Cantik, kaya, dan terkenal. Sulli sedang berada di puncak kariernya sebagai salah satu aktris dan penyanyi papan atas Korea Selatan ketika ia mengakhiri hidupnya pada Oktober 2019 silam. Beberapa waktu sebelumnya, Sulli memperoleh hujatan secara masif melalui akun media sosialnya. Perundungan dunia maya (cyberbullying) diyakini menjadi salah satu penyebab depresi yang memicu Sulli melakukan bunuh diri.
Kisah Robin Williams tak kalah pilu. Komedian ternama Hollywood ini melakukan gantung diri di rumahnya pada Agustus 2014 setelah berjuang melawan depresi. Sebelum meninggal, Robin Williams pernah mengatakan,Â
I think the saddest people always try their hardest to make people happy because they know what it's like to feel absolutely worthless and they don't want anyone else to feel like that
Di balik sosoknya yang humoris di depan kamera, ia tak bisa menolong dirinya untuk tidak jatuh dalam jurang luka yang teramat dalam.
Kaya dan terkenal, dua kondisi yang rela membuat orang melakukan apa saja di era digital ini. Peribahasa Arab bahkan mengatakan, "Kencingilah sumur zam-zam, niscaya kamu akan terkenal,".Â
Artinya tak perlu punya karya untuk diperbicangkan. Maka, ketika media sosial begitu masif seperti saat ini, banyak aksi tak terpuji dilakukan agar viral. Misalnya, sosok Sultan Akhyar di Nusa Tenggara Barat yang membuat konten live Tiktok berupa lansia mandi di lumpur demi memperoleh gifts yang bisa ditukar dengan sejumlah uang.
Dampak negatif internet tak hanya memicu cyberbullying atau dahaga menjadi viral. Dalam buku "The Death of Expertise", Tom Nichols menyebutkan bahwa internet adalah tersangka utama dari perubahan pada masyarakat lantaran internet mengubah cara masyarakat membaca dan berpikir menjadi lebih instan. Internet memungkinkan manusia untuk meyakini hal yang salah lantaran kita akan menemukan argumen pendukung apa pun yang kita yakini, bahkan jika seseorang percaya bahwa bumi itu datar.
Tak dipungkiri, internet mengubah kita. Dalam sebuah publikasi yang dilakukan oleh Journal of Education and Health Promotion (2020) disebutkan bahwa penggunaan internet yang masif di kalangan kaum muda memicu kecemasan, depresi, dan dampak negatif pada kesehatan mental sehingga memengaruhi prestasi akademis.
Internet bagaikan pedang bermata dua. Meski internet memicu berbagai dampak negatif sebagaimana disebutkan di atas, manusia modern tak bisa lepas dari internet yang menghubungkan. Berdasarkan laporan yang dirilis We Are Social, per 2020 terdapat 191 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia.
Maka, menjadi selamat di internet menjadi sebuah seni, bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan penggunaan dan risiko akan terkena 'ranjau' internet. Misalnya, bagaimana agar tak merasa rendah diri ketika teman seangkatan memamerkan gaji dua digit sementara gaji kita masih di kisaran Upah Minimum Regional (UMR). Begitu pula ketika berbagai teman memajang berbagai sertifikat keahlian di LinkedIn sementara tak ada perkembangan berarti dari diri selain berkutat dengan target penjualan.
Menjadi selamat di tengah keganasan internet adalah sebuah seni, seni mencintai diri di zaman digital.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk lebih mencintai diri di era digital ini?
Pertama, berhentilah membandingkan diri dengan orang lain
Seorang teman sekolah pernah mengatakan iri dengan saya lantaran saya menjadi seorang pegawai negeri yang tak terdampak pandemi. Padahal, saya pernah merasa iri padanya lantaran memiliki karier yang bagus di sebuah perusahaan. Memang, seperti kata orang Jawa, "Urip iku sawang sinawang," alias hidup itu saling memandang, orang memandang kondisi kita lebih enak sementara kita juga memandang mereka lebih enak.
Berkaca dari perkataan Robin Williams di atas, bisa jadi tawa yang dipamerkan di media sosial hanyalah sebuah kamuflase dari kesedihan yang tersamar.
Berhentilah membandingkan diri dengan orang lain karena seperti pepatah ternama, perbandingan hanyalah pencuri kebahagiaan.
Kedua, ketahuilah kapan untuk merasa cukup
Dalam buku "The Psychology of Money," Morgan Housel menyebutkan bahwa cara terbaik menjaga hal-hal yang berharga adalah mengetahui kapan waktunya berhenti mengambil risiko yang bisa mengancam semuanya. Mengetahui kapan itu cukup.
Meski buku tersebut berbicara tentang kekayaan dalam konteks finansial secara umum, mengetahui cukup dalam berinternet akan membantu kita mengetahui apa yang lebih penting daripada kehidupan selancar dunia maya : dunia nyata yang membuat kita manusia seutuhnya.
Dalam setahun, saya melakukan social media sabbatical selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Sebuah kondisi ketika saya tak membuka media sosial sama sekali. Ada perasaan lebih 'utuh' dan 'penuh' ketika bisa terkoneksi lebih mendalam dengan dunia nyata.
Jika berinternet mulai terasa tak sehat untuk mental, mungkin digital detox adalah hal yang kita butuhkan.
Ketiga, jangan gantungkan standar kebahagiaan pada interaksi media sosial
Apakah kebahagiaan kita berbeda jika memperoleh sepuluh likes atau seratus likes pada instagram adalah sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh hati kecil. Kebahagiaan bukanlah tentang seberapa populer postingan kita di dunia maya. Kebahagiaan adalah ketika media sosial bisa menjadi sarana membahagiakan diri.
Pasalnya, kebahagiaan ketika melakukan selancar media sosial bersifat semu lantaran didapat secara instan. Hormon dopamin atau kebahagiaan yang diperoleh dari dunia maya akan menimbulkan bahaya jika berlebihan, misalnya kelebihan dopamin dapat menyebabkan kecemasan, susah tidur, dan stres.
Keempat, ingatlah bahwa dirimu berharga, dengan atau tanpa internetÂ
Hanya karena kamu tak punya banyak pengikut di dunia maya, tak berarti membuatmu kurang berharga dibanding mereka yang diikuti dengan banyak orang. Seperti adagium yang dipopulerkan oleh Spider-Man, "With great power comes great responsibility," maka dengan semakin banyaknya power dunia maya semakin besar juga tanggung jawab yang diemban seseorang. Misalnya, lebih berat dampak hoax dari postingan seorang influencer dibandingkan postingan orang yang tak punya banyak pengikut.
Kelima, latihlah diri untuk tidak takut untuk ketinggalan atau merasakan fear of missing out/FOMO
Tidak apa-apa tidak membuka Twitter karena akan selalu ada berita viral baru setiap harinya. Tidak apa-apa tidak tahu kemana seorang teman berlibur. Tidak apa-apa jika tidak tahu konten viral Tiktok.
Hidup tetap baik-baik saja meski tanpa dunia maya. Bahkan, hidup tanpa dunia maya bisa membuat lebih mindful atau memiliki kesadaran penuh akan diri dan kondisi sekitar.
Pada akhirnya, seperti pesan dalam buku "The Courage to Be Disliked", jangan hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Bebaskan dirimu dari perbuatan tak perlu untuk membuat orang lain terkesan, terlebih di dunia nyata. Kebahagiaan kita adalah tanggung jawab kita dan mencintai diri adalah salah satu upaya untuk menciptakan kebahagiaan.
Di zaman digital, tantangan menjaga kewarasan semakin berkembang. Namun, begitulah kiranya sebuah seni kehidupan yang menuntut keseimbangan, internet yang memudahkan adalah internet yang bisa membinasakan.
Maka, pandai-pandailah membahagiakan diri dengan internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H