (55%), cina(100%), umat Kristen/Katolik(77%), dan partai PDIP/Gerindra(79%)
- Foke/Nara didukung etnis Betawi(48%), Sunda/Priangan(43%), dan partai Golkar(45%) dan Demokrat(55%)
- HNW/Didik didukung partai PKS(49%)
Dari hasil di atas tentu kita akan cepat melihat basis dukungan Jokowi dan Foke. Tetapi apakah basis dukungan tersebut adalah berdasar etnisitas, agama, partai ataukah berdasar elektabilitas? Kita tidak dapat mengetahui itu secara pasti.

Dalam pemilihan pasti ada pemilih yang memilih berdasarkan alasan agama/etnis/partai, untuk mengetahui apakah etnis Cina dan umat Kristen/Katolik memilih berdasar etnisitas/agama ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
1. Di hasil survey ada bagian "Popularitas dan Citra Calon". Mungkin bisa meminta LSI mengeluarkan criteria ini berdasarkan etnis/agama responden. Kalau hasilnya mempunyai sebaran yang sama maka kriteria mereka memilih dapat diketahui. Atau paling tidak bisa mengetahui berapa % yang memilih berdasar etnis/agama dan berapa persen yang berdasar popularitas/citra.
2. Menambah pertanyaan khusus buat etnis Cina dan umat Kristen/Katolik untuk mengetahui motivasi mereka memilih. Saya bisa buat satu pertanyaan: "Kalau Jokowi/Ahok diganti oleh Ruhut/Suhu Acai apakah kalian akan memilih pasangan ini?" Kalau etnis Cina dan umat Kristen/Katolik masih memilih Ruhut/Suhu Acai, maka saya bisa pastikan mereka memang memilih berdasar ras/agama bukan berdasar kemampuan calon.
Dari hasil exit poll bagian kriteria "Sosialisasi", "Citra Calon" dan "Evaluasi Incumbent" didapat hasil sbb:
Dari satu bulan terakhir kandidat mana yang paling sering dilihat/didengar/ditemui di:

 jokowi Foke HNW
Koran 27.5% 48% 5.5%
TV 34% 46.5% 6.1%
Radio 18.2% 34.4% 6.1%
Iklan di jalan 18.9% 50.7% 17%
Muka dgn muka 12.8% 30.5% 10.5%


(sayang LSI tidak mempunyai data sosialisasi melalui internet)

Citra Calon

 jokowi Foke HNW
Perhatian pd rakyat 45.1% 38.1% 10.4%
Paling mampu memimpin 38.1% 37% 10.1%
Paling dipercaya 40.7% 32.4% 13.5%
Paling bersih korupsi 38% 23.7% 17.6% (10.1% menjawab tidak tahu)
Rata2 40.4$ 32.8% 12.9
Perolehan Suara 42% 33% 12%
Evaluasi incumbent
Kinerja cukup/sangat puas 50.9%
kurang/tidak puas 47.9
Kondisi ekonomi tidak ada perubahan 41.5%
lebih buruk 24.5%
lebih baik 33.3%


Dari hasil di atas, bisa dilihat bahwa responden banyak mendapat informasi dari media tentang Foke lebih banyak daripada tentang Jokowi, tetapi banyaknya informasi yang diterima tidak membuat Foke mendapat citra yang positif atau lebih positif dibanding dengan Jokowi (dapat dilihat pada tabel "Citra Calon" di atas). Walaupun lebih dari 50% responden mengaku puas dengan kinerja foke dan hanya 24.5% yang merasa kondisi ekonomi lebih buruk di bawah Foke, tetapi faktor penentu pemilih adalah citra Jokowi. Hal ini terlihat dari tabel "Citra Calon", persentase responden yang merasa Jokowi punya citra baik sebanding dengan persentase perolehan suara Jokowi(saya ambil dari perolehan suara berdasar basis gender). Jadi di sini dapat disimpulkan bahwa hampir semua pemilih memilih berdasarkan citra Jokowi bukan berdasarkan alasan primordialisme seperti yang dituduhkan oleh Bung GL.

Selesai sudah sanggahan saya terhadap Bung AS dan Bung GL. Sebagai penutup saya ingin berbicara mengenai kompetisi. Tujuan kompetisi adalah untuk memperoleh yang terbaik di antara yang baik. Seperti dalam Olimpiade yang baru saja berlangsung di UK, tiap kali ada olimpiade akan ada orang2 yang memecahkan rekor atlet2 pendahulunya. Hal ini bisa terjadi karena tiap2 atlet berlatih sebaik baiknya untuk mengalahkan kompetitor lainnya dan juga kalau bisa untuk memecahkan rekor pemecah rekor pendahulunya. Hal ini sama dengan pilkada DKI yang memilih pemimpin yang terbaik. Gubernur terpilih akan menjadi standard untuk calon gubernur berikutnya, dengan begitu dalam pilkada selanjutnya hanya calon2 yang benar2 baik yang akan maju untuk berkompetisi. Dengan mekanisme seperti ini diharapkan dari periode ke periode, kita akan mendapatkan orang2 yang semakin baik. Tetapi beda olimpiade dengan pilkada ini adalah penentu baik/buruknya atlit/calon kada. Dalam olimpiade penentunya adalah atlit itu sendiri, sehingga atlit yang terbaik akan selalu menang. Sedangkan dalam pilkada, penentunya adalah rakyat, jadi calon yang terbaik belum tentu terpilih kalau rakyat tidak memilihnya. Adapun kriteria yang dipakai oleh rakyat untuk memilih adalah sbb(saya ambil dari exit poll LSI):

1. Citra calon (kemampuan, kerakyatan, transparansi, kejujuran)
2. Partai/ideologi pengusung calon
3. Agama calon
4. Etnis calon
5. Gender calon

Apa yang menjadi kriteria yang banyak dipakai rakyat untuk memilih menentukan calon masa depan macam apa yang nantinya akan muncul. Bila kriteria nomor 2(atau 3/4/5) ternyata adalah kriteria yang laku, maka calon yang akan datang akan mencitrakan dirinya atau berkompetisi di kriteria itu. Pada akhirnya calon pemimpin masa depan akan lebih konsentrasi untuk berkompetisi di kriteria2 yang laris dipilih rakyat, jadi rakyat akan menjadi penentu kriteria mana yang layak untuk dikompetisikan oleh calon2 pemimpin.

Semoga pelaksanaan demokrasi di Indonesia makin etis, sportif, rasional, dan beradab.

Semoga putaran dua nanti berjalan dengan aman.

Siapapun pemenangnya harap kerja yang bener, dan harap diterima oleh pihak yang kalah dan simpatisannya dengan sportif.

Referensi:

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

http://www.surveysystem.com/sscalc.htm#one

http://www.lsi.or.id/riset/421/LSI_Quick_Count_DKI_JKT

Fenomena Ahok Part 3 (http://www.youtube.com/watch?v=AItJ74SzAV4&feature=channel&list=UL)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun